JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai hingga sidang VII dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari kubu Prabowo-Hatta pada Jumat (15/8), belum bisa mengkontruksikan secara konkrit pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif seperti yang didalilkan pemohon.
 
Mencermati sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2014 yang menghadirkan enam saksi ahli yang dihadirkan Prabowo-Hatta, Perludem juga belum mendapatkan gambaran konkrit soal kesalahan atau manipulasi penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
 
"Kami belum dapatkan gambaran soal kesalahan atau manipulasi penghitungan suara yang dilakukan KPU yang membuat suara benar-benar berubah dari apa yang sudah ditetapkan KPU," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Gresnews.com, Minggu (17/8).
 
Hingga hari ini, lanjut Titi, angka-angka yang benar menurut versi pemohon juga belum dimunculkan  oleh pemohon, bersumber dari mana dan berdasar apa.
 
Ia menilai, keterangan enam saksi ahli yang dihadirkan Prabowo-Hatta belum signifikan bisa mendukung dan menguatkan dalili-dalil pemohon. Menurut Titi, apa yang disampaikan para ahli saksi dari kubu Prabowo-Hatta juga punya perspektif berbeda dengan keterangan ahli dari termohon (KPU) dan pihak terkait (kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla).
 
Bahkan kata Titi, keterangan Yusril Ihza Mahendra, dan Irman Putra Sidin,  cenderung sangat normatif. Ia menilai, terkait Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTBb) tidak ada keterangan yang mendukung bahwa DPKTBb digunakan sebagai alat pemenangan salah satu pasangan calon dan suaranya diberikan kepada hanya satu pasangan calon.
 
"Saya pikir, ketika mempermasalahkan penggunaan hak pilih dengan KTP dan paspor sesungguhnya kita mundur ke belakang," jelas Titi.
 
Sebab, kata dia, Mahkamah Konstitusi sudah membolehkan hal itu untuk pemilu presiden (Pilpres) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sehingga kalau Daftar pemilih Khusus (DPK) dan DPKTBb dikatakan sebagai pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif maka dalil tersebut sangat lemah.
 
Namun demikian, Titi mengaku, kesempatan Prabowo-Hatta tinggal dalam sidang VIII atau dengan agenda pemeriksaan bukti yang digelar Senin (18/8). "Pemeriksaan alat bukti besok menjadi kesempatan terakhir untuk bisa membuktikan permohonannya,” tegasnya.
 
Sebelumnya, kubu Prabowo-Hatta menghadirkan enam saksi ahli pada sidang di gedung MK, Jumat (15/8). Keeenam saksi ahli itu adalah Yusril Ihza Mahendra, Irman Putra Sidin, Margarito Kamis, Said Salahudin, Rasyid Saleh, dan Marwah Daud Ibrahim.

Sedangkan pihak termohon atau Komisi Pemilihan Umum mendatangkan empat saksi ahli, yakni Ramlan Surbakti, Erman Rajagukguk, Didik Supriyanto, dan Harjono. Pihak terkait atau Jokowi-JK menghadirkan dua saksi ahli, yakni Saldi Isra dan Bambang Eka Cahya Widodo.

Seperti diketahui, tim Prabowo-Hatta mendalilkan kecurangan masif di 33 provinsi dan juga menyoal kesalahan rekapitulasi akibat sekitar 46.000 dokumen C1 ilegal. Selain itu juga menilai proses pilpres 2014 cacat hukum.

Tim kuasa hukum Prabowo-Hatta juga mendalilkan terjadinya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam pilpres. Dalam dalilnya penggugat menilai perbuatan tersebut dilakukan oleh penyelenggara pemilu dengan memobilisasi pemilih menggunakan daftar pemilih tambahan (DPTb) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).

Kubu Prabowo-Hatta memohon kepada Mahkamah agar membatalkan Keputusan KPU Nomor 535/KPTS/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 serta menyatakan perolehan suara yang benar adalah Prabowo-Hatta menang 67.139.153 dan Jokowi-JK 66.435.124 serta menetapkan Prabowo-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

BACA JUGA: