Oleh: Muhamad Heychael *)

Masalah televisi hari ini seperti muatan kekerasan, diskriminasi terhadap perempuan, dan atau berita yang bias, perlu dipahami sebagai persoalan struktural. Artinya, persolan tersebut adalah akibat mekanisme industri televisi yang semata mengedepankan rupiah dan kepentingan pemiliknya ketimbang publik. Karena itu, perlu sistem penyeimbang yang "memaksa" televisi menjalankan fungsi sosialnya. Dalam konteks penyiaran, peran tersebut dimainkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sayangnya, peran ini belum maksimal dimainkan oleh KPI. Indikasinya dapat dilihat dari peningkatan sanksi yang dikeluarkan KPI dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 KPI menjauhkan sanksi sebanyak 108 kali dan pada 2014 jumlahnya meningkat menjadi 182 kali. Logikanya sanksi yang dijatuhkan seharusnya mengurangi tingkat pelanggaran, namun yang terjadi sebaliknya. Ini artinya, sanksi KPI gagal mencapai apa yang hendak ditujunya: menghasilkan tayangan televisi yang sehat.

Setidaknya ada dua hal menjadi penyebabnya. Pertama  buruknya kinerja komisioner KPI dan kedua kecilnya wewenang KPI sebagai lembaga publik. Persoalan kinerja yang tidak produktif dapat kita jumpai pada bagaimana KPI periode 2013-2016 menindaklanjuti aduan masyarakat atas tayangan "Pesbukers" dan "Ganteng-Ganteng Serigala". Mengacu pada data Rapotivi (aplikasi untuk mengadukan tayangan televisi), dari 169 aduan yang masuk sejak Februari hingga Mei 2015, 21,3% aduan mengeluhkan "Ganteng-Ganteng Serigala" (GGS) dan 14,2% aduan mengeluhkan "Pesbukers".

Keluhan atas dua tayangan tersebut umumnya didominasi oleh kekhawatiran akan dampaknya pada anak. Pasalnya, "Pesbukers" dan "Ganteng-Ganteng Serigala" tayang di jam anak menonton dan isinya memuat adegan kekerasan juga bullying yang dikemas sebagai pengalaman yang menghibur.

Meski telah merisaukan publik, KPI belum juga menunjukkan kerja nyata. Sanski KPI pada Pesbukers misalnya, tak pernah beranjak dari teguran. Semenjak 19 Febuari 2014 hingga kini, KPI telah menjatuhkan sanksi atas "Pesbukers", berupa 1 buah peringatan dan 4 buah teguran tertulis. Padahal KPI sebenarnya mempunyai mekanisme sanksi yang bertingkat: teguran tertulis pertama, terguran tertulis dua, pembatasan durasi, hingga penghentian sementara.

KOMITMEN KPI LEMAH - Dengan sikap demikian, maka jangan salahkan publik bila beranggapan sanksi yang dijatuhkan oleh KPI bukan untuk melindungi publik dari tayangan yang dinilai berbahaya, melainkan upaya "pencitraan" agar dipercaya tengah bekerja. Situasi ini adalah gambaran atas lemahnya komitmen dan produktivitas kerja komisioner.  

Dalam konteks ini persoalan terletak pada rekrutmen yang tidak berhasil menjaring orang-orang kompeten dan berkomitmen pada kerja-kerja publik dalam institusi negara tersebut. Karena itu, poin pertama dari menjadikan KPI sebagai lembaga yang "bergigi" adalah dengan memastikan adanya sistem rekrutmen yang transparan dan akutanbel sehingga mampu menyerap orang-orang terbaik masuk di dalamnya.

Di luar persoalan kinerja komisioner, masih ada persoalan lain yang menghalangi KPI menjadi institusi negara yang berdaya melindungi publik dari ekspolitasi industri penyiaran. Pada yang kedua ini, masalahnya lebih bersifat struktural, yaitu minimnya kewenangan KPI. Sebagai ilustrasi, kita bisa pelajari kasus "Pesbukers" tiga tahun lalu.

Juli 2012 yang lalu, KPI menjatuhkan sanksi penghentian sementara pada "Pesbukers" yang dinilai mengabaikan perlindungan anak dan remaja dengan menampilkan adegan yang melanggar norma kesusilaan. Pada surat KPI tertanggal 3 juli 2012, sanksi penghentian sementara berlaku mulai 9-15 Juli 2012, namun sanksi ini baru dipatuhi oleh "Pesbukers" pada 5-11 Januari 2013. Tujuh bulan lamanya "Pesbuker" mengelak dari kewajiban hukum.

Tak ada instrumen hukum yang dimiliki KPI untuk memaksa "Pesbukers" mematuhi sanksi. Celah ini rupanya disadari oleh industri penyiaran. UU Penyiaran tahun 2002 hanya memberi kewenangan sebatas sanksi administratif (teguran, pengurangan durasi, dan penghentian sementara). Instrumen tersebut nyatanya tidak mampu memberi wibawa pada KPI selaku wakil publik dalam penyiaran.

LEMBAGA KPI DI NEGARA LAIN - Di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat atau Inggris, lembaga serupa KPI memiliki wewenang yang lebih luas. FCC (Federal Comunication Comission) di Amerika serikat misalnya, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi denda. Model sanksi dengan denda merupakan bentuk intervensi atas logika industri yang bertujuan mengakumulasi modal. Jika tayangan buruk dipertahankan karena mendatangkan uang yang banyak, maka sanksi berupa uang akan menjadikan motif mengeruk untung dengan sendirinya kehilangan rasionalitasnya.

Tidak hanya itu, FCC juga mengatur izin siar. Ini logis untuk dilakukan mengingat frekuensi adalah milik publik, maka sudah selayaknya pengaturannya diserahkan pada lembaga publik. UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sesungguhnya telah memberi wewenang yang sama pada KPI, termasuk soal perizinan. Namun, wewenang tersebut dipreteli pasca judicial review atas UU Penyiaran, khususnya pada pasal mengenai KPI, yang dilakukan oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan ATVSI untuk mencabut wewenang KPI menyusun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai penyiaran. Konsekuensinya, KPI hanya menjadi "komisi isi penyiaran". Kewenangannya sebatas soal isi siaran. Frekuensi serta izin siar adalah wewenang pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informasi).

Ironis memang, ATVSI yang dalam kampanyenya mengungkit trauma akan Orde Baru dan menuduh KPI akan menjadi lembaga penerangan yang lain, justru lebih percaya pengaturan alokasi frekuensi dan izin siar diserahkan pada pemerintah. Padahal, dalam perspektif demokrasi, menyerahkan urusan alokasi frekuensi dan izin siar seklaigus pada pemerintah jelas merupakan sebuah langkah mundur.

Sementara bagi KPI, wewenang izin siaran bukan semata legitimasi. Lebih dari itu, KPI hanya akan menjadi lembaga "bergigi" apabila memiliki wewenang mengatur izin siar. Sanksi KPI akan berdampak jika dijadikan alat evaluasi untuk menilai dilanjutkan atau tidaknya peminjaman frekuensi siar oleh stasiun televisi.

MENGEMBALIKAN TAJI KPI - Saat ini, secara administratif memang salah satu syarat mendapat izin siar adalah rekomendasi KPI, namun dengan kewenangan perpanjangan izin siar ada pada pemerintah, rekomendasi KPI seolah hanya formalitas yang tak memiliki konsekuensi alias tak bertaji. Kita tak pernah mendengar ada evaluasi yang serius berkait penggunaan frekuensi publik oleh industri televisi, meski dengan kasat mata kita menyaksikan ekploitasi frekuensi untuk kepentingan ekonomi politik pemilik media.

Dengan latar belakang yang demikian, masuknya Undang-Undang Penyiaran dalam program legislasi nasional tahun ini merupakan harapan. Karena itu berarti publik memiliki peluang untuk memperkuat posisi KPI. Melengkapi UU Penyiaran dengan pasal-pasal yang mengembalikan marwah KPI sebagai wakil publik dalam dunia penyiaran, semisal: mekanisme sanksi denda dan kewenangan untuk mengatur izin siar menjadi semacam keharusan. Kecuali upaya itu berhasil dilakukan, KPI sebagai wakil publik dalam dunia penyiaran tak lebih hanya macan ompong.

Namun itu saja tidak cukup. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah memastikan sistem rekrutmen anggota komisioner KPI harus mampu menjaring orang-orang paling kompeten dan berintegritas untuk masuk di dalamnya. Karena percuma saja memberi "senjata" pada mereka yang tidak berani berperang.

*) Penulis adalah Direktur Remotivi sebuah lembaga studi dan pemantauan media khususnya televisi di Indonesia.

BACA JUGA: