JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perpanjangan Izin Penyelenggaran Penyiaran (IIP) yang diberikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kepada 10 stasiun televisi swasta masih menyisakan persoalan. Salah satunya mengenai kepemilikan lembaga penyiaran.

Koordinator Sahabat untuk Komunikasi yang Bersih dan Adil (SIKA) Bayu Wardhana menilai sebelum memperpanjang IIP, baik Kominfo maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya bertanggungjawab melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap seluruh aspek penyelenggaraan penyiaran.

"KPI mengevaluasi isi siaran selama 10 tahun ke belakang, dan Kominfo mengevaluasi soal kepemilikan dan pelaksanaan Sistem Siaran Jaringan (SSJ)," kata Bayu kepada gresnews.com, Senin (17/10).

Bayu menambahkan, kinerja Kominfo dalam mengavaluasi aspek kepemilikan dan SSJ senantiasa luput dari perhatian publik. Dua hal tersebut tidak pernah dibuka ke publik. Sudah sejauh mana Kominfo menguji soal kepemilikan itu?

Bayu menekankan, persoalan kepemilikan lembaga penyiaran penting untuk dikaji Kominfo terlebih dalam kaitannya dengan kepemilikan silang. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, secara khusus Pemerintah mengatur soal kepemilikan dan kepemilikan silang lembaga penyiaran swasta pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:

"(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi."

Selanjutnya, dalam ayat (4) Pasal 18 UU No 32 tersebut di atas disebut bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Adapun aturan pemerintah mengenai batasan kepemilikan silang diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005. Dalam Pasal tersebut, kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan media cetak, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun tidak langsung dibatasi sebagai berikut.

a. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau
b. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau
c. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan di wilayah yang sama.

Berdasar aturan-aturan di atas, Bayu menilai telah terjadi pelanggaran terkait masalah kepemilikan lembaga penyiaran, namun cenderung diabaikan. "Ambil contoh MNC grup yang punya izin 4 stasiun TV, yakni RCTI, MNC, Global TV, dan INews. Belum lagi kalau dicek bagaimana kepemilikan RCTI Bandung atau RCTI Sulawesi Selatan," sambungnya.

Menurut Bayu, dalam perilaku bisnis semacam itu harusnya ada share saham dengan pengusaha lokal. "Tapi kabarnya itu 100% atau 90% hanya milik satu orang," pungkasnya.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta juga mengkritisi hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan Kominfo dan KPI dengan pihak DPR, Senin (10/10). Menurutnya, bersama aspek diversitas konten (diversity of content), aspek diversitas kepemilikan (diversity of ownership) tidak tergambar dalam potret evaluasi penilaian KPI. "Padahal ada masalah atas tegaknya pilar-pilar demokratisasi penyiaran dalam penyelenggaraan penyiaran selama ini," katanya.

KRITIK DAN DUKUNGAN BUAT KPI- Dalam RDP Senin (10/10), anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyebut bahwa Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IIP) harus dapat dievaluasi secara berkala. "Untuk memastikan konsistensi dari pemilik IIP dalam menjalankan bisnis penyiaran tersebut sebagaimana saat yang bersangkutan mengajukan izin pertama kali," kata Sukamta.

Sukamta juga menilai bahwa KPI belum memiliki sistem ataupun perangkat regulasi untuk mengatur teknik evaluasi IIP dengan jelas, baik untuk televisi maupun radio. "Tak heran ketika ada momentum perpanjangan izin dari 10 televisi jaringan yang bersiaran luas secara nasional, KPI dan Kemenkominfo terkesan tidak siap dalam melakukan evaluasi penilaian. Terutama terhadap kualitas program siaran yang ditayangkan 10 stasiun televisi tersebut," papar Sukamta.

Pada Jumat (14/10) lalu Kominfo secara resmi memberikan perpanjangan izin penyiaran kepada 10 stasiun televisi swasta, yakni RCTI, SCTV, MNC TV, Indosiar, ANTV, Trans TV, Trans 7, Metro TV, TV One dan Global TV. Perpanjangan izin yang diberikan Kominfo tak lepas dari rekomendasi yang diberikan KPI.

Bersama diperpanjangnya IIP, KPI juga merilis tujuh komitmen yang harus disepakati oleh 10 stasiun televisis swasta tersebut. Salah satu bunyi komitmen tersebut adalah (stasiun televisi swasta) bersedia untuk dilakukan evaluasi setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.

Ketua KPI Yuliandre Darwis menyatakan bahwa bersama Kominfo pihaknya tengah menyiapkan perangkat hukum dan mekanisme evaluasi tahunan terhadap penyelenggaraan penyiaran. Hal tersebut dilakuakan agar pengelola televisi menyadari betul tujuan diselenggarakannya penyiaran sebagaimana yang disebutkan oleh Undang-Undang Penyiaran. "Termasuk dengan menempatkan enam fungsi penyiaran secara proporsional, demi menghadirkan muatan siaran yang sehat dan mencerdaskan masyarakat," katanya, Jumat (14/10).

Diminta tanggapan atas komitmen yang dikeluarkan KPI, anggota Pecinta TV Sehat Indonesia A. Pambudi menyatakan bahwa pihaknya mengapresasi dan mendukung langkah-langkah yang dilakukan KPI. Pambudi juga berharap agar KPI kian kuat dan independen, serta tegas terhadap intervensi yang diberikan siapa pun. Terkait soal ketegasan, Pambudi menyinggung kegagapan KPI dalam menyikapi konten siaran televisi yang sempat mendapat protes dari masyarakat.

"KPI hanya memberi teguran tapi setelah itu mentah," katanya. A. Pambudi memberi contoh bagaimana teguran yang dilakukan KPI terhadap suatu siaran televisi terhenti saat siaran yang bersangkutan merubah judul siarannya. "Padahal secara konten, isi siaran tersebut sama saja dengan siaran sebelumnya yang diprotes masyarakat," kata Prambudi saat dihubungi gresnews.com, Senin (17/10).

Namun demikian, Pambudi menegaskan bahwa kritik yang ia berikan—juga petisi yang sebelumnya dikeluarkan Pecinta TV Sehat Indonesia—dilakukan bukan dalam rangka melemahkan KPI. "Justru kami ingin KPI lebih kuat dan independen. KPI jangan takut dengan siapa pun. Publik ada di belakang KPI," katanya.

Lewat komitmen yang dikeluarkan KPI, Pambudi juga mendukung pihak stasiun televisi swasta untuk menyiarkan tayangan yang berkualitas dan memberi manfaat bagi publik. "Jika landasannya kepentingan publik, kami yakin televisi swasta tidak akan dijauhi publik. Pasarnya akan tetap ada kok. Apalagi jika siarannya berkualitas, inspiratif dan edukatif," kata Pambudi.

Sebagai informasi, sebelum IIP dari Kominfo turun, Koalisi Pecinta TV Sehat Indonesia melayangkan petisi untuk menolak diberikannya perpanjangan IIP kepada 10 stasiun televisi swasta. Pecinta TV Sehat Indonesia sendiri terdiri atas puluhan kelompok masyarakat yang aktif memantau perkembangan siaran televisi, antara lain Masyarakat Peduli Media (MPM), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, PR2Media, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP), Combine Resource Institution (CRI), Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) DIY, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI), dan lain sebagainya.

Penolakan Pecinta TV Sehat Indonesia terhadap perpanjangan IIP dilakukan sebagai momentum untuk melakukan evaluasi agar stasiun televisi menanyangkan siaran yang lebih baik. "Habisnya izin siaran stasiun televisi tersebut adalah kesempatan kita untuk meminta kembali frekuensi milik kita untuk digunakan dengan lebih baik," demikian salah satu bunyi petisi Pecinta TV Sehat Indonesia.

BACA JUGA: