JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan siap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik di tahun 2015 sesuai UU Pilkada maupun diundur pada 2016. Namun melihat persiapan yang harus dilakukan KPU cenderung mengusulkan pilkada dilakukan pada 2016.

Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan mengacu pada undang-undang yang berasal dari Perppu Pilkada tahapan pertama pilkada langsung dilaksanakan pada 16 Desember 2015. Mengingat waktu yang dekat dengan 2016, KPU mengusulkan agar kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2015 dan 2016 melaksanakan pilkada secara bersamaan.

Lalu pilkada juga digabung pada 2017 untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya 2017 dan 2018. "Kepala daerah yang habis pada 2019 kami usulkan pilkada dilakukan pada jadwal berikutnya setelah pilpres," ujar Husni saat memberi masukan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II di DPR, Jakarta, Kamis (22/1).

Ia menjelaskan pada 2019 terdapat pilpres sehingga persiapan pilpres akan membuat volume kerja penyeleggara pemilu meningkat. Sehingga ia mengusulkan agar pada 2018 tahapan pemilu cukup difokuskan pada persiapan pilpres. Meski demikian, ia menyatakan kalaupun pilkada dilakukan 2015 KPU siap melaksanakannya. Sementara kalau digeser ke 2016 mereka tentu akan lebih siap.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan pertimbangan waktu yang diusulkan KPU sangat realistis. Ia menyetujui agar pilkada pada 2015 digeser ke 2016. Sebab kalaupun pilkada dilakukan pada Desember 2015, maka tahapannya juga akan dilanjutkan pada 2016.

Lalu 2015, Indonesia sebagai negara kepulauan ternyata memiliki catatan bencana yang meningkat pada tiap memasuki bulan Desember. Sehingga faktor geografis tersebut juga harus menjadi pertimbangan waktu pelaksanaan pilkada. "Pergeseran waktu sebenarnya banyak menjawab persoalan daerah," ujar Yandri pada kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan persoalan yang banyak dihadapi daerah terkait pelaksanaan pilkada misalnya soal kesiapan daerah seperti partai dan kesiapan lembaga penyelesaian sengketa pilkada. Sehingga jangan sampai persiapan pilkada diburu waktu.

Pelaksanaan pilkada yang terburu menurutnya bisa menyebabkan pelaksanaannya justru berantakan. Kalau pilkada berantakan, maka pada akhirnya DPR sebagai pembuat undang-undang dan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang akan disalahkan.  

Sementara anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar H.A. Mujib Rohmat mengatakan pelaksanaan pilkada serentak memiliki tahapan yang cukup panjang salah satunya uji publik. Kalau Komisi II menyepakati uji publik dihilangkan, pilkada serentak bisa dilaksanakan pada sekitar Oktober 2015. Tapi kalau tidak dihilangkan, ia mempertimbangkan adanya putaran kedua pilkada akibat terjadinya sengketa pilkada.

"Kalau ada sengketa lalu dilakukan putaran kedua, sementara putaran pertama dilakukan pada Desember 2015, maka putaran kedua pasti dilaksanakan pada 2016. Jadi pilihannya waktu pelaksanaan pilkada maju dari Desember ke Oktober atau mundur sekalian ke 2016," ujarnya pada Gresnews.com usai rapat di DPR.  

Sebelumnya, DPR menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada Langsung yang diterbitkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun DPR menilai substansi Perppu banyak memiliki kekurangan, sehingga mereka sepakat untuk melakukan perbaikan dengan meminta masukan dari pihak terkait seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilu.

BACA JUGA: