JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah tengah membahas kriteria dan kualifikasi pekerja asing yang diperbolehkan masuk ke Indonesia dalam rangka pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pembahasan ditingkat pemerintah telah menentukan 8 jenis pekerjaan yang dibuka untuk warga asing, diantaranya tenaga kesehatan, dokter, wisata, arsitek dan beberapa jenis pekerjaan lainnya.

Delapan jenis pekerjaan itu masih tergolong pekerjaan yang terdidik. Sehingga jika ada tenaga kasar yang masuk ke Indonesia maka hal itu tergolong ilegal, dan akan dikenakan keimigrasian atau ketenagakerjaan.  

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menyatakan masyarakat Indonesia tidak perlu takut dengan masuknya para pekerja asing dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebab pemerintah memiliki kualifikasi masuknya pekerja asing ke Indonesia.

Rosan menilai sumber daya manusia Indonesia mampu bersaing dengan pekerja asing. Para tenaga ahli Indonesia juga harus melakukan persiapan melalui sertifikasi dan uji kompetensi untuk bekerja ke negara-negara anggota MEA lainnya. Menurutnya dengan melakukan sertifikasi dan uji kompetensi, SDM Indonesia punya peluang untuk bekerja di ASEAN dengan gaji yang lebih baik.

"Dengan melakukan sertifikasi, tenaga kerja Indonesia bisa kemana-mana," kata Rosan, Jakarta, Rabu (20/1).

Namun Sekretaris Jenderal Asosiasi Pekerja (ASPEK) Indonesia Sabda Pranawa Jati menilai para pekerja Indonesia belum siap menghadapi TPP atau pun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebab jumlah angkatan kerja Indonesia tergolong banyak, sementara jumlah lapangan pekerjaan masih sedikit tetapi harus ditambah masuknya pekerja asing ke Indonesia. Ditambah lagi, Balai Latihan Kerja (BLK) juga tidak optimal menghasilkan dan memberikan pelatihan terhadap lulusan SMA atau orang-orang yang pengangguran untuk bisa bersaing dalam hal pekerjaan.

Menurutnya pemerintah harus bertanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas para pekerja agar bisa meningkatkan dan mempersiapkan tenaga kerja Indonesia menghadapi MEA dan TPP. Jika pemerintah tidak menyiapkan pendidikan yang cukup untuk pekerja Indonesia, maka akan terjadi banyak pengangguran lagi di Indonesia.

"Pastinya para pekerja Indonesia akan tergusur oleh pekerja asing," kata Sabda kepada gresnews.com.

Sabda menuturkan dengan keberadaan TPP atau MEA, pemerintah harus bertanggung jawab agar setiap warganya mendapatkan penghidupan yang layak dan pekerjaan layak. Menurutnya pekerjaan yang layak dan berkesinambungan dan tidak ada pekerja yang masih berstatus kontrak. Jika pemerintah tidak bisa bertanggung jawab, maka buruh maupun masyarakat sipil akan terus menuntut melalui demonstrasi kepada pemerintah.

"Kita cuma menuntut negara harus hadir, dia (negara) harus bisa memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak," kata Sabda.

INDONESIA MASIH GAMANG - Sementara itu Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Sukamdi membenarkan masih ada kekhawatiran apakah Indonesia benar-benar siap menghadapi MEA 2015. Sampai saat ini Indonesia masih gamang. Sebab pemerintah belum memiliki perencanaan yang fokus dalam merespon MEA 2015.

Kondisi antarnegara di wilayah ASEAN tidaklah sama. Selain perbedaan tingkat pendapatan negara, ada juga perbedaan jumlah angkatan kerja produktif di masing-masing negara. Ada negara yang defisit tenaga kerja sehingga menjadi negara penerima pekerja migran, ada pula yang surplus dan menjadi negara pengirim tenaga kerja.

Uni Eropa sudah lebih dahulu menerapkan prinsip kebebasan bergerak bagi modal, barang, dan jasa. Sektor ketenagakerjaannya pun demikian. Para pekerja bebas bergerak lintas negara-negara anggota UE tanpa ada hambatan untuk tinggal dan bekerja. Perkembangannya, situasi ini banyak dimanfaatkan pula oleh pekerja dari luar UE seperti Afrika, Asia, dan Eropa Timur. Hanya saja kemudahan mobilitas penduduk ini belum disertai aturan-aturan tambahan sehingga arus imigran tidak terkontrol.

Saat ini ASEAN hendak menerapkan prinsip yang sama. Untuk mendukung hal itu, disusunlah kesepakatan saling pengakuan terhadap kualifikasi tenaga kerja profesional dalam Mutual Recognition Arrangements (MRA). Sejak 2005 sudah ada delapan sektor pekerjaan yang disepakati, antara lain engineering services, nurshing services, architectural services, surveying qualification, tourism, accountancy services, medical practitioners, dan dental practitioners. Tenaga kerja profesional yang memiliki keahlian di bidang ini bisa secara bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN lainnya.

Indonesia dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang luas. Permintaan (demand) tenaga kerja profesional dan terampil di ASEAN tinggi. Sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja, Indonesia jelas memiliki kesempatan yang besar.

Sukamdi mengatakan ada beberapa persoalan besar terkait ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, angkatan kerja Indonesia sebagian besar berpendidikan rendah. Data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS menunjukkan, pada 2013 ada lebih dari 118 juta angkatan kerja di Indonesia. Lebih dari 33 juta merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), sekitar 22 juta berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sekitar 19 juta berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Persoalan kedua adalah struktur kesempatan kerja kita yang agak aneh. Kita kerap mengeluh banyak orang tidak memperoleh pekerjaan. Di saat bersamaan, jika melihat strukturnya, ada kesempatan kerja yang tidak bisa diisi oleh orang Indonesia karena persoalan kualifikasi atau kompetensi," kata Sukamdi.

Data Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta) yang diolah Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan (Pusdatinaker) menunjukkan ada tiga jenis pekerjaan atau jabatan yang banyak diisi oleh tenaga kerja asing. Penggunaan tenaga kerja asing untuk pekerjaan profesional sebanyak 38.762, konsultan atau advisor sebanyak 18.925, dan manajer sebanyak 15.529.

Jika dilihat dari negara asal, tenaga kerja asing dari Cina yang paling tinggi, yakni sebanyak 18.864. Menyusul kemudian tenaga kerja asing dari Jepang (17.444), Korea Selatan (10.195), dan India (6.703).

KUALIFIKASI DAN LAPANGAN KERJA TAK TERSAMBUNG - Data itu menggambarkan, ada yang tidak tersambung antara kualifikasi atau kompetensi angkatan kerja dengan kesempatan kerja di Indonesia. Saat kesempatan kerja pada jenis-jenis pekerjaan tersebut hanya bisa diisi oleh tenaga kerja dari luar negeri, Indonesia menghadapi persoalan serius karena pengangguran terdidiknya akan semakin banyak.
Persoalan ketiga, Indonesia belum sepenuhnya melakukan penyesuaian kurikulum pelatihan maupun pendidikan untuk delapan kompetensi pekerjaan yang masuk di dalam MRA. Sebagai contoh, masih banyak sekolah vokasi di Indonesia yang belum terakreditasi di tingkat ASEAN.

"Kita bisa saja meluluskan seseorang yang terampil namun belum tentu dia bisa diterima kerja di negara-negara ASEAN lainnya. Saya tidak yakin, kurikulum pendidikan termasuk di perguruan tinggi sudah merespon delapan kompetensi MRA tadi," kata Sukamdi.

BACA JUGA: