JAKARTA, GRESNEWS.COM – Persoalan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) cenderung menjadi isu utama yang dipermasalahkan oleh pasangan Prabowo-Hatta dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP). Pihak Prabowo-Hatta menuding KPU tidak netral dengan memanipulasi jumlah DPK dan DPKTb, sehingga terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masih yang membuat proses Pilpres 2014 menjadi inkonstitusional.

Menanggapi keberatan yang disampaikan pihak Prabowo-Hatta terkait masalah DPk dan DPTKb, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan akar permasalahan DPK dan DPKTb yang di soal para penggugat lebih banyak bernuansa politis ketimbang hukum. Sebab, hal itu baru dipermasalahkan ketika Pilpres sudah selesai dan tidak pernah dipersoalkan sebelumnya.

Titi mengatakan, belakangan tim Prabowo-Hatta mempersoalkan hal itu karena dinilai telah menguntungkan salah satu pasangan calon tertentu dalam hal ini pasangan Jokowi-JK. Hanya saja kata Titi, tudingan itu masih sulit dibuktikan, sebaliknya malah di beberapa daerah dimana Prabowo-Hatta menang, jumlah DPKTb-nya tinggi. Ini seperti memukul air didulang memercik muka sendiri.

"Klaim tersebut tidak bisa dibuktikan hingga saat ini. Karena misalnya dari jumlah total DPKTb jauh dari selisih perolehan hasil. Lalu di kantong suara pemohon di Aceh dan Jawa Barat, DPKTb-nya tinggi. Dimana pemohon memperoleh suara mayoritas, DPKTb-nya terbesar di seluruh Indonesia. Jadi itu klaim yang spekulatif," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (16/8).

Menurutnya, agak menyedihkan jika soal konstitusional DPKTb dibahas. Titi menjelaskan, DPKTb hanya istilah yang digunakan untuk pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) atau identitas kependudukan lainnya. Istilah itu sudah ada sejak pemilu-pemilu sebelumnya.

Titi mencontohkan, pada pemilu tahun 1999 paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemilih boleh menggunakan KTP dan KK. Lanjutnya, tahun 2013, ada putusan lagi dari MK yang menguji Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 bahwa dalam pilkada pemilih dengan KTP tidak dibolehkan. Lalu sengketa pilkada Tangerang Selatan tahun 2010.

Di beberapa sengketa pilkada MK membenarkan memilih menggunakan KTP. "Logika berpikirnya itu dalam rangka perlindungan terhadap hak konstitusional dan hak dasar warga negara," ujarnya.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan dengan digunakannya KTP dan KK bukan berarti Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak perlu. Karena menurutnya, KTP dan KK merupakan emergency exit dan tidak otomatis mengesampingkan DPT. Ia menilai DPT tetap diperlukan untuk basis logistik pengadaan Tempat Pemungutan Suara (TPS).

"Dimanapun di dunia tidak ada yang pemutakhiran datanya 100% sempurna. Contohnya di Australia yang pendataan penduduknya berlangsung terus menerus, itu ada sekitar 7% lebih  pemilih yang tidak terdata dalam daftar pemilih pada pemilu 2013 yang lalu ketika pemilu parlemen," jelasnya.  

Persoalan terkait pendataan penduduk yang masih bermasalah ini harus memiliki solusi dalam pemilu. Ia mengatakan jangan sampai karena hal ini warga negara kehilangan hak pilih. Lalu ia melanjutkan jika berkaca pada pemilu sebelumnya diantaranya pemilu 2009, pilkada, dan pileg diperbolehkan memilih dengan KTP atau KK bagi yang tidak terdaftar.

"Mengapa pemilu presiden tidak boleh? Apa yang membedakan sehingga aturan tersebut berbeda? Padahal yang namanya hak pilih kan universal. Saya kira ini dipolitisasi akibat adanya kepentingan politik dan adanya saluran politik yang bermasalah dari para pihak yang mempersoalkan," tuturnya.

Bagi Titi, mempersoalkan DPKTb sama saja mempersoalkan hak-hak warga negara. Menurutnya, ini menyedihkan bagi pemenuhan hak-hak warga negara dalam proses pemilu dan demokrasi. Ia mengatakan di satu sisi harus mendorong penyelenggaraan pemilu yang lebih baik, tapi jangan dikhianati hak-hak warga negara.

Terkait potensi penyalahgunaan DPK dan DPKTb, Titi menilai ada mekanisme kontrol di TPS yang tidak lemah.  Ia menyebutkan ada saksi dari kedua pasang calon dan pengawas pemilu lapangan. Lalu ia menambahkan pada saat rekapitulasi juga disaksikan masyarakat. Jadi ia menilai kalau ada pemilih fiktif akan sangat mudah diidentifikasi. "Untuk menelusurinya fiktif atau tidak kan mudah, lihat identitasnya namanya siapa, alamatnya dimana," katanya.

Senada dengan Titi, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Muhammad Afifuddin mengatakan akar persoalannya ada di kependudukan kita yang carut marut dalam data kependudukan dan catatan sipil Departemen  Dalam Negeri. Ia menilai DPK dan DPKTb merupakan cara untuk "menyisir" warga yang harusnya jadi pemilih tetapi tidak atau belum terdaftar.

"Di pemilu 2014 ini cara menyisir dengan menggunakan DPK dan DPKTb relatif berhasil mengurangi jumlah warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (16/8).

Ia melanjutkan bahwa kemudian ada upaya pemanfaatan dan penyalahgunaan kebijakan tersebut oleh para pihak untuk memanipulasi misalnya, menurutnya lumrah saja. Ia menuturkan kebijakan apapun pasti dicari celah penyalahgunaannya oleh pihak tertentu.

Oleh karena itu, Ia menilai yang penting pelanggaran yanga ada dan terjadi diawasi dan ditindak. "Pengawasan, pemantauan sudah dilakukan. Warga juga harus aktif. Tidak mungkin semua masalah bisa bersih kalau warga tidak aktif," ujarnya.

BACA JUGA: