JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memasukkan Sjamsul Nursalim (SJN) dan Itjih S Nursalim (ITN) dalam daftar pencarian orang (DPO). KPK pun meminta bantuan instansi terkait untuk menangkap dua tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kini tinggal dan bahkan telah menjadi warga negara Singapura.

"KPK memasukkan SJN dan ITN ke dalam Daftar Pencarian Orang sejak 6 September 2019," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dikutip Gresnews.com, Jumat (4/10)

Untuk mengejar kedua tersangka tersebut KPK menjalin kerja sama dengan lembaga lain. Menurut Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Memang bukan perkara mudah mendatangkan tersangka korupsi dari Singapura, tapi bukan tak mungkin. Gresnews.com mencatat setidaknya ada beberapa buron yang berhasil dipulangkan ke Indonesia. Salah satunya adalah Hartawan Aluwi yang berhasil ditangkap Badan Intelijen Negara (BIN) di Singapura. Aluwi merupakan buronan koruptor perkara Bank Century yang merugikan negara Rp3,11 triliun.

Langkah lain yang dilakukan KPK adalah berkoordinasi dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), semacam KPK-nya Singapura.

KPK menetapkan SJN dan ITN sebagai tersangka sejak 10 Juni 2019 dalam dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sejak ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah memanggil SJN dan ITN untuk diperiksa sebanyak dua kali, yakni pada 28 Juni dan 19 Juli 2019. Keduanya tercatat tidak menghadiri panggilan pemeriksaan tersebut.

SJN dan ITN diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petambak Dipasena sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.

Atas perbuatan tersebut, SJN dan ITN disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: