JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah belum menemukan kesepakatan untuk menentukan lembaga mana yang akan menangani sengketa pilkada. Meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan kesediaannya untuk menangani pilkada, sejauh ini pemerintah belum mengubah pendiriannya untuk menunjuk Mahkamah Agung (MA).

Muncul wacana dari sejumlah pihak untuk membentuk lembaga peradilan pilkada adhoc, seperti yang ditawarkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada DPR. Lembaga Adhoc dinilai diperlukan lantaran DPR dan pemerintah harus mempertimbangkan ke depan soal lembaga ideal yang bisa menangani sengketa pilkada.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menilai penanganan sengketa pilkada sebenarnya memang lebih bagus ke MK. Tapi MK sebaiknya sifatnya hanya sementara. Sebab penanganan sengketa pemilu dan pilkada oleh MK hanya sebagai kewenangan tambahan.

Menurut Jeirry penyelesaian sengketa pilkada tidak bisa ditunda karena harus ditangani cepat. Apalagi kalau dari 204 daerah yang akan pilkada semuanya mengalami sengketa. "Tentu hal ini akan menyita waktu MK dan membuat kasus atau gugatan yang menjadi tugas MK sendiri justru tidak disentuh atau lama diproses," ujar Jeirry pada Gresnews.com, Sabtu (14/2).

Karena alasan itulah, pembuat undang-undang perlu mempertimbangkan disiapkannya lembaga adhoc untuk menangani sengketa pilkada. Wacana ini pun menurutnya memang memerlukan kajian dengan melihat secara objektif dan faktual. Penilaian secara objektif ini juga diperlukan pada saat perevisian payung hukum wacana ini. Lembaga adhoc ini menurutnya bisa merekrut hakim adhoc dengan persyaratan yang ketat. Sehingga lembaga ini akan jauh dari politisasi.

Sebenarnya wacana lembaga adhoc penanganan sengketa pilkada bisa saja diberikan pada Bawaslu. Sehingga Bawaslu bisa saja diperkuat untuk menjadi lembaga peradilan pilkada. Hanya saja penguatan Bawaslu untuk menjadi lembaga peradilan akan membuat tugas Bawaslu semakin berat. Sebab ketika berperkara persoalan bisa muncul ketika di daerah.

Terkait dengan kemungkinan MA menangani sengketa pilakda ke depan, ia menilai saat ini pun MA tidak memiliki minat untuk menangani sengketa pilkada. Sehingga sebaiknya ke depan solusi peradilan adhoc untuk sengketa pilkada bisa dibentuk.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi II DPR Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan secara ideal memang harusnya ada lembaga peradilan adhoc untuk sengketa pilkada. Hanya saja butuh persiapan yang matang. Sehingga ketika wacana tersebut diundang-undangkan semua kebutuhan penanganan sengketa telah siap semua.

"Kita tidak bisa menormakan sebelum betul-betul didiskusikan," ujar Arwani pada Gresnews.com, Sabtu (14/2).

Lalu anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan wacana tersebut perlu pematangan yang jelas. Sehingga tidak serta merta DPR mengabulkan wacana pengadilan adhoc. Yandri menilai akan lebih baik untuk saat ini memperkuat lembaga peradilan yang sudah ada untuk pilkada.

"Mungkin lembaga yang sudah ada saat ini akan lebih menjamin untuk penyelesaian sengketa pilkada yang bermartabat," ujar Yandri pada Gresnews.com, Sabtu (14/2).

Sebelumnya, DPR ingin merevisi Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang pilkada langsung. Salah satu poin yang direvisi terkait penyelesaian sengketa pilkada tersebut.

BACA JUGA: