JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan perkara korupsi dengan tersangka Sjamsul Nursalim terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ini merupakan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) pertama yang dikeluarkan KPK.

Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa KPK sebagai lembaga khusus yang didirikan untuk menangani korupsi seharusnya tidak dengan mudah mengobral SP3.

"Apalagi terhadap kasus yang jelas-jelas benar merugikan negara. Masih banyak waktu bagi KPK untuk mengungkap perkara BLBI tersebut," kata Fickar kepada Gresnews.com, Kamis (1/4/2021).

Hal itu, kata Fickar, karena BI menyimpan banyak arsip perbankan termasuk ketika penyaluran BLBI. Seharusnya sebagai lembaga yang khusus didirikan untuk memberantas korupsi ,tidak ada kata menyerah dengan SP3.

"Karena langkah ini pasti menimbulkan spekulasi-spekulasi ada pihak yang dilindungi," tukasnya.

Sjamsul sebelumnya berstatus tersangka bersama istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus dugaan korupsi terkait BLBI. Sjamsul dan Itjih dijerat sebagai tersangka karena diduga menjadi pihak yang diperkaya dalam kasus BLBI yang terindikasi merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun. Sjamsul merupakan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Saat itu Sjamsul dan Itjih dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun keberadaan keduanya sampai saat ini belum bisa ditangkap KPK. Diketahui Sjamsul dan Itjih berada di Singapura.

Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan SP3 Sjamsul Nursalim merujuk pada dikabulkannya permohonan kasasi terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang bebas dari semua tuntutan terkait korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998.

"Hari ini kami mengumumkan penghentian penyidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh tersangka Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Sjamsul Nursalim (ISN) bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) selaku Ketua BPPN dalam proses Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)," kata Ali melalui surat elektronik yang diterima oleh Gresnews.com, Kamis (1/4/2021).

Menurut Ali, penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK.

"Sebagai bagian dari penegak hukum maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku," jelasnya.

Ali mengatakan, penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu "Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum".

Menurutnya, KPK mengurai riwayat penanganan perkara yang ditanganinya itu dimulai sejak tanggal 2 Oktober 2019, telah melaksanakan Penyidikan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Dengan pasal sangkaan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun runtutan proses perjalanan perkara hukum tersebut yang pertama ketika dilaksanakan proses penyidikan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada SN selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI pada 2004, sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh Obligor BLBI kepada BPPN, yang dilakukan oleh tersangka SAT selaku Ketua BPPN berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-19/01/03/2017 tanggal 20 Maret
2017.

"Setelah berkas dinyatakan lengkap maka dilaksanakan Tahap II atas tersangka SAT pada tanggal 18 April 2018 dan kemudian dilimpahkan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat," terang Ali.

Kemudian, pada tahap pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagaimana Nomor putusan : 39/Pidsus-TPK/2018/PN.JKT.PST tanggal 24 September 2018 dengan amar putusan pidana penjara 13 tahun dan pidana denda Rp 700 juta.

Selanjutnya, sejak 9 Agustus 2018 KPK kembali melakukan penyelidikan proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku Obligor BLBI kepada BPPN.

Atas putusan PN Tipikor Jakarta Pusat, Terdakwa SAT mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan berdasarkan Putusan Nomor : 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI tanggal 2 Januari 2019, Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar.

"Atas putusan ini terdakwa SAT kemudian mengajukan upaya hukum Kasasi kepada MA RI," ujar Ali.

Kemudian, kata Ali, pada 13 Mei 2019, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dengan tersangka SN dan ISN diduga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan SAT selaku Ketua BPPN.

Maka pada tanggal 9 Juli 2019, MA RI mengabulkan Kasasi terdakwa SAT sebagaimana putusan nomor putusan : 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli 2019, pada pokoknya sebagai berikut, pertama, Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

Kedua, Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI tanggal 02 Januari 2019, yang mengubah amar Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST tanggal 24 September 2018.

Ketiga, Menyatakan Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

"Empat, melepaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Kelima. memerintahkan agar Terdakwa dikeluarkan dari tahanan," tutur Ali.

Atas hal tersebut, kata Ali, Jaksa Eksekutor KPK telah melaksanakan putusan dengan cara mengeluarkan Terdakwa dari Tahanan Rutan KPK pada hari Selasa tanggal 09 Juli 2019.

Kembali pada 17 Desember 2019 KPK mengajukan upaya hukum luar biasa PK atas putusan Kasasi SAT Nomor : 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli 2019.

Kemudian, pada tanggal 16 Juli 2020 Permohonan PK KPK ditolak berdasarkan Surat MA RI Nomor: 2135/Panmud.Pidsus/VII/2020 tanggal 16 Juli 2020.

Upaya KPK sampai dengan diajukan Peninjuan Kembali perkara dimaksud telah dilakukan, akan tetapi berdasarkan Putusan MA RI atas Kasasi SAT Nomor : 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli 2019 dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

"Maka KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," bebernya.

Ali menuturkan, dengan mengingat ketentuan Pasal 11 UU KPK “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara”.

KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan Penyelenggara Negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi. Sedangkan tersangka SN dan ISN berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara.

"Maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: