JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Bulog, Sutarto Alimoeso beberapa waktu lalu sempat berpromosi soal pemberian teknologi tinggi untuk meminimkan gas karbon dioksida supaya kualitas beras miskin (raskin) semakin baik. Pengaplikasian teknologi itu, kata Soetarto, amat diperlukan untuk mencegah kutu dan segala macam kerusakan pada timbunan raskin. "Karena selama ini raskin kualitasnya dinilai buruk," ujar Soetarto.

Hanya saja wacana penerapan teknologi untuk meningkatkan kualitas raskin ini mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil. Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, penerapan teknologi apapun bakal percuma karena persoalannya adalah bukan pada teknologi tetapi pada pasokan awal yang memang sudah buruk.

Alhasil, kata Tejo, penerapan teknologi dimaksud pada gudang-gudang bulog bakal percuma saja. "Belum lagi ditambah dengan lamanya penyimpanan yang bisa mencapai dua tahun," ujarnya kepada Gresnews.com, Senin, (8/9).

Idealnya, menurut Tejo, penempatan teknologi minim karbon dioksida tidak hanya ditempatkan pada gudang-gudang bulog, namun juga di titik awal penyuplaian, pada tingkat panen oleh para petani. "Karena hama kutu yang masuk tidak hanya saat berada di gudang, namun dapat masuk ketika beras belum memasuki gudang," ujarnya.

Menurut Tejo, sebenarnya penerapan teknologi tersebut bisa diubah ke dalam sistem yang lebih efisien yakni dengan benar-benar menghitung ketepatan antara beras yang diperlukan dengan beras yang dipasok. Sehingga tidak ada kelebihan beras yang harus ditimbun berlama-lama dalam gudang.

Selain itu, mengurangi jumlah impor beras dan menggantinya dengan pembelian beras dari petani dalam negeri. Sehingga jalur distribusi beras menjadi lebih pendek, dengan pendeknya jalur distribusi otomatis lama penyimpanan beras pun akan semakin singkat.

"Dengan jalur distribusi pendek berarti pangan diciptakan dekat dengan konsumennya. Jika manajemennya yang baik, tidak perlu dilakukan penyimpanan, sehingga tidak perlu sibuk menurunkan kadar karbon dioksida," ungkap Tejo.

Beras impor memang menjadi problem lain dalam urusan buruknya kualitas raskin. Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah mengatakan, pasokan raskin hanya 10 persen yang diambil dari beras nasional.

"Sisanya impor dari luar, nah yang impor itu kan sudah dikarung-karungin dari negara asalnya. Bisa tidak dipakaikan teknologi tersebut?" ujarnya kepada Gresnews.com, Senin, (8/9).

BACA JUGA: