JAKARTA - Pemerintah belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada komunitas adat bahkan ada yang mengalami kriminalisasi. Salah satunya yang terjadi pada Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing yang dituding memeras PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan Effendi telah ditangkap dengan sewenang-wenang dan itu merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Penangkapan itu juga dapat dianggap sebagai pembungkaman atas upaya pembelaan hak masyarakat adat.

Menurut Usman, negara seharusnya juga berperan melindungi dan menghormati hak setiap warga yang menyampaikan aspirasi.

"Penangkapan para pegiat HAM seperti Effendi karena upaya mereka melindungi hak asasi jelas bentuk pelanggaran HAM," kata Usman dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Jumat (28/8/2020).

Polisi menjemput paksa Effendi dari rumahnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah pada Rabu, 26 Agustus 2020. Dari video yang beredar, polisi menyeret Effendi setelah sempat menolak penangkapan yang dianggapnya tak beralasan jelas.

Usman menyatakan penjemputan paksa Effendi tak bisa dibenarkan karena siapa pun berhak mendapat bantuan hukum dan tidak boleh menerima perlakuan semena-mena.

Ia meminta agar aparat berwenang segera membebaskan Effendi dan para pembela hak masyarakat adat lainnya. Pemerintah memiliki kewajiban melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat. Yakni menjamin hak-hak mereka atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun temurun.

Menurut Usman, pemerintah mestinya mengedepankan interaksi dengan masyarakat adat dan secara aktif mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi masyarakat adat dari segala bentuk perampasan hak.

Pemerintah mesti berdialog, mengakui hak, dan melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup dan kesejahteraan mereka.

"Kami meminta pemerintah pusat dan daerah untuk selalu melindungi masyarakat adat dari paksaan apa pun dalam pengambilan keputusan dan tidak mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat adat. Bukan malah mengkriminalisasi mereka dan orang-orang yang membela masyarakat adat," ujarnya.

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmito Widodo menjawab tudingan bahwa Effendi memeras dan mengincar uang sebesar Rp10 miliar dari PT SML.

Menurut Kasmito, yang dimaksud Effendi dan Komunitas Adat Kinipan adalah hasil perhitungan yang diperlukan untuk memulihkan hutan adat mereka yang telah rusak.

"Itu tuntutan kepada perusahaan yang telah melakukan perusakan terhadap wilayah adat dan ruang hidup mereka. Jadi bukan pemerasan," kata Kasmito dalam konferensi pers virtual, Kamis (27/8/2020).

Ia menjelaskan hutan adat yang wilayah tutupannya masih sangat rapat itu menjadi bagian dari masyarakat Laman Kinipan. Kini wilayah hutan adat itu telah dilepaskan dari kawasan hutan dan menjadi lahan perusahaan.

Sebelumnya, di wilayah itu pula masyarakat melakukan budidaya jengkol dan bahan pengobatan mereka. Biodiversitas hutan adat tersebut masih sangat baik sebelum kedatangan perusahaan.

Kasmito mengatakan pelepasan kawasan hutan adat Kinipan itu justru untuk memfasilitasi izin perusahaan sawit PT SML. Sepertinya ada upaya sistematis untuk mengkonversi dan menghancurkan hutan adat Komunitas Kinipan itu.

Komunitas Adat Laman Kinipan, lanjut Kasmito, telah memperjuangkan tanah mereka yang hendak diambil perusahaan. Masyarakat, sudah menjalin komunikasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Kantor Staf Presiden.

Namun proses diskusi dan negosiasi dengan perusahaan mentok. Meski sudah berdialog, kata dia, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Kinipan tetap terjadi. Padahal, masyarakat sejak awal tak ingin berkonflik dengan siapa pun.

"Ini sungguh-sungguh mengabaikan hak masyarakat adat. Kami telah menyaksikan sendiri bagaimana kuatnya hubungan mereka dengan wilayah itu, mereka mengelola, menjaga, dan sampai tahap terakhir kawan-kawan Kinipan menjaga hutan adat yang telah dihancurkan," kata Kasmito.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati (Yaya) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperhatikan masyarakat adat. Menurutnya perlindungan, penghormatan, dan pengakuan hak masyarakat adat hanya bisa terjadi jika ada niat politik dari Presiden.

Yaya menyentil kebiasaan Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat dalam acara kenegaraan. Teranyar, Jokowi mengenakan baju adat Suku Sabu, Nusa Tenggara Timur, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu.

"Kalau Jokowi ingin dianggap menghormati, menghargai masyarakat adat, di luar gimmick pakai baju adat, tunjukkan dia punya leadership," katanya dalam konferensi pers virtual, Kamis (27/9/2020).

Salah satu persoalan masyarakat adat saat ini adalah tak adanya pengakuan dari negara terkait eksistensi dan wilayah adat mereka. Sebaliknya, pemerintah justru memberikan banyak konsesi kepada perusahaan besar di atas wilayah adat.

Menurut catatan WALHI, hingga saat ini 61% dari daratan Indonesia sudah dikuasai konsesi. Masyarakat adat selama ini masih kesulitan jika ingin mendapat pengakuan atas wilayahnya. Masyarakat harus memperjuangkan peraturan daerah (perda) yang prosesnya sangat panjang dan berliku.

"Kalau tidak ada political will dari Jokowi saya rasa negara ini akan menjadi negara dengan berbagai konflik di mana-mana, dan kekerasan demi kekerasan akan menjadi makanan kita sehari-hari," ujar dia.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan perda-perda masyarakat adat lahir bukan karena inisiatif pemerintah pusat. Padahal menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, pengakuan hak masyarakat adat bersifat deklaratif.

Rukka mengatakan perda-perda masyarakat adat lahir karena perjuangan perwakilan masyarakat adat yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Semua itu terjadi karena anak-anak yang sengaja kami dorong dari 2007 untuk masuk ke DPR," kata Rukka.

Pemerintah juga masih setengah hati mencadangkan hutan adat, yang disebut-sebut seluas 914 ribu hektare. Dari alokasi tersebut, Rukka mengatakan baru 32 ribu hektare yang diakui sebagai hutan adat. (G-2)

BACA JUGA: