Jakarta - Tayangan berita sesuai kaidah jurnalistik seharusnya bebas dari kepentingan privat atau iklan, tapi nyatanya iklan niaga menyusup pada penayangan berita itu sendiri. Hal itu tampak pada munculnya logo suatu produk di meja presenter berita, yang kini marak diterapkan stasiun teve swasta nasional.

"Dengan situasi demikian,  independensi dan netralitas berita tentu mesti dipertanyakan dan menjadi perhatian pihak terkait seperti Dewan Pers," kata Divisi Advokasi Remotivi, Jefri kepada gresnews.com di Jakarta, Jumat (6/4).

Riset Remotivi sebagai lembaga  pemantau tayangan televisi juga menilai, siaran iklan layanan masyarakat nyatanya malah minim, di bawah 10%. Hampir seluruh stasiun tidak memberikan ruang yang sesuai dengan ketentuan pada pasal 46 ayat 9 UU Penyiaran.

"Pasal 46 ayat 9 mengatur waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling sedikit 10% dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% dari siaran iklannya. Hal ini jelas tidak memenuhi kaidah hukum yang berlaku," ungkap Jefri.

KPI mandul
Remotivi berpendapat, menurutnya, bahwa iklan layanan masyarakat sejatinya bisa menjadi sarana penyampai pesan sosial penting, informasi warga, atau menjadi penawar atas berbagai muatan negatif siaran televisi.

Tidak idealnya praktik iklan layanan masyarakat ini, Remotivi menilai, diakibatkan kegagapan regulasi yang ada.

"Definisi yang ada tidak cukup ideal dalam mengidentifikasi jenis iklan layanan masyarakat. Diperburuk minimnya pengawasan yang cukup dari Komisi Penyiaran Indonesia," ungkapnya lagi.

BACA JUGA: