JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden (pemerintah) mempertanyakan kepentingan pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebab, Riyanti dan kuasa hukumnya, Vivi Ayunita Kusumandari sebagai pemohon tidak dalam posisi dirugikan, dikurangi, atau setidak-tidaknya dihalang-halangi hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan Pasal 22 UU MK karena pemohon dalam hal ini bukanlah hakim Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan itu disampaikan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi saat membacakan keterangan Presiden atas pengujian perkara nomor 131/PUU-XII/2014 di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (23/12). "Perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya
ketentuan pasal a quo UU MK yang dimohonkan," tutur Wicipto di sidang lanjutan pengujian UU MK dengan agenda Medengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III), Selasa (23/12).

Wicipto  juga tidak sependapat dengan dalil permohonan pemohon yang menyatakan ada diskriminasi terhadap hakim  konstitusi dengan hakim agung terkait batas usia pensiun karena masa jabatan hakim agung adalah sejak diangkat dan pensiun sampai dengan 70 tahun. Sedangkan hakim konstitusi hanya lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Dalil tersebut menurutnya tidak tepat dan tidak benar serta mengada-ada karena pemohon sebagai pembayar pajak hanya merasa hak konstitusionalnya dirugikan bukan secara langsung. Sehingga Pemohon bukanlah dalam posisi sebagai terhalang-halangi atau pun sedang dalam dirugikan hak konstitusionalnya. Kerugian Pemohon adalah kerugian yang tidak nyata karena ketika ada kesempatan untuk mengajukan diri menjadi calon hakim konstitusi, pemohon tidak menggunakan kesempatan tersebut.

Kendati pemohon mendaftarkan sebagai calon, maka pemohon harus lulus seleksi dan terpilih dahulu untuk menjadi hakim. Ketika pemohon terpilih, maka secara potensial pemohon baru bisa dirugikan oleh ketentuan pasal yang dimohonkan.

Dia  mengungkapkan, salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil dan juga sebagai koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

MK, lanjutnya, merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Hal ini berarti MK terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Permohonan pengujian UU MK, jelasnya, sangat berkaitan dengan hakim konstitusi secara pribadi, yaitu untuk dapat dipilih masa jabatan kedua dan tidak berkaitan dengan kelembagaan. Sementara asas hukum menyatakan hakim tidak akan memutus sengketa yang di dalamnya ada kepentingan pribadi dan tentunya bukan kepentingan kelembagaan yang berhubungan dengan sistem negara hukum.

Menurutnya, lebih baik jika permohonan pemohon dibahas dengan legislative review karena hal tersebut merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang. Begitu terkait kriteria usia, kata dia, UUD 1945 tidak menentukan adanya batasan usia tertentu untuk menduduki semua jabatan dalam penyelenggara negara. Hal ini juga merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada.

"Kewenangan pembentuk undang-undang yang demikian tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945," tegasnya.

Ia beranggapan,  periode masa jabatan hakim MK, tidak dapat dilepaskan dengan periodisasi lembaga pengusul hakim konstitusi, Presiden dan DPR yang memiliki periode lima tahun. Hal ini kata dia, sejalan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan hakim konstitusi berjumlah sembilan orang yang diusulkan oleh Presiden, DPR, dan MA. Apabila tidak ada periodesasi jabatan Hakim MK dan dipersamakan dengan Hakim MA, justru menjadi tidak sesuai dengan bunyi Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 tersebut. Sebab ada kemungkinan lembaga pengusul tersebut tidak mungkin mengusulkan calon hakim
karena yang diangkat belum memasuki usia 70 tahun.

Menurutnya, praktik pengangkatan kembali terhadap hakim pada periode kedua yang selama ini terjadi tidak semata-mata didasarkan pada batas usia, melainkan pada rekam jejak dan prestasi hakim yang bersangkutan pada periode sebelumnya. Sebaliknya, pembatasan masa jabatan seorang hakim konstitusi itu sejalan dengan rotasi kekuasaan. Sebab Hakim MK merupakan representasi dari tiga kekuasaan, yaitu DPR, Presiden,
dan MA, sehingga MK memegang tiga kekuasaan yang merepresentasikan kepentingan konstitusional lembaga itu.

"Karena itu, ketika perioderisasi politik DPR dan Presiden dibatasi, maka masa jabatan Hakim MK juga harus dibatasi," uajarnya.

Wicipto mengakui, kewenangan MK dan MA bersumber dari norma hukum yang sama, yakni Pasal 24A dan C UUD 1945. Namun ciri jabatan hakim konstitusi berbeda dengan hakim pada peradilan umum yang diangkat berdasarkan usia minimum tertentu, dan menjalankan tugas sampai dengan batas usia pensiun.

Sumber hukum antara hakim konstitusi dengan hakim agung, juga berbeda latar belakangnya. Hakim MK merupakan representasi politik, sementara Hakim MA berasal dari hakim karier dan non-karier. Kemudian, pembatasan masa jabatan Hakim Konstitusi juga sekaligus untuk mencegah munculnya abuse of power. Sehingga perbedaan tersebut dimaksudkan dalam menjaga check and balance, yaitu merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara.

Dengan alasan itu, pemerintah berpendapat sangat tepat dan berasalan MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum).

Hal itu disampaikan Wicipto menaggapi pernyataan  pemohon yang juga mendalilkan hakim konstitusi baik yang diajukan oleh MA, DPR, dan Presiden tidak dapat dijamin independensinya dalam memutus permohonan pengujian undang-undang. Sebab keberadaannya tidak permanen atau tetap, melainkan sementara waktu sehingga potensial untuk dipengaruhi diintervensi oleh instansi yang mengajukan mereka, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pemohon juga beranggapan potensi kerugian konstitusionalnya akan hilang apabila ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai masa jabatan hakim konstitusi tidak dibatasi secara periodik. Tetapi bersifat permanen karena hakim konstitusi dalam memutus perkara atau permohonan pengujian undang-undang dapat dipastikan tidak akan dapat diintervensi, sehingga hakim konstitusi benar-benar independen atau independensinya dapat dipastikan terjamin.

Menurut Riyanti, adanya perbedaan masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi pada kedua lembaga yang sama-sama berperan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman ini merupakan suatu bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 dan harus dimaknai sama dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Dia menilai, norma Pasal 22 UU MK tidak sinkron dengan norma yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) butir c UU MK  bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 tahun, sehingga hal ini tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UU 1945.

Pemohon dalam petitumnya memohon agar ketentuan Pasal 22 UU MK harus dimaknai sebagai masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejak mengucapkan sumpah pelantikan sampai memasuki usia pensiun 70 tahun.

BACA JUGA: