JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pekan belakangan ini, jagat maya diguncang isu adanya rekayasa dialog antara Presiden Joko Widodo dengan Suku Anak Dalam. Presiden Jokowi dituding melakukan pengarahan atau settingan dalam dialog tersebut yang ditampilkan dalam dua buah foto yang seolah membenarkan tuduhan itu.

Pemerintah tentu saja membantah keras tudingan tersebut. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, tidak ada rekayasa sama sekali dalam dialog tersebut. "Perlu kami tegaskan bahwa tidak ada sama sekali yang dilakukan oleh Presiden seperti yang dituduhkan," kata Pramono Anung, beberapa waktu lalu, seperti dikutip setkab.go.id.

Menurut Pramono dalam dialog itu memang ada satu orang yaitu Husni Thamrin yang bertindak sebagai penerjemah yang bisa berbicara dengan Suku Anak Dalam, yang ada di dua tempat tersebut, dan memakai baju batik. Menurut Seskab, jarak antara Presiden Jokowi yang mengunjungi Suku Anak Dalam yang mereka turun gunung atau keluar dari hutan dengan lokasi tempat penampungan itu kurang lebih sekitar 600-800 meter.

Karena itu, Seskab menilai, apa yang dikembangkan beberapa orang melalui media sosial seperti sudah di luar etik. "Karena betul-betul Presiden dan beberapa teman-teman media juga beberapa hadir pada waktu itu di lapangan sama sekali tidak ada rekayasa foto atau apa pun, dan itu sama sekali bukan karakter Presiden kita," tegas Mas Pram, panggilan akrab Pramono Anung.

Isu itu sendiri belakangan merembet ke soal terbitnya surat edaran Kapolri Nomor 06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Kapolri dikabarkan sudah memantau 180.000 akun anonim. SE ini sendiri belakangan jadi kontroversi karena dianggap memasung kebebasan berbicara.

Terlepas dari masalah tersebut, sebenarnya ada satu masalah yang krusial yang seharusnya bisa diperbincangkan secara serius dari pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan warga Suku Anak Dalam tersebut. Isu itu terkait tawaran Presiden Jokowi untuk "merumahkan" Suku Anak Dalam.

Dalam kesempatan itu memang pemerintah menawarkan untuk memberikan bantuan perumahan dan tanah seluas 1,5 hektare hingga 2 hektare kepada masing-masing keluarga Suku Anak Dalam. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan pendampingan kepada mereka untuk berladang.

"Mereka berladang tapi berarti harus disiapkan pendampingan untuk berladang, kasih tahu cara mencangkul, disiapkan bertanam, disediakan bibitnya. Jadi, pola-pola begini akan kami koordinasikan, termasuk 43 rumah yang sedang dibangun di Merangin, Insya Allah Desember, kita akan resmikan untuk suku Anak Dalam," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang turut mendampingi Jokowi.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, isu "merumahkan" masyarakat adat seperti masyarakat Suku Anak Dalam adalah isu yang salah arah. "Seharusnya negara lebih fokus memberikan hutan adat yang sudah dirampas, bukan malah memberikan rumah tinggal yang terbukti tak terpakai," kata Abdon dalam perbincangan dengan gresnews.com, Jumat (6/11).

Abdon mengatakan, relasi negara dengan masyarakat adat sejatinya sudah tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pada Pasal 45. Di situ dinyatakan, negara mengakui dan menghormati masyarakat adat.

"Situasi hidup orang rimba yang hidup secara turun temurun dari leluhurnya di satu wilayah hidup yang disebut wilayah hidup orang rimba. Maka seharusnya negara secara konstitusional mengakui dan menghormati wilayah orang rimba," tegasnya.

KESALAHAN SEJAK ORDE BARU - Abdon bercerita, kisah hidup kebanyakan masyarakat adat khususnya Suku Anak Dalam menyuram lantaran kesalahan negara dalam memahami hak-hak mereka. Khususnya sejak era Orde Baru, lahan-lahan hutan milik masyarakat adat termasuk wilayah hidup orang rimba "dirampas" dan dinyatakan sebagai milik negara.

Negara kemudian membuat kesalahan berikutnya yaitu dengan menyerahkan pengelolaan lahan hutan itu kepada pihak swasta seperti perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. "Ini yang menggerogoti wilayah hidup orang rimba, melihat situasi ini, Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid-red) sempat mengeluarkan terobosan," jelasnya.

Oleh Gus Dur ketika itu, sebagian kecil wilayah adat orang rimba pun ditetapkan menjadi Taman Nasional yang melindungi orang rimba. Sayangnya, jumlah orang rimba yang hidup di Taman nasional ini hanya sebagian kecil saja. Sebagian besarnya lagi berada di luar taman nasional.

"Mereka yang selama ini mengalami krisis karena tak mendapat layanan sebagai WNI (warga negara Indonesia-red). Sementara hidupnya sudah berada di ekosistem yang rusak," kata Abdon.

Yang terjadi kemudian terhadap orang rimba adalah krisis yang berganti-ganti, mulai dari air yang tercemar, mengering, hingga krisis pangan lantaran alamnya telah berubah menjadi sawit dan HTI. Abdon menyatakan sudah seharusnya jalan penyelesaiannya negara kembali mengacu konstitusi yakni, Jokowi memulihkan hak-hak masyarakat adat dengan memulihkan wilayah adatnya yang sebagian besar berubah menjadi perkebunan sawit dan HTI.

"Jadi harus dicabut dan direhabilitasi, saya pikir itu kebijakan yang tepat untuk orang rimba. Bukan malah merumahkan mereka di luar hutan," katanya.

Abdon menyatakan hal ini lantaran kehidupan orang rimba bergantung secara penuh atas hutan, sehingga dapat dikatakan rumah mereka adalah hutan. Krisis yang terjadi berulang terhadap orang rimba jelas dikarenakan sudah tak ada lagi rumah hutan bagi mereka. Itulah mengapa disebut "Orang Rimba" lantaran rumahnya berada di hutan.

Lebih lanjut ia menyatakan, pembuatan rumah-rumah di luar wilayah adat yang tak lagi berupa hutan, bisa mengarah pada pemusnahan suku orang rimba. Hal ini lantaran orang rimba tak mungkin bersaing dengan masyarakat lain di luar rimba. "Mereka tak punya ketrampilan hidup tanpa hutan," katanya.

Namun ia menyatakan hal tersebut tak tertutup kemungkinannya ketika pemerintah bisa melakukan pendampingan 5-10 tahun secara terus-menerus. Namun, jika hanya ditawarkan rumah tinggal tanpa rehabilitasi dan pemulihan hutan maka solusi yang ditawarkan hanya sia-sia belaka. "Solusi pemerintah itu tidak nyambung dengan masalah di lapangan," ujarnya.

Abdon bercerita, pada tahun 1970, Kementerian Sosial sudah pernah mengeluarkan proyek pembuatan rumah serupa dengan yang dijalankan Jokowi untuk orang rimba. Namun, proyek ini gagal, lantaran rumah-rumah yang dibuat hanya dijadikan sebagai tempat singgah.

Ketika Jokowi menawarkan solusi serupa, Abdon menyatakan sang presiden tak belajar dari kegagalan masa lalu. "Kok solusi lama masih muncul? Ini namanya mengulangi kegagalan karena tak menyelesaikan masalah sesungguhnya," katanya.

HARUS ADA KAJIAN - Terlepas dari kritik yang dialamatkan kepada pemerintah dalam penanganan masyarakat adat khususnya Suku Anak Dalam ini, apresiasi tetap diberikan DPR kepada upaya Presiden Jokowi. Komisi VIII DPR RI mengapresiasi langkah pemerintah untuk mempercepat upaya pembangunan masyarakat khususnya di daerah terpencil seperti di wilayah orang rimba.

Hanya saja, Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay menjelaskan, tentunya fokus Kementerian Sosial terhadap program pemberdayaan komunitas adat terpencil harus dilakukan secara berbeda-beda. Alasannya, menangani masalah satu suku adat tertentu, pastilah berbeda dengan suku lain.

"Katakan misal, suku anak dalam tentu berbeda dengan suku Badui karena ada kearifan lokal masing-masing yang dimiliki komunitas adat," katanya kepada gresnews.com, Jumat (6/11).

Untuk itu, menurutnya, sebelum meluncurkan suatu program harus ada kajian serius terhadapnya. Dalam kasus ini, terkait kehidupan sosial kemasyarakatan dan cara pandang orang rimba, sehingga jangan sampai malah ada ketidakbermanfaatan karena tak mendalami cara pandang hidup mereka.

"Harus disesuaikan, jika belum bisa adaptasi dengan rumah maka bagaimana caranya agar bisa menerima konsep lain," katanya.

Ia pun memberi contoh pada tahun 1980-an terdapat program pemberdayaan suku tertentu oleh sebuah perusahaan di Jakarta yang mengirimi sabun, shampo, dan baju. Langkah ini dimaksudkan agar suku tersebut dapat hidup bersih, namun, karena dipaksakan, maka minggu kedua program berjalan, suku tersebut malah jatuh sakit.

Lalu diubahlah strategi relawan untuk mulai mengajarkan mandi dengan sabun, dan menggunakan obat anti nyamuk. "Jadi mereka selama ini tidak mandi karena mengoleskan zat tertentu untuk mengusir nyamuk ganas. Ketika mandi maka zat tersebut hilang dan akhirnya tak bisa tidur," katanya.

Melihat cara kerja Kemensos selama ini dalam menangani suku-suku rimba di Indonesia, Saleh menilai kinerja yang dilakukan belumlah maksimal. Apalagi merunut setiap pemaparan dalam rapat-rapat bersama DPR, Kemensos pun belum dapat menjabarkan secara detail kajian komprehensif tentang komunitas adat yang ada di Indonesia.

"Memang butuh waktu, harus mengkaji dan melihat cara pandang termasuk sistem kepercayaan," pungkas Saleh.

BACA JUGA: