JAKARTA, GRESNEWS.COM - Usulan DPR untuk menaikan harga beras miskin (raskin) dari Rp 1600 menjadi RP 2500-3000 per liter ditentang sejumlah pihak. Usulan tersebut dinilai akan membuat beban masyarakat miskin semakin bertambah.  

Wacana menaikan harga beras raskin itu sebelumnya tercetus dalam rapat bersama direktur bulog dan DPR. Alasannya walaupun tingkat kemiskinan diklaim menurun, namun daftar jumlah penerima raskin tiap tahun semakin bertambah. Anggota Komisi IV, M. Rosyid mengusulkan pencabutan subsidi beras secara bertahap, hal ini bertujuan untuk menaikan income perkapita serta mendidik masyarakat agar tidak bergantung terhadap bantuan pemerintah. Ia mengatakan selama ini banyak daftar penerima raskin yang tidak berubah setiap tahunnya, seolah-olah tidak ada rasa malu jika mendapat santunan beras miskin.

“Jangan sampai seperti BBM, setelah kita naikkan harganya baru kita sadar ternyata selama ini subsidi yang diberikan negara sudah teramat besar. Apalagi raskin seringkali tidak tepat sasaran karena perbedaan data antar satu lembaga dengan lembaga lain,” ujar Rosyid.

Namun Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko, menilai
permasalahan mendasar justru bukan pada masalah subsidi yang dicabut, namun peta kemiskinan akut yang benar-benar terverifikasi. “Pemerintah kan punya aparat hingga tingkat kelurahan yang bisa memverifikasi berapa jumlah penerima raskin, sehingga raskin bisa dihemat dengan sasaran yang tepat. Bukan malah menaikan harganya,” katanya kepada Gresnews.com, Jumat, (5/9).

Sementara Koordinator Pokja Beras Said Abdullah  menilai usulan kenaikan harga tersebut  justru akan memberatkan masyarakat,  jika benar-benar diterapkan. Pasalnya, dengan kenaikan BBM saja, masyarakat miskin yang notabene merupakan petani dan nelayan kecil sudah memanggul tiga beban yakni naiknya biaya produksi, biaya hidup, sementara harga produk mereka anjlok akibat impor dan permainan tengkulak. Jika raskin turut naik berarti mereka akan memanggul empat beban,” tambah Said dihubungi Gresnews.com, Jumat, (5/9).

Menurutnya pada tahun 2013 lalu, implikasi kenaikan BBM saja sudah meningkatkan biaya produksi sebanyak 10-15 persen. Di saat yang bersamaan, harga padi misalnya justeru turun akibat permainan impor dan tengkulak, biasanya para tengkulak memainkan isu kenaikan BBM guna mempermainkan harga awal. Padahal, jika dicermati baik-baik, terdapat keuntungan sebesar Rp 500 di setiap 1kg raskin dengan harga jual Rp. 1600.

Bayangkan jika harga tersebut dinaikan dan impor raskin terus dilakukan dalam jumlah besar. “Alasan tersebut hanya dijadikan kambing hitam untuk mengeruk banyak keuntungan. Seharusnya negara mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS) untuk sinkronisasi data penerima raskin agar tidak ada pembengkakan dan salah alokasi,” ungkap Said.

Ia melanjutkan, banyaknya kepentingan di tiap kementerian juga dapat membuat data selalu berbeda. Contohnya saja pada tahun 2010-1011 Kementerian Pertanian mengatakan persediaan beras mencukupi dan tidak perlu dilakukan impor. Namun kementerian perdagangan mengatakan hal yang sebaliknya, dan dilakukanlah impor.

BACA JUGA: