JAKARTA, GRESNEWS.COM – Isu perombakan (reshuffle) kabinet kembali menguat memasuki enam bulan masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun presiden diingatkan bahwa persoalan reshuffle kabinet tidak hanya perlu pertimbangan aspek kinerja menteri, tetapi juga perlu memperhatikan pertimbangan politik dari koalisi pendukung pemerintah maupun koalisi di luar pemerintah.

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhamad Misbakhun mengatakan reshuffle kabinet  tidak hanya mempertimbangkan kinerja kabinetnya, tapi juga konsolidasi politik. Apalagi dalam konstelasi politik saat ini parlemen juga berperan sebagai kutub yang sangat menentukan keberhasilan kinerja pemerintah.  

"Presiden untuk mengganti kapolri saja setengah mati. Sehingga sebenarnya ada konstelasi presiden membutuhkan dukungan penuh dari stakeholder. Dalam konsolidasi ini yang ada problem,” ujar Misbakhun dalam diskusi Menanti Sabda Reshuffle di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (9/5).

Ia mencontohkan persoalan pengesahan APBN-Perubahan, kapolri, dan banyak rancangan undang-undang yang untuk menentukannya memerlukan peran parlemen. Apalagi Koalisi Merah Putih jumlahnya sekitar 62 persen dan koalisi partai pendukung pemerintah hanya 37,8 persen. Persoalannya kadang dalam prakteknya justru terdapat ‘kegagapan’ dari partai pendukung pemerintah yang justru menyerang dan bukan mendukung pemerintah.

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Rokhmin Dahuri mengatakan sikap PDIP yang seakan menyerang terjadi sebelum dilakukan kongres pemilihan ketua umum PDIP. Pasca kongres ,ia meyakini kader PDIP yang bersikap oposisi akan ‘dibersihkan’. "Komunikasi antarpartai sudah mulai cantik," ujar Rokhmin pada kesempatan yang sama.

Sementara Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan faktor pertimbangan koalisi tak bisa dilepaskan ketika ingin melakukan reshuffle kabinet. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pertimbangan merombak kabinet dilakukan dengan mengumpulkan semua ketua umum partai.

"Jadi selain meningkatkan kinerja untuk kepuasan publik, harus dijaga juga stabilitas politiknya. Ini penting karena relasi keseharian presiden berhadapan dengan partai," tutur Hanta dalam diskusi yang sama.

Selanjutnya, ia membandingkan antara pemerintahan SBY dengan Jokowi terkait dengan komunikasi politik. Pada masa SBY, Wakil Presidennya Jusuf Kalla (JK) yang kala itu masih menjadi ketua umum Golkar cenderung membantu SBY dalam melakukan komunikasi dengan elite partai. Saat ini peran JK berbeda dengan yang ia lakukan saat menjadi wakil presiden pada masa SBY. Pada masa Jokowi, menurutnya, memang perlu dibangun semacam strategi komunikasi terutama komunikasi politik di tingkat elite.

BACA JUGA: