JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Seiring perkembangannya, ancaman kejahatan lintas batas ini memunculkan berbagai dimensi salah satunya adalah pergerakan manusia secara tidak beraturan (irregular migration).

Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi berdekatan dengan beberapa negara tetangga di kawasan, sering menghadapi kasus pergerakan ilegal manusia. Indonesia bahkan kerap dijadikan tempat transit sebelum menuju ke tempat tujuan.

Data United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) tahun 2014 mencatat, terdapat sekitar 10.623 irregular persons yang telah menyusup ke Indonesia. Dari jumlah itu, 3.405 di antaranya merupakan pengungsi. Sementara sisanya 7.218 para pencari suaka. Kondisi ini menunjukkan terjadi tren peningkatan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 8.332 migran.

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, persoalan penyebaran irregular migrant atau para pencari suaka kembali terjadi dengan kehadiran migran etnis Rohingya asal Myanmar. Para pencari suaka ini secara masif melanggar batas kedaulatan wilayah teritori Indonesia.

Kondisi itu menjadi masalah serius dan menjadi ancaman yang dapat mempengaruhi kedaulatan wilayah Indonesia apabila tidak segera diantisipasi secara serius.

Ancaman kejahatan lintas batas juga akan semakin luas seiring diberlakukannya keterbukaan dan perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).  Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati menyampaikan, situasi penting yang diperhatikan terkait transnational crime dalam situasi kekinian adalah terkait diberlakukannya MEA.

Ia mengatakan, MEA 2015 akan menciptakan kerawanan, kriminalitas dan kejahatan yang bersifat lintas batas diantara negara-negara kawasan. Pemberlakuan MEA 2015, kata dia, akan membawa dampak negatif berupa munculnya kejahatan transnasional (transnational crime).

Mengingat mobilitas dan migrasi penduduk, barang, jasa, dan investasi antar negara di MEA akan semakin meningkat. "Sehingga tak terelakan lagi akan lahir berbagai modus operandi baru yang canggih dan modern dari kejahatan transnasional," kata Mantan anggota DPR RI itu kepada gresnews.com, Senin (7/12).

Pengamat yang juga politisi Partai Hanura ini menambahkan, transnational organized crime berpotensi menjadi subur di wilayah kedaulatan NKRI,  seandainya tidak direspon dan diatasi secara baik. Kemudian, kebijakan bebas hambatan terhadap berbagai produk barang, jasa, investasi, modal dan migrasi tenaga kerja di Asean akan semakin memberikan kesempatan serta peluang bagi para sindikat, mafia jaringan kelompok kriminal antar negara.

Meski begitu, besarnya ancaman yang diprediksi bakal terjadi tersebut, saat ini belum sepenuhnya disiapkan langkah preventifnya. Tantangan penyelesaian di dalam negeri, kata Susaningtyas, masih terkendala beberapa faktor antara lain aparat keamanan yang masih tebang pilih menyelesaikan kasus, sistem deteksi aksi dan deteksi dini  yang kurang waspada dan sistem hukum yang ambivalen. Menurutnya, perlu tindakan dan persiapan termasuk dalam kerangka intelijen melalui aksi deteksi dini dan preventif terkait.

KERJASAMA ANTAR NEGARA - Sementara itu Kepala Sub Direktorat Penanggulangan Kejahatan Lintas Batas Faizal Chery Sidharta menyebutkan, isu kejahatan lintas batas dinilai penting. Oleh karena itu permasalahan tersebut sempat dibahas dalam kerjasama dengan negara-negara sahabat.  Terutama melalui forum Jakarta Declaration Roundtable Meeting on Addressing the Root Causes of Irregular Movement of Persons pada akhir November lalu.

Acara yang dihadiri perwakilan level pejabat tinggi (senior official meeting) dan empat organisasi internasional seperti International Organization for Migration (IOM), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC),United Nations Development Programme(UNDP). Pertemuan ini  merupakan tindak lanjut pertemuan Special Conference on Addressing Irregular Movement of Persons di Jakarta, pada Agustus 2013 lalu.

Pertemuan ini mengagendakan pembahasan yang sama untuk mendorong kesepahaman rekomendasi terkait upaya pencegahan dan penindakan kasus irreguler migration.  Menurutnya negara-negara yang terlibat dalam forum ini umumnya pihak yang paling terkena dampak dari kejahatan lintas batas. Kemudian, kerangka yang dibahas adalah model kerjasama di tingkat regional dan mendorong kerjasama negara asal, negara transit dan negara tujuan.

Setidaknya terdapat 13 negara yang terkena dampak langsung irregular movement of persons yaitu Afghanistan, Australia, Bangladesh, Iran, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Selandia Baru, Srilanka, dan Thailand.

BEBAS VISA JADI ANCAMAN - Sementara Pakar Geopolitik Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Suryo AB berpendapat, selain ancaman dari dampak pemberlakuan MEA. Kebijakan fasilitas pembebasan Visa (free visa) oleh pemerintah juga mengundang kerawanan kejahatan lintas batas .

Kebijakan ini dinilai dapat menimbulkan efek serius bilamana tidak diikuti pengawasan pergerakan manusia dari luar (warga negara asing) yang secara bebas masuk ke wilayah kedaulatan nasional. Untuk mengantisipasi timbulnya modus kejahatan, pemerintah harus memperhatikan dokumen pembebasan visa, syarat pendataan izin tinggal, legalitas perizinan dan motif kunjungan wisatawan.

"Mobilitas atau perpindahan secara bebas dapat menimbulkan berbagai dimensi pelanggaran imigrasi," kata Suryo kepada gresnews.com.

BACA JUGA: