JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memutasi puluhan pejabatnya dipersoalkan. Langkah Plt itu memutasi dinilai melanggar kepatutan, sebab mutasi adalah kebijakan strategis, yang tidak bisa diambil oleh pejabat berstatus pelaksana tugas.

Selain itu, mutasi di tengah belum terbentuknya direksi definitif, juga dinilai sebagai upaya menyelamatkan kroni-kroni mereka. Menyusul tidak lolosnya Plt Direktur Utama BPJS ketenagakerjaan saat ini dari proses seleksi Pansel karena alasan kesehatan.     

Untuk itu BPJS Wacth mendesak pemerintah segera menetapkan direksi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Serta menetapkan Dewan Pengawas ( Dewas) definitif secepatnya.  Sebab keterlambatan  penentuan Direksi dan Dewas definitif oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Plt Direksi BPJS Ketenagakerjaan saat mengambil banyak tindakan strategis yang melampaui kewenangan sebagai Plt Direksi.

Tindakan itu antara lain pada akhir Januari lalu mereka melakukan mutasi pejabat secara besar-besaran di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan. Diantaranya melalui Surat Keputusan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Nomor: KEP / 23/01/2016 tanggal 28 Januari 2016 Plt  Direktur Utama melakukan mutasi terhadap 14 orang pejabat. Kemudian melalui Surat Keputusan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Nomor: KEP Nomor 29/01/2016 tanggal 29 Januari 2016 Plt Direktur Utama kembali melakukan mutasi kepada 21 pejabat.

"Padahal kebijakan mutasi kepada pejabat adalah kebijakan yang strategis, karena itu, Plt Direktur Utama tidak boleh melakukan atau pun mengambil kebijakan tersebut," ujar Koordinator Advokasi BPJS Wacth Timboel Siregar kepada gresnews.com di Stancof Cafe, di Menteng Square, Kamis (18/2).

Timboel juga mengungkapkan dalam dua surat keputusan itu tidak dicantumkan jabatan Plt Direktur utama. Sehingga hal ini dinilai sebagai kebohongan publik. "Kami menganggap mutasi tersebut tidak sah," kata Timboel.

Mutasi itu juga terindikasi sebagai upaya menyelamatkan kroni-kroni  direksi saat ini. Karena pada proses Pansel yang lalu Plt Direktur Utama BPJS ketenagakerjaan yang sekarang menjabat pada dasarnya tidak lulus dalam seleksi kesehatan, oleh karenanya tidak akan mungkin lagi menjadi Direktur Utama pada periode mendatang. Sehingga mutasi itu diduga untuk memberikan tempat bagi kroni-kroninya.  "Kami mendorong Direksi baru BPJS Ketenagakerjaan untuk membatalkan dua surat mutasi pejabat tersebut," pintanya.

KETERLAMBATAN PANSEL - Kisruh mutasi pejabat di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan itu bermula dari keterlambatan Ketua DPR mengirimkan nama-nama calon Dewas terpilih ke Presiden. Daftar nama itu baru dikirim pada Jumat 12 Februari lalu, sehingga  sesuai ketentuan Pasal 32 ayat 1 dan 3 Pepres no 81 tahun 2015 Presiden, masih memiliki waktu  untuk mengumumkannya paling lambat tanggal 25 Februari 2016, yaitu 10 hari kerja sejak tanggal 12 Februari lalu. "BPJS Wacth menyayangkan atas keterlambatan pengiriman nama-nama Dewas oleh DPR ke Presiden," kata Timboel.

Padahal jika tidak terlambat mengirim nama-nama calon terpilih tersebut ke Presiden tanggal 3 Februari. Dalam waktu paling lambat 10 hari kerja, yaitu pada 17 Februari, Presiden sudah mengumumkan jajaran Dewas dan Direksi baru. Adanya keterlambatan ini telah menyebabkan masa kerja pelaksanaan tugas (Plt) Direksi dan Dewas periode lalu terus diperpanjang. "Kami melihat adanya unsur kesengajaan dari Ketua DPR dalam mengirimkan nama-nama Dewas terpilih ke Presiden," tuding Timboel.

Sementara itu anggota Dewan Jaminan Nasional (DJSN) Ahmad Anshori mengatakan semoga Pemerintah segera menetapkan Dewas dan direksi definitif, sehingga ada kepastian. Serta direksi dan Dewas bisa bekerja optimal.

Anshori juga mengomentari soal mutasi pejabat yang dilakukan oleh Plt direktur utama. Ia menilai  mutasi tersebut, seharusnya tidak dapat dilakukan oleh Plt Dirut tersebut.

"Sesuai UU 30 tahun 2014, mutasi pegawai termasuk hal yang tidak dapat dilakukan oleh Plt," ujarnya kepada gresnews.com.

TUNJUK PEJABAT PELAKSANA - Sebelumnya menyikapi belum terpilihnya dewan direksi BPJS baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan empat Keputusan Presiden (Keppres) untuk dua lembaga jaminan sosial itu. Yakni Keppres 140/P Tahun 2015, 141/P Tahun 2015, 142/P Tahun 2015 dan 143/P Tahun 2015.

Keppres tersebut menginstruksikan bahwa direksi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan akan melanjutkan tugasnya, yang seharusnya telah berakhir setelah tanggal 31 Desember 2015 lalu.

Sementara akhir 2015 lalu Panitia Seleksi (Pansel) Calon Anggota Dewan Pengawas dan Calon Anggota Dewan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah menyelesaikan tugasnya. Pansel juga telah menyerahkan nama-nama calon direksi BPJS. Pengesahan  para pejabat tinggi BPJS Ketenagakerjaan itu kini di tangan presiden untuk menentukan 8 nama direksi.

Penunjukan kembali direksi lama itu sempat dikritik Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar. Menurutnya direksi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang saat ini menjabat dan mendaftar lagi dinilai tidak layak untuk duduk dan menjabat lagi.

"Mereka telah gagal dengan berbagai program yang dibuat," katanya beberapa waktu lalu.

BPJS Watch, menurut timboel, menemukan sejumlah kinerja direksi BPJS Ketenagakerjaan yang perlu dipertanyakan. Antara lain, soal pergantian sistem informasi baru yang belum teruji. Sebab sistem baru itu tidak memberikan manfaat yang signifikan terhadap pelayanan BPJS Ketenagakerjaan saat ini. Selain itu optimalnya pembentukan 150 kantor cabang pusat (KCP). Juga tidak transparannya penyerahan aset dan dana program JPK ke Askes (BPJS Kesehatan) dari Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) yang jumlahnya mencapai Rp400 miliar.

BACA JUGA: