JAKARTA - Program Kartu Prakerja dinilai tak tepat sasaran sehingga harus dihentikan. Apalagi sekarang tengah terjadi pandemi COVID-19.

Presiden Joko Widodo seharusnya menyelesaikan polemik Kartu Prakerja ini.

Ekonom senior Faisal Basri mengatakan seharusnya tak perlu lagi ada gelombang ketiga atau keempat dari Kartu Prakerja.

"Sudah jelas (program Kartu Prakerja) tidak tepat sasaran. Desainnya buruk," kata Faisal dalam acara Satu Meja The Forum bertema Ada Apa dengan Kartu Prakerja?  yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (6/5).

Faisal menjelaskan yang diperlukan saat ini bukan Kartu Prakerja melainkan dana untuk membayar cicilan dan memenuhi kebutuhan keluarga.

Hal dasar seperti itu yang seharusnya diutamakan lebih. 100% untuk bantuan sosial.

Menurutnya, yang dimaksud desain yang buruk itu termasuk proses penunjukan delapan platform digital tanpa tender. Termasuk juga yang menjadi pelaksananya adalan Kementerian Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian).

Itu bagian dari desain yang jelek.

"Ini menjadi tanggung jawabnya presiden karena lintas kementerian. Presiden yang bisa mengurai ini," katanya.

Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menjelaskan sejak awal DPR tidak pernah dilibatkan dalam program ini. Program ini justru dikerjakan oleh Kemenko Perekonomian sehingga sangat sulit mengawasi pelaksanaan program ini.

Kemenko Perekonomian ini tidak ikut kemitraan dengan DPR, baru belakangan ini saja DPR mengundang Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja.

"Dulu kita berharap program ini di Kementerian Ketenagakerjaan karena punya Balai Latihan Kerja (BLK)," ujarnya.

Menurutnya jarang sekali ada pekerjaan teknis yang dikerjakan Kementerian Koordinator. Pemerintah mestinya menjelaskan apa targetnya Kartu Prakerja tidak ditaruh di Kementerian teknis seperti Kementerian Tenaga Kerja.

Faisal menambahkan penempatan pelaksanaan program ini ke Menko sangat tidak tepat. Seharusnya di Kementerian Tenaga Kerja, yang telah memiliki sistem aplikasi yang dapat memantau jumlah tenaga kerja yang di-PHK secara real time.

"(Jadi ke Menko Perekonomian) kurang kerja karena separoh kerjaan digarap ke Menko Maritim dan Investasi. Itu sinismenya," imbuh Faisal.

Sementara Agustinus Edy Kristianto, praktisi digital, sejak awal sudah mencurigai Kartu Prakerja ini sebagai praktik bisnis bermodalkan uang negara.

"Saya baca berita program pekerja ini melibatkan delapan platform digital. Kecurigaan saya ada sebuah transaksi jual beli atau bisnis seperti layaknya di marketplace," ungkapnya.

Setelah mendalami, ia pun mencoba mendaftar sebaga peserta Kartu Prakerja. Ketika mendaftar, ia menempatkan diri sebagai wiraswasta dengan menjelaskan kondisi sebenarnya dan ternyata lulus.

"Dana dalam dompet digital dibelikan pelatihan jurnalistik. Jelas ada proses transaksional yang menggunakan uang negara. Saya baca aturannya pembayarannya itu berupa pemindahbukuan ke rekening platform digital. Ada transaksi jual beli memakai uang negara," ungkapnya.

Menurutnya Kartu Prakerja ini merupakan kebijakan yang buruk sejak dari hulu. Hal itu bisa dilihat dari proses penerbitan Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja yang terbit 28 Februari 2020. Sebelum kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan (1-2 Maret 2020).

Batu ujinya adalah Perpres ini tidak mengacu aturan lain tentang pelatihan kerja, yakni PP 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.

"Ini bisnis di balik Kartu Prakerja. Kalau menurut saya, Perpres harus dicabut dan direvisi. Dihentikan kegiatan jual beli konten video pelatihan. Kalau mau dilakukan pelatihan formatnya tidak seperti ini, lakukan tanpa ada jual beli," ujarnya.

(G-2)

BACA JUGA: