JAKARTA, GRESNEWS.COM - Eksistensi peradilan adat kerap dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena sistem dan mekanisme peradilan adat seolah-olah berada di luar mekanisme hukum formal yang berlaku di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, di tengah kompleksnya isu hak ulayat, negara perlu hadir memperkuat kembali peran dan fungsi peradilan adat. Abdon menilai, penguatan kelembagaan tersebut akan sangat berdampak positif dalam pemenuhan hak masyarakat adat.

"Peradilan adat yang sudah lama terbentuk harus diperkuat lagi peran dan fungsinya oleh negara," kata Abdon kepada Gresnews.com, Sabtu (18/4).

Abdon menekankan, pemerintah tidak perlu membentuk kelembagaan adat baru. Ia mendesak agar peradilan adat yang sudah dibentuk selama ini diperkuat kembali eksistensinya.

Abdon mengklaim, jika pemerintah kembali membentuk suatu kelembagaan adat baru maka akan sarat kepentingan politis dan berpotensi ancaman dan konflik baru.

"Peradilan adat yang sudah ada diperkuat lagi. Pemerintah tidak perlu membentuk kelembagaan baru," ucap Abdon.

Terkait hal itu, terdapat RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang terus didorong oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Salah satu ketentuan yaitu Pasal 8 menyebutkan bahwa peradilan adat merupakan bagian dari lembaga adat dan mempunyai kewenangan untuk mengadili semua perkara yang terjadi yang dilakukan oleh anggota masyarakat adat dan di wilayah adat yang bersangkutan.

Kemudian, pada pasal yang sama, AMAN juga menginginkan adanya jaminan hukum oleh pemerintah. Misalnya, keputusan dari peradilan adat sebagaimana dimaksud bersifat mengikat dan final.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Lilik Mulyadi mengatakan, peradilan adat diakui secara yuridis, sosiologis, filosofis dan teoritis yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR (Tap MPR), hingga Keputusan Presiden. Misalnya, Pasal 18 B Ayat (2), Pasal 28 I Ayat (3), Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, Tap MPR IX/MPR/2001, UU Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2005

"Peradilan adat diakui secara yuridis, sosiologis, filosofis dan teoritis," kata Lilik.

Menurut Lilik, kehadiran Pasal 1 KUHP pada zaman penjajahan Belanda memicu matinya peradilan adat. Pasal 1 KUHP menyebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Namun, Lilik mengatakan saat ini konteksnya tentu berbeda. Sehingga, dia berharap ada penguatan koridor hukum yang jelas soal peradilan dan perlindungan hak masyarakat adat. "Saat penjajahan konteks persoalannya bisa dimaklumi namun dirasa janggal bilamana kebijakan itu masih diteruskan hingga saat ini," ujarnya.

BACA JUGA: