JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, (BLBI). Pertimbangannya, KPK menilai jumlah yang sangat besar ini bisa dioptimalkan untuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan dan sarana publik lainnya. Untuk bisa mengupayakan itu, KPK perlu dukungan dari berbagai pihak.

"Salah satu yang sudah dilakukan KPK adalah mengirimkan surat pada 6 September 2019 kepada SES NCB-Interpol Indonesia," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam siaran pers yang dikutip Gresnews.com, Selasa (3/12).

Dalam surat tersebut KPK meminta bantuan pencarian melalui Red Notice untuk Sjamsul Nursalim (SJN/Pemegang saham pengendali BDNI) dan Itjih Nursalim, istri Sjamsul (swasta), tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN.

Langkah berikutnya, sesuai dengan respons dari pihak NCB Interpol Indonesia, akan diagendakan pertemuan koordinasi dengan KPK sekaligus dilakukan gelar perkara jika diperlukan. Bantuan Polri dan NCB Interpol memiliki peran yang krusial untuk penanganan kasus dengan dugaan kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 Triliun ini agar dapat berjalan secara maksimal.

Selain itu, untuk putusan lepas dengan terdakwa Syarifuddin Arsyad Tumenggung, tim JPU KPK sedang memperdalam pertimbangan-pertimbangan hukum untuk kebutuhan mempersiapkan pengajuan Peninjauan Kembali.

Upaya menghadirkan dua tersangka SJN dan ITN telah dilakukan KPK melalui beberapa cara. Sebelum meminta bantuan penerbitan Red Notice, pada September 2019 KPK memasukkan dua nama tersangka SJN dan ITN dalam Daftar Pencarian Orang.

Sebelum memasukkan dua tersangka ini dalam Daftar Pencarian Orang, KPK telah memanggil SJN dan ITN untuk diperiksa sebanyak dua kali, yakni pada 28 Juni dan 19 Juli 2019. Keduanya tercatat tidak menghadiri panggilan pemeriksaan tersebut.

KPK menetapkan SJN dan ITN sebagai tersangka sejak 10 Juni 2019 karena diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak Dipasena sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.

Atas perbuatan tersebut, SJN dan ITN disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: