JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) merilis capaian indeks pembangunan ketenagakerjaan tahun ini yang tumbuh dari 55,5 menjadi 55,73. Namun capaian itu dinilai tidak signifikan atau menunjukkan kemajuan.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan jika angka indeks pembangunan ketenagakerjaan hanya tumbuh sebesar 55,73. Hasil itu dinilai masih sangat buruk karena kategorinya masih menengah ke bawah.

"Saya kira  indeks tersebut belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Ini hasil yang masih buruk. Angka 55,73 masuk kategori menengah ke bawah," kata Timboel kepada gresnews.com, Senin (27/12).

Menurut Timboel ada sembilan indikator indeks pembangunan ketenagakerjaan yang belum mampu ditingkatkan, yakni,  Perencanaan Tenaga Kerja, Penduduk dan Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, Pelatihan dan Kompetensi Kerja, Produktivitas Tenaga Kerja, Hubungan Industrial, Kondisi Lingkungan Kerja, Pengupahan dan Kesejahteraan Pekerja serta Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Selain itu, menurut pengamat buruh dan Koordinator Advokasi  BPJS Watch ini, perencanaan ketenagakerjaaan belum terintegrasi. Masih ada tumpang tindih program-program per-direktorat dan tidak saling menopang. Produktivitas yang masih rendah yang hanya mengandalkan Balai Latihan Kerja (BLK) juga menjadi masalah serius.

"Kesempatan kerja yang tidak terbuka luas karena penyerapan tenaga kerja yang rendah, hanya satu persen. Sehingga  pertumbuhan ekonomi hanya membuka sekitar 100 ribu lapangan kerja," jelasnya.

Sementara itu, Kondisi K-3 (kesehatan dan keselamatan kerja)  masih rendah karena kurangnya pengawasan dan penegakan hukum. Demikian juga dengan jaminan sosial yang masih rendah. Hanya sekitar 30 persen pekerja peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Tenaga Kerja dan sekitar 20 persen yang ikut BPJS Kesehatan membuktikan bahwa  jaminan sosial masih rendah.

Menurutnya, masalah pengupahan juga masih menjadi masalah bagi pekerja. Kehadiran PP 78/2015 masih belum bisa meyakinkan pekerja untuk bisa sejahtera.

Dalam konteks hubungan industrial juga demikian,  pemasyarakatan hubungan industrial yang dilakukan Kemenaker yang sudah berjalan harus terus ditingkatkan karena masih banyak buruh belum mengerti tentang hubungan industrial.

Diungkapkan Timboel, kedepan memang perlu banyak peningkatan yang harus dilakukan Kemenaker, dan untuk itu perlu adanya peningkatan anggaran dari APBN.
 
"Menaker harus berani berjuang untuk meningkatkan anggaran di APBN dan setelah itu berani untuk memberikan punishment kepada direktorat yang penyerapan anggarannya rendah," ungkapnya.

PETA JALAN KETENAGAKERJAAN - Menyikapi soal perlindungan tenaga kerja juga rendah anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Anshori mengatakan  pemerintah sudah menetapkan ´peta jalan /road map´ perlindungan jaminan sosial di Indonesia.

Diakuinya capaian hingga akhir 2015 , memang masih tertinggal. Untuk itu, semua pihak diminta memperhatikan dan lebih fokus mempercepat capaian perlindungan jaminan sosial, karena merupakan hak masyarakat dan bagian dari HAM.


Namun saat ditanyakan, apakah kualitas pengawas ketenagakerjaan masih rendah. Kondisi K-3 (kesehatan dan keselamatan kerja) yang masih rendah karena kurangnya pengawasan dan penegakan hukum.

Terkait rendahnya kualitas pengawasan ketenagakerjaan dan kondisi K-3 yang masih rendah. Anshori menjelaskan, hal itu akibat jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan, yang memang relatif masih belum memadai.

"Untuk mengawasi berbagai aspek ketenagakerjaan (bukan hanya jaminan sosial-nya), juga PNS Wasnaker masih kurang dari 2.000 orang. Dan tidak bisa fokus pada  pengawasan Jamsos, karena juga bertugas untuk seluruh aspek ketenagakerjaan," kata Anshori kepada gresnews.com saat dikonfirmasi, Senin (28/12).

Sementara, terkait jaminan sosial yang masih rendah. Karena peserta BPJS Naker hanya 30 persen dan sekitar 20 persen yang ikut BPJS Kesehatan.  Anshori mengaku, PP 86 memang masih belum dilaksanakan secara efektif, sebagian pihak lebih menginginkan pendekatan persuasif.

"Pelanggaran atas hak jaminan sosial harusnya sudah dengan pendekatan Yustisi, karena menyangkut hak asasi," ujarnya.

Tak hanya itu, pengupahan juga masih menjadi masalah bagi pekerja. Kehadiran PP 78/2015 masih belum bisa meyakinkan pekerja untuk bisa sejahtera. Menurut anggota DJSN ini, hal itu perlu dialog yang lebih efektif bagi para stakeholder utama di bidang ketenagakerjaan (Tiripartit).

"Persoalan-persoalan yang memerlukan pendekatan komprehensif, keterbukaan dan mengedepankan hubungan industrial perlu mengakomodir kepentingan obyektif para pihak," paparnya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri, dalam sambutannya saat meresmikan Data Centre Kementerian Ketenagakerjaan,  di Gedung Tri Dharma, Kantor Kemenaker, Jakarta, Rabu (23/12), lalu, mengakui sekalipun IPK tahun 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2014, pencapaian tersebut belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.

"IPK-nya memang meningkat, tapi buat saya kurang signifikan,” aku Hanif.

Namun sekalipun peningkatan IPK Indonesia tahun 2015 tidak terlalu signifikan, Hanif tetap memberikan apresiasinya kepada peraih penghargaan atas peningkatan IPK tersebut. Di samping itu, Hanif mengajak segenap Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota untuk terus meningkatkan indeks pembangunan ketenagakerjaan.

Saya berharap penghargaan IPK ini menjadi motivasi dan inspirasi tersendiri bagi saudara dan pemerintah provinsi lainnya, untuk bekerja lebih intens dan terus melakukan berbagai inovasi, dalam rangka peningkatan indeks ketenagakerjaan.  (Agus Irawan)



BACA JUGA: