-
Kasus Penembakan Polisi Koboi Tanda Kegagalan Reformasi Polri
Sabtu, 27/02/2021 20:24 WIBReformasi Sisakan Persoalan Hukum dan Hubungan Militer Sipil
Senin, 13/07/2020 15:48 WIBApa itu Informasi Publik? Bagaimana Mengaksesnya?
Minggu, 15/04/2018 08:32 WIBCara Menghadapi Sengketa Informasi Publik
Kamis, 29/03/2018 06:30 WIBSengketa Informasi Publik? Mungkin istilah itu asing di telinga Anda. Tapi tahukah Anda bahwa informasi publik adalah hal yang sangat penting. Bagaimana seluk beluknya? Apa yang harus dilakukan jika Anda menghadapinya?
Simak dalam video Tips Hukum berikut ini.
LSM Cabut Gugatan Perppu Ormas di MK
Rabu, 08/11/2017 14:02 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah Lembag Swadaya Masyarakat yang sebelumnya mengajukan gugatan terhadap Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya resmi mencabut gugatannya. Pencabutan itu dilakukan karena alasan Perppu Ormas telah menjadi undang-undang oleh DPR. Pihak MK juga telah mengablkan penarikan gugatan tersebut.
"Menetapkan, menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon," ujar Ketua MK Arief Hidayat, seperti ditulis website MK, Rabu (8/11).
Menurut Arief, terhadap permohonan perkara ini, majelis telah melakukan beberapa kali pemeriksaan pendahuluan melalui Sidang Panel pada 7 Agustus 2017 dan Sidang Pleno terakhir pada 26 Oktober 2017. Dari pleno itu, penggugat menyatakan akan menarik gugatan.
"Dalam sidang pleno terakhir tersebut, para Pemohon menyatakan pihaknya menarik permohonan dengan alasan menurut pemberitaan media massa Perppu Ormas yang menjadi objek permohonan telah menjadi undang-undang," ucap Arief.
Para penggugat perkara dengan Nomor 50/PUU-XV/2017 itu diantaranya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silaturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, Perkumpulan Hidayatullah dan Munarman.
Mereka menggugat Perppu Ormas karena dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan Pasal 12 UUD 1945 dan tidak terdapat hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana tertuang 22 ayat (1) UUD 1945.
Perppu Ormas yang diajukan presidsen Joko Widodo kepada DPR sendiri telah resmi dijadikan UU pada 24 Oktober 2017. (dtc/rm)FPD Serahkan Draf Revisi UU Ormas
Rabu, 01/11/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR RI akhirnya resmi menyerahkan dokumen usulan revisi berikut naskah akademik UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kepada Pimpinan DPR RI. Penyerahan dokumen ini merupakan komitmen FPD yang mendesak pemerintah segera merevisi UU tersebut setelah Perppu No.2/2017 disahkan di Rapat Paripurna DPR.
Ketua FPD Edhie Baskoro Yudhoyono dan Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan menyerahkan langsung dokumen usulan revisi tersebut kepada Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10)."Ini merupakan usul inisiatif kami sekaligus komitmen dan ikhtiar politik Fraksi Partai Demokrat," ucap Ibas, sapaan akrab Edhie Baskoro Yudhoyono, seperti dikutip dpr.go.id.
Menurut Ibas, dokumen usulan ini menjadi buku putih dari fraksi yang dipimpinnya menyangkut UU Ormas. Selama ini, FPD menilai ada beberapa pasal dalam UU itu yang masih tidak sesuai dengan konstitusi.
Misalnya, soal penetapan suatu Ormas yang bertentangan dengan Pancasila secara sepihak. FPD masih melihat politis soal penetapan itu. Harusnya penetapan Ormas anti-Pancasila berdasarkan hukum.
Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto usai menerima delegasi FPD itu mengatakan, dengan diserahkannya usulan revisi berikut naskah akademiknya, berarti resmi sudah FPD DPR menginisiasi revisi UU Ormas kepada DPR.Tinggal menunggu proses selanjutnya untuk dibicarakan di rapat Bamus atau rapat pimpinan pengganti rapat Bamus. "Saat ini belum bisa segera ditindaklanjuti, lantaran sudah masuk masa reses," kata Agus Hermanto. (mag)
Usulan Demokrat Revisi Pasal di UU Ormas
Senin, 30/10/2017 18:30 WIBPartai Demokrat merampungkan naskah akademik terkait revisi UU Ormas. Sejumlah pasal disoroti Demokrat yang menginginkan revisi segera dilakukan.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat Fandi Utomo membacakan soal pasal-pasal yang harus direvisi itu. Pembacaan dilakukan di kantor DPP PD, Jl Proklamasi 41, Jakarta Pusat, Senin (30/10).
Pasal pertama yang disoroti Demokrat ialah terkait sanksi administratif hingga pidana kepada ormas yang melanggar ketentuan. Pasal itu merupakan pasal 60 UU Ormas yang baru disahkan, bunyinya seperti ini:
Pasal 60
1. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif.
2. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 dan pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Demokrat hanya ingin ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, pasal 51, pasal 52, dan pasal 59 dijatuhi sanksi administratif. Berikut bunyi rancangan revisi UU Ormas Demokrat:
Pasal 60
Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 59 dijatuhi sanksi administratif.
Selain itu, Demokrat juga menyoroti pasal 63 hingga pasal 69, yang sebelumnya tertuang di UU 17/2013, dihilangkan di UU Ormas yang baru disahkan. Pasal-pasal yang dihilangkan dalam UU baru ini mengatur tentang peringatan, penghentian sementara, penjatuhan sanksi, hingga pencabutan status badan hukum ormas yang melanggar.
"Ketentuan pasal 63 sampai dengan pasal 69, ini yang merupakan implementasi dari nilai-nilai demokrasi, adanya pemisahan kekuasaan yang menghendaki adanya check and balances atau saling kontrol dan saling mengawasi serta memenuhi prinsip negara hukum, supremasi hukum di atas kekuasaan dengan kita usulkan pasal 63 sampai dengan 69 sehingga dengan demikian kritik terhadap tidak berjalannya prinsip-prinsip yang dijelaskan di depan itu tidak perlu terjadi dan terjawab dengan diusulkan kembali pada pasal 63," ujar Fandi.
Demokrat juga menyoroti pasal 70 dan pasal 71 UU 17/2013 yang dihilangkan di UU Ormas yang baru. Pasal-pasal tersebut sebelumnya mengatur mekanisme permohonan pembubaran ormas.
"Demokrat menegaskan pentingnya pengaturan pengembalian proses hukum pengadilan sebelum pembubaran ormas secara permanen," tegas Fandi.
Demokrat segera mengirim naskah akademik revisi UU Ormas ke pemerintah, yakni Kemendagri dan Kemenkum HAM besok (31/10). Naskah akademik juga akan dikirimkan ke Sekretariat Jenderal DPR. (dtc/mfb)SBY Dukung soal UU Ormas ke Jokowi
Sabtu, 28/10/2017 17:19 WIBSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dukungan Partai Demokrat (PD) soal UU Ormas yang baru saja disahkan DPR ke Presiden Jokowi. Hal tersebut disampaikan Mensesneg Pratikno.
"(SBY menyampaikan) ´Pak, kemarin kita sudah mendukung´, ya kita harus menjaga hubungan baik," kata Pratikno di Istana Bogor, Jl Ir H Juanda, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (28/10).
Pratikno sempat mendampingi Jokowi saat pertemuan dengan SBY, kemarin (27/10). Tetapi tak lama setelah itu Jokowi dan SBY melakukan pertemuan empat mata sehingga ia tak tahu apa masukan SBY terkait UU Ormas.
"Ini kan namanya dialog dua arah selebihnya saya nggak ikut di dalam," ujar Pratikno.
Menurut Pratikno, SBY hanya didampingi stafnya saja dalam pertemuan itu. Tetapi stafnya pun tak ikut pertemuan empat mata.
"Tidak ada sesuatu yang spesifik disampaikan, ya ini pertemuan dua pemimpin cerita isu-isu politik, ekonomi, baik global maupun nasional," ujar Pratikno.
PD memang menyatakan dukungannya terhadap UU Ormas. Namun, PD menyoroti pasal tentang pemberian sanksi dan pembubaran ormas.
Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rupanya sudah lama direncanakan. Adalah putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang melobi agar pertemuan ini bisa terjadi.
"Mas AHY juga menghubungi saya, ´Pak, ada memungkinkan Pak Presiden pertemuan´, saya bilang, ´oh iya, diatur saja´," kata Pratikno.
Namun Pratikno mengatakan bahwa inisiator pertemuan adalah kedua pihak, yakni Jokowi dan SBY. Meski kala itu sudah dihubungi oleh AHY, tetapi sulit mencari waktu yang pas untuk melakukan pertemuan.
"Ini pertemuan yang sudah diatur cukup lama ya jadi awalnya kita sudah komunikasi tapi Pak SBY nggak bisa karena Pak SBY ke mana itu, ke Thailand, ke ASEAN, setelah itu pulang sebentar, Pak Presiden nggak ada waktu gantian, setelah itu Pak SBY pergi lagi ke Darwin," ujar Pratikno.
SBY kembali ke tanah air dari Darwin, Australia, pada Kamis (26/10). Keesokan harinya atau kemarin siang (27/10) SBY menemui Jokowi di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. (dtc/mfb)PPP Bakal Ambil Inisiatif UU Ormas
Jum'at, 27/10/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas menjadi undang-undang. Dalam proses pengesahannya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan salah satu fraksi yang mendukung pengesahan Perppu tersebut menjadi UU. Meski begitu, PPP juga yang bakal mengambil inisiatif untuk mengajukan revisi UU Ormas.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, Fraksi PPP sedang menyusun naskah akademik draf RUU Perubahan UU Ormas tersebut. Arsul mengatakan, UU Ormas yang disetujui DPR melalui voting tersebut masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Menurut Arsul Sani, saat ini Prolegnas sedang disusun oleh Baleg sehingga masih terbuka untuk mengajukan Prolegnas prioritas. Untuk itu, dia berharap, setelah disetujuinya Perppu Ormas menjadi UU maka segera diberi nomor oleh Kemenkumham dan ditandatangani Presiden. Dengan nomor UU yang jelas maka menjadi dasar fraksinya mengusulkan sebagai perubahan UU dimaksud.
Salah satu revisi yang diajukan Fraksi PPP, ingin prinsip pengadilan jangan dihapus sama sekali seperti yang ada dalam Perppu. Kalau digambarkan, di UU Ormas proses pengadilannya di ujung kanan begitu lama dan bertele-tele. Tapi kalau Perppu semuanya di ujung kiri, semua dipangkas sehingga menjadi gundul.
"Nah PPP akan melihat tengah-tengahnya, seperti peringatannya cukup sekali, kemudian proses pengadilan tetap ada tapi diberi waktu seperti dalam UU Parpol bahwa sengketa parpol diadili tingkat pertama 30 hari kemudian di MA 60 hari. Proses itu bisa diperpendek misalnya masing-masing 30 hari," kata Arsul, seperti dikutip dpr.go.id, Kamis (26/10).
Terkait pembubaran ormas, kata Arsul, dalam UU sekarang harus dimohonkan ke pengadilan. Misalnya diserahkan kepada pemerintah kemudian dibawa ke PTUN seperti HTI, lalu PTUN membatalkan akhirnya tidak bubar juga. Faktor-faktor seperti ini juga harus diperhitungkan baik pemerintah maupun DPR.
Sementara ini menurut FPP, pembubaran ormas tetap harus lewat proses pengadilan dengan proses yang khusus. "Kalau dalam hukum acara pidana atau perdata, ada peradilan yang singkat dan cepat. Itu antara lain revisi yang diajukan FPP," kata Arsul Sani menambahkan. (mag)Mayoritas Fraksi DPR Setuju Perppu Ormas Disahkan
Senin, 23/10/2017 18:13 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mayoritas atau 7 partai politik di DPR menyatakan menerima Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Organisasi Masyarakat. Tujuh Fraksi DPR itu juga setuju Perppu Nomor 2/2017 disahkan menjadi undang-undang.
Kesimpulan itu tercermin dalam Rapat pandangan mini yang digelar Komisi II bersama Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkum HAM Yasonna Laoly, dan Menkominfo Rudiantara sebagai perwakilan dari pihak pemerintah. Sebagian besar partai pendukung pemerintah menerima dan setuju Perppu Ormas dibawa ke paripurna esok hari untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pparpol yang secara mutlak menyatakan setuju itu adalah PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura. Fraksi-fraksi tersebut menerima karena melihat ada kegentingan dengan adanya ormas yang akan menggoyangkan ideologi Pancasila. PDIP dengan tegas menyatakan menyetujui pembahasan Perppu Ormas dilanjutkan dalam sidang paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Fraksi PDIP menyetujui Perppu Nomor 2/2017 dilanjutkan pembahasannya pada pembicaraan tingkat II di paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang," ujar anggota Komisi II Fraksi PDIP, Komarudin Watubun, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/10).
Sementara partai Demokrat dan dua partai pendukung pemerintah lainnya, PKB dan PPP meski menyatakan setuju, namun memberi catatan. Ketiga fraksi ini meminta ada revisi sejumlah poin di Perppu Ormas bila nanti sudah disahkan menjadi undang-undang pengganti UU Nomor 17/2013 tentang Ormas.
"PKB menyarankan dilakukan revisi terhadap (Perppu yang akan jadi UU) ormas. Utamanya berhubungan dengan berserikat dan berkumpul. Berdasarkan latar belakang ini, Fraksi PKB menyatakan bahwa setuju membawa Perppu Ormas ke dalam rapat paripurna untuk disahkan jadi UU," ungkap Anggota Komisi II Fraksi PKB Yakub Kholil Khaumas .
Hal yang sama juga disampaikan anggota Fraksi Demokrat, Afzal Mahfuz, yang menyatakan setuju Perppu Ormas disahkan menjadi undang-undang. Kendati lebih dulu dilakukan revisi terbatas.
Demokrat menyatakan dapat menyetujui rancangan UU Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II di rapur (rapat paripurna) dan jika pemerintah tidak bersedia dan tidak berkenan melalui revisi terbatas terhadap rancangan UU Perppu Nomor 2/ 2017 dengan perubahan UU Nomor 17/2013 tentang Ormas.
"Maka dengan berat hati Demokrat menolak perppu dimaksud disetujui dan disahkan," ungkap Afzal.
Sementara itu, 3 dari 10 fraksi yang ada di DPR justru sepakat menolak Perppu Ormas. Ketiga fraksi itu adalah Gerindra, PKS, dan PAN. Sejak semula, tiga fraksi tersebut memang menolak Perppu Ormas yang jadi landasan dibubarkannya HTI itu.
"Secara substansi Perppu ini sangat bertentangan dengan demokratis karena telah merampas status badan hukum ormas. Serta dapat diancam pidana seumur hidup sangat rentan menimbulkan kegaduhan membuat tafsir masing-masing," ujar Anggota Komisi II Fraksi Gerindra Azikin Solthan.
Demikian juga dengan PKS yang menyatakan tidak setuju rancangan UU tentang Perppu Nomor 2/2017 atas perubahan UU 17/2013 untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Menurut perwakilan dari PKS, Sutriyono, sikap itu diambil setelah melakukan kajian yang matang.
Disetujuinya Perppu tersebut oleh 7 fraksi itu, berarti mayoritas parpol yang ada di DPR bisa dikatakan setuju. Rencananya, pembahasan lebih lanjut akan dilakukan dalam rapat paripurna DPR esok hari, Selasa (24/10). (dtc/rm)Perppu Ormas Dinilai Tidak Langgar HAM
Kamis, 19/10/2017 19:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Prof Romli Atmasasmita menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (UU) No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) sangat relevan dan tidak melanggar HAM. Romli juga berpendapat Perppu Ormas tidak untuk memberangus demokrasi dan juga tidak melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).Pendapat itu disampaikan Romli saat rapat dengar pendapat di Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta, Rabu ( 18/10).
Anggota Komisi II DPR Ace Hasan Syadzily juga menyatakan sepakat dengan pendapat Prof Romli Atmasasmita Perppu Ormas tidak melanggar HAM. Menurut Ace jika suatu Ormas izinya dicabut, Ormas tersebut masih bisa melakukan pembelaan melalui proses pengadilan.
Apabila yang mencabut adalah Kementerian Hukum dan HAM maka Ormas bisa mengajukan praperadilan ke PTUN. "Ini ada di Undang-undang Administrasi Negara. Perppu ini tidak mengabaikan proses hukum. Peradilan tetap ada dalam Perppu. Ini tidak melanggar HAM," ujarnya.
politisi partai Golkar itu bahkan mengatakan hadirnya Perppu tersebut untuk memastikan proses kedaulatan di republik ini bisa terjaga. Sebab Ormas yang ada di bangsa ini jumlahnya sangat banyak dan perlu dibatasi dengan substasi pembatasan apabila bertentangan dengan Pancasila bahkan ingin menggantikan Pancasila maka izinnya bisa dicabut.
"Negara tidak membiarkan ada kelompok yang sengaja mau menggantikan Pancasila. Makanya dibuat pembatasan dengan substansi pembatasan yaitu tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Kalau ini jelas keutuhan negara ini bisa terjaga," katanya. Ia menambahkan jika mengikuti UU nomor 17 prosesnya lama bisa 1,5 tahun sementara Pemerintah memandang keadaan sudah genting karena HTI telah menyebarkan ajaran yang bertentang dengan Pancasila.
Karena itu untuk mempercepat dan mempersingkat porses tersebut, karena sudah nyata terbukti bertentanga dengan Pancasila maka prosesnya di percepat menjadi 7 hari diberikan peringatan kemudian dicabut izinnya. "Namun, Ormas itu tetap memiliki hak untuk melakukan gugatan,” jelasnya, seperti dikutip dpr.go.id.
Romli mengaskan, kegentingan keluarnya Perppu Ormas terletak pada Undang-undang (UU) nomor 17 yang isinya tidak memberikan kewenangan kepada negara. "Suatu UU diproduksi pasti memiliki kelemahan, kalau tidak kelemahan dalam proses, isi, atau kelemahan dalam pelaksanaan. Maka dari itu lahirnya Perppu sudah tepat tinggal pengawasan dan kebijaksaan dari kedua kementerian," katanya.
Lebih jauh Romli mengatakan, Ormas yang dicabut izinnya sudah terbukti melakukan gerakan radikal. Maka sudah tepat Pemerintah mengeluarkan Peppu, karena pemerintah tidak bisa menunggu sampai sekian lama, pemerintah memang perlu mengatasi masalah sosial di masyarakat dengan cepat.
"UU Ormas ini bermasalah sebetulnya kegentingan memaksanya itu terjadi karena UU itu. Makanya saya lebih condong mengatakan UU 17 itu UU republik ormas buka RI, karena dalam UU negara tidak memiliki kewenangan apa-apa. UU tidak bisa merespon secara cepat dengan kegentingan yang terjadi hari ini," tegasnya. Seraya menambahkan, kalau ada gerakan yang akan menimbulkan persoalan sosial ekonomi kan tidak bisa didiamkan. (rm)Presiden Bantah Represif dalam Penerbitan Perppu Ormas
Rabu, 18/10/2017 18:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah pihaknya telah bersikap represif dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Presiden mengatakan penerbitan Perppu itu sudah sangat demokratis karena masih bisa tidak disetujui oleh DPR maupun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Perppu nanti kan ini masih maju di DPR, di situ juga ada forum setuju dan tidak setuju. Bisa saja di situ dibatalkan atau ditolak. Itu juga masih diberi kesempatan, yang ini dari sisi mekanisme hukum, silakan maju ke Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Mekanisme itu semua ada kok," tegas Presiden Jokowi pada silaturahmi dengan Keluarga Besar Jamiyyah Persatuan Islam (Persis), di Masjid PP Persis Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/10) malam.
Menurut presiden, jika dirinya represif, apa yang ia maui kalau yang lain tidak mau harus tetap dilaksanakan. Sedangkan dalam penerbitan Perppu Ormas yang terjadi tidak demikian.
"Mekanisme itu semuanya bisa ditempuh. Bisa saja dibatalkan di DPR kenapa tidak? Di situ ada mekanisme politik, mekanisme hukum di MK juga bisa saja dibatalkan kalau itu memang tidak sesuai dengan UU yang lebih tinggi, UUD (Undang-Undang Dasar)," kata Jokowi, seraya menambahkan, mekanisme itu akan memberikan pendidikan kepada kita, mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Dslam hal ini, Jokowi mengatakan pemerintah sangat terbuka, tidak hanya masalah Perppu Ormas saja yang lain pun juga seperti itu. Ia mencontohkan, saat pemerintah menghapus 3.153 Peraturan Daerah (Perda), lalu ada yang menggugat di Mahkamah Agung, dimana pemerintah kalah berperkara.
"Ya sudah, kalah ya Perdanya hidup lagi. 3.153 Perda hidup lagi. Itu konsekuensi mekanisme hukumnya seperti itu ya harus kita hargai," ujar Presiden, seperti dikutip setkab.go.id .
Hal tersebut juga berlaku bagi Perppu Ormas. Kalau isinya nantinya di MK digugat, pemerintah tidak akan menghambat, tidak akan menutup-nutupi, karena itu mekanisme hukum ketatanegaraan hukum yang kita punyai.
Presiden juga mengemukakan, bahwa penerbitan Perppu Ormas itu sudah melalui kajian yang lama di Menko Polhukam. Ada pengumpulan data-data melalui video maupun buku-buku, dan sebagainya.
"Kemudian dari sana dilihat semuanya, dilihat dari sudut keamanan, sudut kebangsaan, dari sudut ketatanegaraan. Kesimpulan yang ada saat itu memang dibutuhkan sebuah Perppu karena tanpa Perppu nanti penanganan itu, bukan karena masalah Ormasnya, penanganan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi negara itu menjadi bertele-tele," jelas Presiden.
Presiden menambahkan, dirinya juga sudah berbicara 2 kali, 3 kali, 4 kali, 5 kali dengan Ormas-Ormas mengenai Perppu ini. "Kita kumpulkan, di Menko Polhukam, saya juga masih minta pendapat lagi. Ini sebuah perjalanan panjang bukan langsung ujug-ujug keluar, ndak juga, ndak seperti itu," tutur Jokowi. (rm)Perppu Ormas Dinilai Bertentangan dengan Demokrasi
Selasa, 17/10/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menegaskan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Dia menegaskan, hak untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi. Karenanya, perbuatan melakukan pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
"Saya dari Fraksi PKS menyatakan tegas menolak RUU Penetapan Perppu Ormas menjadi Undang-Undang," kata Mardani dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Mendagri, Menkumham dan Menkominfo pembahasan Tk I RUU Penetapan Perppu Ormas di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (16/10), seperti dikutip dpr.go.id.
Mardani menjelaskan, Perppu Ormas mengandung ambiguitas yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan. Seperti, dalam hal norma tentang larangan bagi Ormas dalam berkegiatan, yang meliputi pula larangan untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang (Pasal 59 Ayat 4).
Tak hanya itu, politisi F-PKS ini mengatakan Perppu Ormas berpotensi memunculkan rejim otoriter dengan menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas. "Hal yang sangat krusial dan fatal yang diatur dalam Perpu tentang Ormas sehingga menjadikan Perpu ini sebagai ancaman bagi pelaksanaan demokrasi di negara hukum Indonesia, adalah dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran Ormas dan diambil alih oleh Pemerintah," tegasnya.
Mardani juga menilai, dalam Perppu Ormas juga pemerintah menyederhanakan dan menghilangkan tahapan-tahapan pembubaran ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. "Fraksi PKS menilai bahwa Perpu tentang Ormas memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi," tegasnya.Mardani mengatakan, pemberatan sanksi pidana dalam perkara penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama dalam konteks pelanggaran ormas yang diatur dalam Perppu tentang Ormas ini tidaklah tepat karena tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai norma yang sama.
Melalui Perppu tentang Ormas ini, pemerintah menambah berat sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh orang menjadi anggota dan pengurus ormas, menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
"Ketentuan ini sangat rawan untuk dijadikan senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap orang-orang tertentu dengan dalih penodaan terhadap agama. Bahkan, ketentuan ini dapat dijadikan celah untuk memberangus kegiatan Ormas dengan mengkriminalisasikan anggota dan/atau pengurus Ormas tersebut dengan menggunakan pasal tentang penodaan agama ini," pungkas Mardani. (mag)Kemendagri Selektif Loloskan Pendaftaran Ormas
Jum'at, 22/09/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan bersikap lebih selektif dalam meloloskan ormas yang mendaftar. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, sikap ini diambil Kemendagri berdasar pada pengalaman beberapa ormas yang belakangan akhirnya diketahui bertentangan dengan nilai Pancasila.
"Ormas radikal penangananya kita mengikuti SOP dari BNPT, terpadu termasuk daerah juga terlibat. Depdagri juga sama, hanya ormas yang terdaftar di Depdagri, kami selektif," ujar Mendagri Tjahjo Kumolo, saat menghadiri Kaderisasi Dan Pendalaman Organisasi RAJATIKAM, di Pusdiklat Badan Pengembangan dan Sumberdaya Kemendagri Yogyakarta, Kamis (21/9).
"Jangan kayak dulu ada ormas sosial diterima (izinnya) di Depdagri. Tetapi ternyata peran di daerahnya beda. Kayak Gafatar, yang bersifat tertutup terbuka sampai hijrah punya agenda lain yang bertentangan dengan Pancasila, ya dibubarkan," imbuhnya.
Dia menegaskan untuk membuat ormas dan bisa terdaftar harus taat pada Pancasila dan UUD. Azasnya harus konsisten. Misalnya dari awal bergerak di bidang sosial atau di bidang dakwah.
Setelah pemerinta membubarkan HTI beberapa bulan lalu, Mendagri mengatakan, ada usulan-usulan untuk pembubaran ormas lain. Tetapi hal itu hanya di tingkat lokal.
"Tingkat lokal ya kita lihat. Kalau istilahnya soal kamtibmas diselesaikan polisi, kalau aliran sesat ya kejaksaan atau rekomendasi dari majelis ulama atau majelis agama lainya," kata Tjahjo. (dtc/mag)
Alasan Persis Menggugat Perppu Ormas
Selasa, 15/08/2017 19:49 WIBPerppu 2/2017 tentang Ormas kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini yang melakukan gugatan adalah ormas Persatuan Islam (Persis).
Menurut kuasa hukum Persis, M Mahendradatta, terbitnya Perppu Ormas sudah menyebabkan teror di kalangan internal ormas tersebut. Alasannya, karena mereka khawatir terjebak dalam konstruksi hukum yang ada dalam Perppu tersebut.
"Mereka khawatir terjebak oleh konstruksi hukum Perppu yang dapat mempidanakan," kata Mahendradatta di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (15/8).
"Padahal tugas mereka hanya menyebarkan dakwah Islam yang sesuai Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman hidup," lanjutnya.
Sebagai ormas Islam, lanjut Mahendradatta, Persis memiliki asas organisasi yang berdasarkan syariat Islam. Dia mempertanyakan salah satu frasa dalam Perppu tersebut yang bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Tepatnya yaitu pasal 59 yang berbunyi ´Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila´.
"Apakah asas Islam juga paham lain yang bisa dianggap mengancam Pancasila," ucapnya.
Terkait kerugian konstitusional yang berpotensi akan dialami oleh Persis, dia menyebut, sebagai ormas yang berlandaskan Islam, tentu ada beberapa fatwa dari yang dianggap mereka sejalan dengan Al-Quran. Beberapa fatwa yang sudah mereka keluarkan antara lain tidak memilih pemimpin non muslim dan menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
"Itu akan dipersepsikan menyebut menyebarkan permusuhan dan kebencian. Dengan demikian ada rasa kekhawatiran dakwah yang terbuka itu sebagai tindakan menyebar kebencian," tutupnya. (dtc/mfb)