JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kalangan pemerintah optimistis menyambut penyelenggaraan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015 mendatang. Integrasi ASEAN ini diklaim memberikan peluang strategis, termasuk terbukanya kran liberalisasi tenaga kerja.

Namun, kesiapan Indonesia menghadapi liberalisasi tenaga kerja ini masih perlu dikaji oleh pemerintah. Masalah utama yang harus diwaspadai adalah potensi minimnya daya saing angkatan kerja Indonesia dibanding ekspatriat (tenaga kerja asing) negara anggota ASEAN, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Apalagi, banyak angkatan muda Indonesia dibelit masalah pengangguran.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menyebutkan, per Februari 2015, angka pengangguran Indonesia mencapai 7,4 juta jiwa. Sebagian besar angkatan kerja,  taua 60 persennya  didominasi usia produktif (15-29 tahun).

Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, jumlah pengangguran Indonesia beberapa tahun belakangan ini cenderung membengkak. Pada bulan Agustus 2014, jumlah pengangguran tercatat 210 ribu jiwa dan terus meningkat pada Februari 2015 yaitu mencapai 300 ribu jiwa. Secara akumulatif, indeks pengangguran per dua tahun terakhir cenderung bertambah.

Untuk itu, pemerintah melalui BAPPENAS menyatakan akan mendorong dengan segala cara, pemberdayaan potensi sumber daya alam sebagai basis penggerak terselenggaranya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Bahkan, Andrinof meyakini, potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangat strategis menyerap tenaga kerja.

"Saat ini pemerintah tengah fokus menciptakan 350 ribu lapangan kerja baru pada tahun 2016 mendatang. Tahun ini target 250 ribu lapangan kerja baru, kemudian tahun 2016 diharapkan meningkat menjadi 350 ribu," kata Andrinof ditemui gresnews.com di Kementerian BPPN/Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

LIBERALISASI TENAGA KERJA - Negara anggota ASEAN telah sepakat memperkuat Cetak Biru (Blueprint) MEA yang ditandatangani para petinggi ASEAN pada 22 September 2007 lalu. Pada pertemuan tersebut, agenda pokok pembahasan yang disepakati terkait pola liberalisasi tenaga kerja khususnya angkatan kerja dengan spesialisasi bidang (high skill labor).

Tindaklanjut dari kebijakan ketenagakerjaan tersebut juga menghasilkan pengesahan Mutual Recognition Arrangement (MRA). MRA secara spesifik memuat prinsip dan framework kerjasama pertukaran tenaga kerja, informasi, pengalaman dan standar kualifikasi profesi sesuai ketentuan yang disepakati bersama antar negara anggota ASEAN.

Direktur Jenderal Kerjasama Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) I Gusti Agung Wesaka Puja  menyebut, dalam konsensus MEA sudah ada beberapa kategori profesi yang rencananya siap diberlakukan.

Menurutnya ada delapan jenis profesi tenaga kerja profesional yang  akan beredar di kawasan ASEAN. Antara lain, profesi insinyur, dokter, dokter gigi, arsitek, perawat, pengukur jalan, tenaga pariwisata dan akuntan.

Dengan tawaran tersebut, Puja optimistis, Indonesia bakal mengambil banyak manfaat. Menurut Puja, salah satu pertimbangan positif untuk Indonesia adalah jumlah populasi yang lebih produktif dibanding negara ASEAN lainnya yakni mencapai 360 juta.

"Kita jelas berada pada posisi yang menguntungkan, contohnya, sekarang banyak tenaga kerja kita yang sudah tersebar di Singapura dan Myanmar, kemudian tenaga perhotelan, tambang dan lainnya,” kata Puja di Gedung Nusantara Kemenlu, Jakarta.

KENDALA DAN POSISI INDONESIA - Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) Kemlu Spica Tutuhatunewa juga meyakini, MEA tetap membawa peluang bagi calon tenaga kerja muda Indonesia. Menurutnya, saat ini Indonesia memiliki calon tenaga kerja muda yang cukup banyak bekerja di luar negeri.

"Banyak tenaga kerja profesional (skilled labor) Indonesia yang bekerja di kawasan ASEAN. Misalnya, di Malaysia, ada sekitar 400 tenaga kerja," kata Spica ditemui gresnews.com, usai acara seminar penguatan peran pemuda menghadapi persaingan tenaga kerja di era MEA 2015 di gedung Nusantara Kemlu, Jakarta Pusat, Kamis (30/7).

Disebutkannya, usia produktif di tingkat umur 20 tahun sudah diprediksi mulai mampu bersaing diantaranya setara Strata 1 (S1) yang notabene usia produktifnya sekitar 25 tahun. Ditambah, Indonesia memiliki modus demografis yang cukup besar. Selain itu, Spica juga optimis dengan jumlah masyarakat Indonesia yang cukup besar. Kontribusi atau sumbangsi  diprediksi bakal terbuka lebar.  Spica menyebut, dari sekitar  600 juta populasi ASEAN, lebih dari 200 atau sepertiga masyarakatnya ada di Indonesia.

"Misalnya, jumlah penduduk 200 juta lebih, setengahnya merupakan angkatan kerja skilled labour, maka kita punya peluang besar beredar di kawasan ASEAN," terangnya.

Namun, hal terpenting yang harus dibangun masyarakat adalah sebuah pemikiran positif (positive minded) menyongsong MEA. Disamping itu, persiapan Indonesia menuju MEA bukan tanpa hambatan.

Spica menambahkan, salah satu kompetensi yang perlu ditingkatkan angkatan tenaga kerja dalam negeri adalah kecakapan bahasa. Dari segi penguasaan bahasa, Indonesia cukup mendapat kendala. Hal itu disebabkan, mayoritas penduduk Indonesia masih menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kelas tiga (third language).

"Pertama, komunikasi kita tentunya bahasa Indonesia dan kedua bahasa daerah bukan Inggris," ujar Spica.

KOMPETISI TENAGA KERJA - Namun Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati memperkirakan, membanjirnya tenaga kerja asing bakal menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Hal itu disebabkan, tingginya level mobilitas dan ketatnya persaingan terbuka tenaga kerja.

Disamping itu, Enny menilai, pemerintah belum siap secara penuh menghadapi integrasi kawasan ASEAN. Hal itu, kata Enny, dapat dilihat dari minimnya strategi meredam implikasi MEA.

"Apakah sisi regulasi dan penyesuaian lembaga pemerintahan terkait sudah berjalan? kemudian bagaimana aksi kesiapan menghadapi penyerbuan tenaga asing? Jangan sampai hanya menguntungkan negara lain," kata Enny dihubungi gresnews.com, Kamis (30/7).

Selanjutnya, menurut Enny, saat ini pemerintah belum menentukan kebijakan soal standar atau kriteria tenaga kerja asing yang boleh masuk ke Indonesia. Menurutnya, hal ini perlu dipertimbangkan secara matang. Sebab, pemenuhan tenaga kerja dalam standar level kompetensi yang tinggi dapat membuat pekerja Indonesia kalah bersaing.

"Pemerintah harus tahu langkah apa yang dilakukan. Namun saya belum yakin pemerintah paham soal implikasi kesepakatan yang ditandatangani, misalnya perubahan dan manfaatnya," tegas Enny.

Ia mencontohkan, antara dirjen satu dan dirjen lainnya di jajaran Kementerian belum semuanya paham strategi menghadapi integrasi kawasan khususnya ASEAN. Misalnya di bidang industri makanan dan minum, bidang perdagangan luar negeri dinilai belum paham menyusun strategi atau keberpihakan pada kepentingan nasional (national interest).

"Pemerintah harus punya strategi mendorong national interest. Harus melihat, bagaimana kondisi realistis tenaga kerja kita," ujarnya.

BACA JUGA: