Polri menangkap pelaku penyebaran konten bermotif SARA di media sosial yang menamakan dirinya sindikat Saracen. Pelaku saling berbagi peran untuk melancarkan aksinya menjual jasa penyebar SARA itu.

Kabag Mitra Humas Polri Kombes Awi Setiyono mengatakan modus yang dilakukan oleh pelaku dalam membuat propaganda di media sosial itu dengan meme bermuatan SARA. Meme itu dibuat banyak untuk disebar ke grup-grup baru yang dibuat oleh pelaku.

"Dari penelusuran penyidik, dia membuat meme itu ditampung di dalam satu grup. Nanti membuat meme lagi dibuat grup lagi," kata Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (24/8).

Untuk membuat akun baru, pelaku sengaja membeli kartu SIM yang banyak. Hal itu dilakukannya untuk memudahkan verifikasi saat mendaftar. "Mereka juga kita temukan SIM card yang banyak, 50 lebih," terang Awi.

Pelaku yang telah ditangkap, yakni Jasriadi, Sri Rahayu, dan Muhammad Faisal Tonong, bekerja secara intensif dan bergantian. Meski mereka dipisahkan oleh tempat, pelaku tetap berhubungan secara rutin lewat media sosial. "Dia bergantian, bahkan yang ketua sendiri ada sekitar kita temukan hate speech-nya 6, ada juga akun-akun lainnya 11. Yang pernah bersangkutan buat," tuturnya.

Mereka berbagi peran layaknya sebuah organisasi. Jasriadi dipercaya sebagai ketua, Sri sebagai koordinator wilayah, dan Tono sebagai bidang media.

Tak hanya itu, polisi juga menemukan indikasi pemalsuan identitas, seperti paspor dan KTP. Pemalsuan ini dilakukan agar pelaku bisa me-recovery akun-akun yang telah diblokir.

"Mulai KTP, paspor patut diduga. Karena itu juga bisa menjadi modus, kan. Karena memang dia ahli IT. Segala kemungkinan ada," tutur Awi.

Namun hingga saat ini polisi belum menemukan pihak yang berada di balik kasus penyebaran konten bermuatan SARA ini. Para pelaku disebut tertutup dan sulit diambil keterangan.

Para pelaku sadar membuat akun-akun palsu itu membutuhkan biaya. Mereka kemudian membuat proposal yang diajukan kepada beberapa pihak. Motif ekonomi menjadi alasan mereka bermain dalam operasi ini. Puluhan juta rupiah bisa diraupnya jika misi mereka sukses.

Awi menerangkan, selama pemeriksaan, penyidik menemukan proposal milik pelaku. Dalam proposal tersebut, ada detail harga yang diajukan kepada pihak pemesan.

"Kemudian terkait tadi masalah pemesanan, itu begini, untuk proses penyidikan ini, penyidik menemukan ada satu proposal," terang Awi.

Jasa untuk pembuatan website dihargai Rp 15 juta. Untuk para buzzer dipatok harga sekitar Rp 45 juta untuk 15 orang selama sebulan.

Untuk sang ketua, harga dipatok sendiri, yaitu Rp 10 juta. Jika dijumlahkan, ada sekitar Rp 72 juta. Ada cost untuk wartawan juga. "Ini kan baru data-data yang ditemukan dari yang bersangkutan," tuturnya.

Namun Awi tidak mempercayai begitu saja apa yang dituliskan oleh pelaku termasuk dana untuk wartawan. Pihaknya masih terus mendalami terkait temuan tersebut.

"Itu kan proposalnya dia yang kita temukan. Tapi belum tentu kan. Itu yang perlu proses pendalaman. Kita tidak percaya begitu saja. Kalau dia tulis begitu, apa kita langsung percaya, iya? Teman-teman wartawan dirugikan juga to. Itu temuan-temuan," ujarnya. (dtc/mfb)

BACA JUGA: