GRESNEWS - Jakarta adalah kota yang identik dengan banjir. Sejarah mencatat sejak pendiriannya, Jakarta yang dulu bernama Batavia dan Jayakarta, selalu terendam banjir. Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta bagian Utara ke bagian Selatan adalah salah satu cara agar Jakarta tidak terendam air ketika husim hujan.

Namun, sejarah mencatat pemindahan itu tidak mengubah nasib Jakarta. Ketika musim penghujan tiba, dipastikan banjir dengan beragam ketinggian meredam berbagai wilayah Ibu Kota. Publik sangat ingat dengan banjir 1996, 2002, 2007, dan 2013. Ketinggian air sampai masuk ke tempat yang dianggap sakral dan istimewa, Istana Negara. Banyak alasan yang bisa bisa dikemukakan tentang banjir di Jakarta. Naiknya permukaan air laut, drainase yang buruk, dan wilayah hulu Sungai Ciliwung yang gundul adalah sebagian alasan yang mengemuka.



Ahli geologi, Agus Karyanantio Tirto, mengatakan secara ilmiah tidak ada istilah banjir dengan periodisasi tertentu tersebut. "Bahwa ada perulangan itu benar adanya. Namun yang dimaksud lima atau 10  tahunan itu bukan sesederhana begitu. Lebih sering itu karena kebetulan."

Tidak ada banjir memiliki yang memiliki siklus, setiap tahun kondisi cuaca tidak sama, kandungan uap air di awan juga tidak sama, belum faktor yang mempengaruhi kondensasi di awan sangat banyak. Apalagi saat ini cuaca sangat cepat berubah tidak seperti tahun 70-an.

Agus menjelaskan, tidak ada istilah siklus banjir, yang ada siklus hidrologi. Dalam perencanaan As dam dan Spill Way memang ada istilah debit banjir rancangan, apakah pakai Q.25 atau Q.50 atau Q.100 itu hanya untuk perhitungan terhadap antisipasi terhadap debit maksimum yang mungkin terjadi.

Menurutnya, tidak ada siklus banjir lima tahunan atau 10 tahunan karena, parameternya sangat banyak dan kondisi cuaca tidak pernah sama. Adapun mungkin pernah lima tahun terulang banjir, itu hanya kebetulan, tetapi tidak mungkin lima tahun berikutnya banjir terjadi lagi. Secara ilmiah tidak ada istilah teknis banjir dengan periodisasi tertentu.

Faktor banjir yang dipengaruhi kondisi alam yang berlebihan berupa besarnya curah hujann. Jika intensitas hujan >100 mm/hari dengan durasi >3 jam, pada Daerah Aliran Sungai yang gundul sudah cukup untuk memicu banjir. Kemudian dapat dilihat, air hujan tidak dibiarkan melimpas di sungai atau sebagian ditampung di waduk dan sebagian dimasukkan sumur resapan, telaga resapan. Hal tersebut jelas dapat memicu terjadinya banjir. Selain itu, teknik pengaturan pintu saja tidak cukup untuk mencegah banjir, jika pengaliran air banyak tersumbat oleh sampah maka pasti dengan pertambahan debit air akan naik melewati bibir sungai dan banjir.

Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika, Hariadi, banjir yang melanda Jakarta bulan lalu tidak disebabkan karena siklus lima tahunan. Itu lebih sekedar mitos daripada sebuah kebenaran yang ilmiah.

"Banjir yang baru saja terjadi (17/1), bukan siklus lima tahunan. Kita juga tidak ada istilah siklus lima tahunan. Kejadian banjir 1996, 2002, dan 2007 itu dipengaruhi pusat tekanan rendah di Barat Daya Pulau Jawa. Tekanan pusat rendah di sekitar selat Sunda ini menyebabkan awan di perairan ke situ semua," kata Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca BMKG, Hariadi.

Pada 2013 ini, sambungnya  ada sedikit keanehan, karena hujan hanya terjadi di Jabodetabek. Kita memprediksi ada hujan dengan intensitas tinggi akibat ada angin monson di Jabodebatek. Memang, pada saat musim hujan ini, ada angin monson Asia ini bergerak sangat cepat. Kita mendeteksi angin monson masih masuk ke Pulau Jawa  hingga Minggu nanti dengan intensitas yang tinggi.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat 8 persen atau setara 41 km2 wilayah Jakarta terendam banjir. Jika dibandingkan daerah Jakarta yang terdampak masih lebih luas saat 2007, yaitu seluas 231,8 km2. Namun luas 41 km2 itu berdasarkan data per 18 Januari 2013, sedangkan hujan masih akan terus turun. Adapun luas genangan 41 km2 itu tersebar di 62 titik banjir, menggenangi 910 RT, 337 RW, 74 kelurahan, 31 kecamatan. Total kepala keluarga yang terdampak mencapai 97.608 kk atau 248.846 jiwa. Paling parah terjadi di sekitar Kampung Melayu dan Sungai Ciliwung .

Penyebab dan Antisipasi
Di sisi lain, harus diakui banjir di Ibu Kota juga disebabkan perilaku manusia. Membuang sampah sembarangan, membangun rumah di bantaran kali, drainase yang sempit, menghilangnya berbagai tempat penampungan air sebagai resaapan air (situ, danau) dan pengundulan di hulu sungai (wilayah Puncak) adalah beberapa perilaku yang air meluap.

Pengamat tata kota, Nirwono Joga, mengatakan ada empat faktor menyebabkan banjir Jakarta. Pertama, berubahnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi kawasan pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan. Air hujan menjadi berkurang dan mengalir ke jalanan. Kedua, sistem drainase yang buruk. Saluran air berujung ke sungai atau laut atau  ke daerah resapan atau ke dalam tanah.

Ketiga, fungsi waduk dan situ tidak optimal berfungsi. Pada 1990-an, Jakarta memiliki 70 waduk dan 50 situ. Kini hanya 42 waduk dan 16 situ. Sebagian besar waduk dipenuhi enceng gondok, limbah, dan sampah, terjadi pendangkalan dan menjadi daerah hunian. Keempat, normalisasi sungai belum dilakukan sepenuhnya. Harus ada relokasi permukiman di bantaran sungai ke tempat lain yang tidak mengganggu aliran air.

Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok),  dengan tagline ´Jakarta Baru´ belum sempat merealisasikan cita-cita membawa Jakarta bebas banjir. "Ini kerja besar. Kita jangan lalai lagi. Ini musim banjir. Kita sudah berpuluh-puluh tahun lalai terus. Harus ada action yang konkret setelah musim hujan ini selesai. Segera diputuskan, jangan lama-lama. Kalau tidak, berapa triliun lagi yang kita keluarkan kalau banjir-banjir kita biarin terus," kata Gubernur Jokowi.

Gubernur Jokowi akan melakukan enam langkah untuk atasi banjir. Yakni, pertama, normalisasi 13 sungai di Jakarta. Tahun ini yang akan dinormalisasi adalahCiliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter.Kedua, Sodetan sungai dari Jalan Otto Iskandardinata hingga Kanal Banjir Timur. Ketiga, pembuatan waduk besar di Ciawi dan Cimanggis, Jawa Barat. Keempat yakni pembuatan sebanyak-banyaknya sumur serapan dari hulu hingga hilir. Kelima, pembuatan segera sejumlah pompa air di Jakarta Utara. Keenam, pembangunan terowongan multiguna atau multipurpose deep tunnel di Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok secara gentlemen mengakui gagal dalam mengelola banjir di Jakarta dalam 100 hari masa kepemimpinannya. "Kita telah cukup gagal. Kemarin banjir saja setengah mati. Ini bukan persoalan bencana saja, tapi kita juga salah," ujar Wagub Ahok.

Wagub Ahok berujar, dirinya tidak bisa mengatasi masalah banjir yang telah melumpuhkan hampir seluruh wilayah Jakarta. Wagub Ahok mengakui kegagalan tersebut dikarenakan, sebelumnya ia pernah sesumbar mengatakan banjir tahun ini tidak akan berdampak parah. Namun kenyataannya, banjir lima tahun ini merupakan banjir besar yang efeknya melebihi 2007.

Menurut Gubernur Jokowi, banjir ini telah menyebabkan kerugian hingga Rp20 triliun. Pengusaha, melalui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp1 triliun. Selain itu Rp1 miliar harus dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan pengungsi. Perusahaan Listrik Negara juga memiliki taksiran kerugian Rp116 miliar akibat terganggunya fungsi pembangkit dan peralatan distribusi dan transmisi yang mengalami kerusakan akibat tergenang air.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan jumlah resmi korban yang tercatat selama banjir Jakarta 2013, pada tanggal per tanggal 18 Januari 2013, adalah 12 orang. Rincian lima orang karena tersetrum listrik, dua orang  kedinginan, dua orang karena terpeleset atau jatuh, satu orang karena hanyut, satu orang karena usia lanjut, dan satu orang sudah ditemukan meninggal di rumah. Data ini diperbaharui kembali pada 22 Januari menjadi 20 korban jiwa, dan 33.502 orang terpaksa mengungsi.

BACA JUGA: