JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan akan menelisik kemungkinan adanya dugaan korupsi program Kartu Prakerja.

Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan KPK telah menerima masukan dan laporan dari masyarakat terkait program kartu Prakerja.

Bila hasil telaah ditemukan adanya indikasi peristiwa pidana maka KPK akan menindaklanjuti sesuai ketentuan hukum.

"Apabila dari hasil telaahan dan kajian memang ditemukan adanya indikasi peristiwa pidana maka tentu KPK akan melakukan langkah-langkah berikutnya sebagaimana ketentuan hukum," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (15/05/2020).

KPK, lanjut Fikri, menerima laporan dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) beberapa waktu lalu.

Ia menegaskan setiap laporan masyarakat, termasuk dari MAKI tentu akan diterima dan ditelaah.

"Setiap laporan masyarakat, termasuk dari MAKI soal prakerja tersebut, tentu KPK akan melakukan langkah-langkah analisis lebih lanjut dengan lebih dahulu melakukan verifikasi mendalam terhadap data yang diterima," kata Ali.

Sebelumnya MAKI menduga tarif pelatihan online dalam Program Kartu Prakerja telah digelembungkan alias terjadi mark-up.

Harga pelatihan yang ditawarkan oleh sejumlah platform terlalu mahal.

"Terlalu mahal apabila didasarkan ongkos produksi materi bahan pelatihan," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan KPK sudah bisa melakukan penyelidikan atau pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) soal anggaran Program Kartu Prakerja.

Saat ini sudah ada pembayaran lunas program pelatihan peserta Kartu Prakerja.

Boyamin menjelaskan harga yang ditawarkan delapan mitra Program Kartu Prakerja berkisar Rp200 ribu hingga Rp1 juta. Tarif itu juga terlalu mahal menilik banyak materi latihan serupa yang bisa diakses gratis via YouTube.com.

Perhitungan Boyamin berdasarkan pendapat peneliti Institute for Developments of Economic and Financial (INDEF) bahwa mitra Kartu Prakerja berpotensi mendapatkan keuntungan hingga Rp3,7 triliun dari program tersebut.

Artinya keuntungan bersih sebesar 66% dari total anggaran Rp5,6 triliun.

Persentase keuntungan itu menyalahi aturan sebab Badan Pemeriksa Keuangan dan BPKP membatasi keuntungan maksimal 20%. (G-2)

 

BACA JUGA: