JAKARTA, GRESNEWS.COM – Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN dinilai akan menjadi bencana bagi tenaga kerja Indonesia di dalam negeri. Pasalnya ketidaksiapan pemerintah dalam mendidik dan meningkatkan skill tenaga kerja dalam negeri membuat pasar tenaga kerja lokal menjadi semakin sempit lantaran diisi pekerja asing asal ASEAN.

Pimpinan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Ilham Syah mengatakan, dengan kondisi saat ini, MEA memang menjadi ancaman bagi pekerja lokal Indonesia. "MEA adalah bencana bagi Indonesia, lapangan pekerjaan yang seharusnya diisi oleh angkatan kerja dalam negeri, ini bisa diisi oleh tenaga kerja asing," katanya kepada gresnews.com, Jumat (11/3).

Ilham mengkritik Badan Latihan Kerja (BLK) yang menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mencetak angkatan kerja yang memiliki kompetensi, namun pada kenyataannya tak berjalan. "Negara seharusnya mengambil solusi yang lebih fundamental," katanya.

Problem yang lebih fundamental, kata Ilham, adalah pendidikan bukan BLK. "Pendidikan itu harus dibuka seluas-luasnya, pendidikan gratis sampai Universitas untuk rakyat adalah cara terbaik. Dengan begitu Indonesia akan memiliki angkatan kerja yang mampu bersaing dengan negara-negara lain," ujarnya.

Tidak hanya sampai di situ, Ilham Syah melihat MEA sebagai sebuah skema kapital global yang ingin membawa serta pekerjanya ke negara di mana perusahaanya akan dibuka. Karena hal ini sudah termasuk menjadi kebijakan negara yang pemodal sebagai upaya untuk mengurangi angka pengangguran.

Karena itu, kata Ilham, dalam konteks serbuan tenaga kerja asing ini, kaum buruh tidak terjebak ke dalam isu rasisme. "Masuknya tenaga asing sebagai bentuk kebijakan negara, kami tidak mau isunya digeser menjadi isu rasis," ungkapnya.

Yang kedua, dia mendesak negara untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya, dengan cara keluar dari kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.

Pertanyaan serupa memang juga menjadi perhatian Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi VII yang pada Kamis (10/3) kemarin melakukan rapat kerja dengan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Dalam kesempatan itu, anggota Komisi VII dari Fraksi PDIP Imam Suroso menanyakan kepada Hanif soal isu PHK massal dengan alasan menghemat biaya operasional.

Imam mengatakan, PHK ini terjadi sebagai reaksi pengusaha atas berlakunya PP Nomor 78 Tahun 2015. "Bagaimana tanggapan dan upaya yang akan dilakukan Pak Menteri, terkait maraknya PHK?" katanya.

Hal serupa juga diutarakan oleh anggota Komisi VII dari Fraksi PPP Iqbal. Dia mengungkapkan, sampai bulan Februari, tercatat ada 1500 pekerja yang telah di PHK. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan para pekerja.

Iqbal menilai pemerintah belum mampu menyiapkan lapangan pekerjaan untuk rakyat. Total pengangguran terbuka yang ada sudah mencapai 7 juta jiwa, ditambah dengan PHK yang baru-baru ini menjadi kekhawatirannya ke depan tingkat pengangguran akan terus bertambah.

"Saya melihat belum ada langkah-langkah dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja untuk mengantisipasi agar PHK bisa dihentikan," tegasnya.

Dia menilai, target Kemenaker untuk membuka lapangan kerja bagi 10 juta tenaga kerja hanya pepesan kosong. Ditambah lagi dengan diberlakukannya MEA Indonesia secara otomatis akan dibanjiri pekerja asing. Pekerja asing yang memiliki kompetensi di atas kompetensi pekerja dalam negeri, akan menarik perhatian para investor asing yang membuka perusahan di Indonesia.

"Kehadiran Investor asing yang seharusnya menyerap lebih banyak pekerja dalam negeri, tapi tidak terjadi," ujar Iqbal.

BISA BERSAING - Menanggapi berbagai pertanyaan itu, Hanif Dhakiri membantah MEA akan menjadi bencana bagi pekerja Indonesia. Dia menilai, angkatan kerja dalam negeri sanggup bersaing dalam MEA. "Orang Indonesia itu sanggup berkompetisi di MEA, kalau ditanya sanggup ya sanggup," katanya.

Hanya, kata Hanif, yang menjadi problem adalah masalah pengakuan. Tenaga kerja yang memiliki skill tapi tidak diakui kemampuannya, ini merupakan problem yang dihadapi tenaga kerja Indonesia. "Sehingga BLK menjadi sarana peningkatan kompetensi dan sertifikasi merupakan hal yang akan dipikirkan ke depan," kata Hanif.

Dia juga membantah isu maraknya pemutusan hubungan kerja seperti yang diungkapkan anggota dewan. "Ambil contoh misalnya di perbankan, Mandiri katanya dibilang melakukan PHK sekian ribu orang, begitu kita cek Mandiri sekarang lagi membuka rekrutmen 3000 orang," tegasnya.

Dalam kesempatan rapat kerja itu, Hanif Dhakiri, menyampaikan dua strategi dan terobosan dalam memanfaatkan peluang memenangi peluang bisnis dan persaingan tenaga kerja serta pengembangan inovasi dengan masuknya investor. Yang pertama, peningkatan kompetensi dan produktivitas kerja.

"Hal ini dilakukan melalui, harmonisasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi, mengembangkan program kemitraan, pengembangan pola pendanaan dan pelatihan, dan penataan lembaga pelatihan berbasis kompetensi," ujarnya.

Yang kedua adalah memperbaiki iklim ketenagakerjaan dan menciptakan hubungan industrial melalui penyempurnaan peraturan yang dapat mendorong investasi padat pekerja. Kemudian, membangun sistem hubungan industrial yang kuat didasarkan pada prinsip dan standar yang berjalan secara efektif terhadap kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi secara collective bargaining.

Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, Hanif mengaku percaya diri menargetkan tercapainya lapangan pekerjaan bagi middle and low skill labour sebanyak 10,8 juta orang. Hanif Dhakiri mengatakan, MEA banyak disalahpahami oleh masyarakat sehingga timbul banyak kekhawatiran.

"MEA seolah-olah menjadi terbuka segalanya, padahal dari segi profesi hanya delapan dan segi sektor ada dua belas. Dari delapan itu jabatannya lebih spesifik tidak umum. Karena hal ini terkait MRA-nya (Mutual Recognition Agreement)," kata Hanif.

"Intinya seseorang yang memiliki skill di suatu negara, bagaimana dia juga dianggap skill di negara lainnya," tambahnya.

Kemudahan-kemudahan untuk investasi diakui diberikan pemerintah, tapi skema perlindungan tenaga kerja asingnya juga berjalan. "Yang namanya orang asing harus izin kalau mau kerja, dia harus kena syarat kompetensi, dia juga hanya bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu yang dibolehkan oleh aturan perundangan, dia juga terbatas masa berlakunya," tegas Hanif.

 

KOMPETISI TIDAK SETARA – Sementara itu, dikonfirmasi secara terpisah pengamat ASEAN dari Puskapol UI Muhammad Ridha mengatakan, MEA merupakan skema integrasi ASEAN. Karena ASEAN dalam satu nilai global menjadi penting tidak hanya menjadi produsen tapi juga menjadi konsumen. "Integrasi itu merupakan upaya memastikan proses konsumsi di ASEAN bisa berlaku secara lancar," katanya kepada gresnews.com, Jumat (11/3).

Hal ini, kata Ridha, berimplikasi tiap-tiap negara di ASEAN harus diatur dalam logika akumulasi kapital. Problemnya adalah logika ini yang kemudian mensubordinasikan logika lain, logika masyarakat ASEAN yang butuh perlindungan sosial dan lain-lain.

Secara umum implikasi MEA kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan berarti. "Akan ada sektor industri yang diuntungkan, tapi juga akan ada sektor industri yang dirugikan, hal ini karena dipengaruhi oleh tidak meratanya pembangunan industri di Indonesia," katanya.

Untuk industri yang strategis, Indonesia akan kesulitan bersaing dengan negara peserta MEA lainnya. Selain kompetisi yang tidak setara dari penguasaan teknologi, ada juga kompetensi tenaga kerja dan masalah lemahnya infrastruktur industrialisasi yang ada.

Ini, kata Ridha, membuat Indonesia relatif kesulitan untuk punya daya tawar yang cukup kuat untuk investasi. "Secara keseluruhan industri nasional dan angkatan kerja kita belum siap bersaing dengan negara MEA lainnya," kata peneliti Puskapol UI ini.

Masalah kesiapan tenaga kerja dan upaya percepatan peningkatan skill tenaga kerja melalui BLK ini memang menjadi sorotan DPR. Politisi PAN Ali Taher berharap, BLK mampu menjadi jalan keluar dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja dalam negeri supaya bisa bersaing dalam MEA.

"Kesiapan kitalah yang perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin, salah satunya adalah peningkatan BLK sebagai sarana mencetak tenaga profesional," kata Ali.

Akan tetapi DPR RI juga mengkritisi persiapan pemerintah terkait BLK. Anggota Komisi VII Imam Suroso menilai, program BLK yang menjadi salah satu program prioritas pemerintah untuk mencetak tenaga terampil masih belum maksimal oleh DPR RI.

"BLK di daerah tidak cukup diperhatikan, hasil kunjungan kerja ke daerah menunjukkan BLK tidak maksimum dalam pelaksanaannya, sedangkan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghadapi MEA adalah tenaga-tenaga kerja yang terampil. Ini PR penting bagi Pak Menteri dan jajarannya," kata Imam.

Dia mengatakan, akan menjadi dilematis, ketika MEA sudah di depan mata, namun Indonesia masih berbenah dalam perbaikan dan optimalisasi Badan Latihan Kerja. Minimnya angkatan kerja kita yang memiliki kompetensi untuk bersaing dengan pekerja asing dari negara lain, menyebabkan kompetisi dalam MEA ini menjadi tidak setara.

"Padahal RUU PP ILN yang kita bahas ini yang ditonjolkan BLK Tenaga Kerja, lah pelaksanaannya malah blong," pungkas Imam Suroso. (Gresnews.com/Nda Waluyo)

BACA JUGA: