JAKARTA - Orang yang berwatak jahat akan melihat program Kartu Prakerja sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan menggunakan cara curang (fraud).

"Dia akan melihat apa saja list program pemerintah, kemudian direkayasa untuk mendapatkan keuntungan," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari dalam Webinar yang diadakan oleh Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman bertajuk Aroma Korupsi Kartu Prakerja, yang diikuti oleh Gresnews.com, Kamis (14/5/2020).

Dugaan rekayasa untuk mendapat keuntungan itu tampak di salah satu dari tiga komponen alokasi biaya Kartu Prakerja, yakni bantuan biaya pelatihan sebesar Rp1 juta untuk sasaran peserta sebanyak 5,6 juta orang. Alokasi anggaran bantuan biaya pelatihan sebesar Rp5,6 triliun dari keseluruhan total anggaran Kartu Prakerja Rp20 triliun.

Dana Rp1 juta tersebut akan diberikan berupa saldo nontunai di rekening peserta Kartu Prakerja, untuk selanjutnya hanya bisa dipakai untuk membeli video pelatihan di delapan platform digital (Skill Academy by Ruangguru, Tokopedia, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Maubelajarapa, Sisnaker, dan Pijar Mahir).

Pembelian video pelatihan, mendapatkan sertifikat tanda telah mengikuti video pelatihan, serta pengisian survei dan rating di platform digital, merupakan persyaratan bagi peserta untuk mendapat insentif mencari kerja sebesar Rp600 ribu/bulan selama empat bulan dan insentif pengisian survei sebesar Rp150 ribu (dalam tiga tahap @Rp50 ribu).

Platform digital diperbolehkan untuk mengambil komisi jasa dari lembaga-lembaga pelatihan yang menyelenggarakan video pelatihan tersebut (hingga saat ini terdapat 2.000-an video pelatihan di delapan platform digital yang diproduksi oleh 200-an lembaga pelatihan/perorangan).

Soal komisi jasa itu diatur dalam Pasal 52 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko Perekonomian) 3/2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.

Feri menilai terdapat faktor arogansi kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan rekayasa demi mendapatkan keuntungan dari program Kartu Prakerja itu. 

Keterlibatan ahli di bidang teknologi juga merupakan faktor yang membuat kecurangan tersebut menjadi lengkap.

"Ada keahlian teknologi yang terlibat dalam Kartu Prakerja ini untuk melakukan manipulasi. Orang-orang tertentu mendapatkan insentif (keuntungan) dari kecurangan itu secara ilegal," ujarnya.

Sementara itu Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menekankan pentingnya mengurai proses dan kronologi program Kartu Prakerja itu untuk menarik sebuah benang merah, yakni indikasi tindak pidana korupsi. 

Adnan menyatakan ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan: yuridis/legal, mekanisme penunjukkan platform digital, dan model bisnis Kartu Prakerja.

Dari sisi yuridis terdapat banyak aturan yang bisa dipakai untuk membedah proyek tersebut, antara lain UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

"Dasar aturan apa yang digunakan sehingga ada dana negara keluar sedemikian banyak sebesar Rp5,6 triliun, yang nanti dinikmati oleh para mitra pemerintah yaitu platform digital?" kata Adnan.

(G-2)

BACA JUGA: