JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia merupakan wilayah yang rentan akan bencana, terutama dari letusan gunung api mengingat letaknya. Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik (tectonic plate) yang saling bertabrakan yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia dan Lempeng Pasifik sehingga membentuk rangkaian gunung aktif.

Menyadari kondisi itu maka diperlukan dana khusus bencana agar penanganannya berlangsung tepat dan cepat. Sayangnya hingga saat ini masih banyak daerah yang tidak mempunyai dana anggaran khusus bencana. Ini yang membuat kesan lambannya pemerintah dalam menangani korban bencana alam.

Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa Amaliah mengatakan daerah-daerah itu khususnya bagi daerah rawan bencana harus memiliki anggaran khusus antisipasi bencana. "Banyak daerah yang tidak menganggarkan dana penanggulangan bencana, terutama untuk daerah-daerah yang rawan bencana," kata Ledia pada Gresnews.com, Kamis (12/12).

Ia mengatakan setiap daerah seharusnya mempunyai dana khusus bencana melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tiap provinsi. Dana itu harus dianggarkan meskipun wilayah tersebut bukan merupakan wilayah yang rawan bencana. Bencana itu bukan berarti harus berada di wilayah yang daerahnya sering terdapat bencana. Bisa saja bencana itu mengenai daerah yang sebelumnya tidak menjadi sasaran bencana.

APBD tiap daerah memang terbatas tetapi perlunya anggaran bencana harus disadari seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian proses penanganan bencana akan lebih cepat dan berjalan baik, termasuk dalam hal pendistribusian bantuan.

Karena itu, Komisi VIII meminta agar Kementerian Dalam Negeri memperbaiki Surat Edaran Nomor 900/2677/SJ tentang Hibah dan Bantuan Daerah nomor 9 dalam surat edaran itu berbunyi:

Bantuan sosial dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang sebagai berikut:
a. Bantuan sosial dalam bentuk uang dianggarkan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dalam Kelompok Belanja Tidak langsung dan disalurkan melalui transfer dana kepada penerima bantuan.

b. Bantuan sosial dalam bentuk barang dianggarkan dalam bentuk program dan kegiatan Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Kelompok Belanja Langsung. Proses pengadaan barang tersebut dilakukan oleh SKPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan selanjutnya hasilnya diserahkan kepada penerima bantuan melalui penyerahan asset oleh pemerintah daerah.

Ledia katakan dalam surat edaran itu diperbaiki sehingga dana bansos dapat segera dicairkan tanpa melalui rapat dan/atau musyawarah terlebih dahulu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan saat ini diantara jajaran pemerintah sendiri belum ada kesepakatan mengenai pencairan dana bencana. Misalnya  antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan Kementerian Keuangan.

"Kemudian soal Kementerian Keuangan, BNPB belum duduk benar. Begini mau menarik uang itu harus dengan cara yang konvensional, menarik uang bencana itu kan harusnya tidak sulit," imbuhnya.

Komisi VIII saat ini mendorong tiap pemerintah daerah untuk mensosialisasikan alokasi dana anggaran bencana yang berasal dari APBD. Sehingga kalau ada dana APBD tidak akan sulit untuk memberikan bantuan. Sementara daerah yang mempunyai anggaran terbatas, tetap akan dibantu pemerintah pusat.

Kepala BNPB Syamsul Ma’arif mengatakan saat ini pemerintah menganggarkan Rp 15 triliun per tahun bagi penanggulangan bencana nasional. "Kalau menyangkut dana yang di DIPA kan dengan Kementerian dan Lembaga satu tahun itu dananya sekitar Rp 13 triliun terdiri dari 37 kementerian dan lembaga. Dan untuk BNPB di bawah Menteri Keuangan ada dana cadangan Rp 3 triliun,” kata Syamsul kepada Gresnews.com, Rabu (11/12).

Ia menambahkan selama ini mekanisme penganggaran bencana pemerintah pusat tidak sepenuhnya ditanggung oleh BNPB, melainkan dengan beberapa kementerian dan/atau lembaga negara terkait. Dana itupun, menurut Syamsul terbilang kecil. Karena kebutuhan dana bantuan bencana itu berkisar antara Rp 25 triliun hingga Rp 35 triliun per tahun.

Pembagian tugasnya yaitu cost-sharing, atau pembagian dana. Pembagian dana itu juga menyertakan dana dari tiap daerah. Diakui Syamsul selama ini dana bantuan bencana memang masih terbanyak dari pusat. Hingga saat ini belum ada daerah yang benar-benar menganggarkan dana khusus bantuan dalam jumlah besar.

"Ada cost sharing sudah lama. Di daerah itu sudah menyiapkan sudah lama, jadi di daerah itu sudah menyiapkan dana bencana itu sudah lama tapi masih sedikit. Jadi sebagian besar masih dari pusat,” imbuhnya.

Dari data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Wilayah-wilayah itu adalah Nangroe Aceh Darusallam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Tenggara (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak Fak di Papua, serta Balikpapan di Kalimantan Timur.

BNPB sendiri mencatat ada 13 jenis bencana yang dimiliki Indonesia. Tujuh diantaranya berpotensi menimbulkan korban adalah bencana gempa bumi, tsunami, gunung meletus, angin puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan banjir.

BACA JUGA: