JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa pemilu di Indonesia disidangkan oleh dua lembaga berbeda. Jika sepanjang menyangkut masalah etika penyelenggara pemilu, maka itu merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu untuk mengadilinya. Kedua, jika menyangkut masalah perselisihan hasil pemilu, maka itu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).  

Masalahnya, meski kedua lembaga itu menyidangkan dua obyek hukum yang berbeda, tetapi bisa saja subyek yang disidangkan sama. Dalam konteks Pilpres 2014 misalnya, terkait masalah pembukaan kotak suara oleh KPU, selain disidang oleh MK, dari sisi etis subyek yang sama disidangkan oleh DKPP.

Disinilah kemudian terjadi potensi ketidaksinkronan putusan diantara kedua lembaga itu. Terkait pembukaan kotak suara misalnya, DKPP memutuskan hal itu sebagai tindakan yang tidak etis. Sementara Mahkamah Konstitusi melihat hal itu bukan sebagai pelanggaran dalam pemilu yang bisa mempengaruhi hasil pemilu. Perbedaan pendapat ini pada gilirannya memunculkan wacana soal perlunya badan pengadilan khusus untuk sengketa pemilu.

Pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Andi Syafrani mengatakan wacana tersebut sebagai usulan yang baik. Alasannya, karena penyelesaian sengketa pemilu khususnya untuk pilkada juga sudah tidak lagi disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Pemilu dan pemilukada, menurut Andi, adalah bagian integral yang proses penyelesaian sengketanya harus ditangani oleh hakim-hakim yang memiliki keahlian dan pengetahuan politik dan hukum, selain pengetahuan ketatanegaraan.

"Kalau itu diserahkan ke pengadilan biasa misalnya ke PTUN, ada beberapa keahlian dan pengetahuan yang mungkin belum sepenuhnya dikuasai hakim-hakim yang ada disana. Perlu dilakukan upgrade," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (29/8).

Selain soal keahlian, ada juga problema jarak antara lokasi sengketa dengan pengadilannya jika pengadilan dilakukan terpusat di Mahkamah Konstitusi yang ada di Jakarta. "Itu memberikan dampak penjauhan konflik yang ada di daerah-daerah menjadi ke Jakarta yang terlokalisir. Sedangkan kalau ada di daerah yang jaraknya dekat dengan konflik terjadi, akan lebih efektif karena dekat dengan tempat penyelesaian sengketa," ujar Andi menambahkan.

Terkait dengan perbedaan pandangan antara DKPP dan MK soal pembukaan kotak suara, menurutnya kode etik bukanlah wilayah hukum. Ia menilai pelanggaran etik bisa dikatakan berkaitan dengan administrasi. Sehingga wajar kalau terjadi kerancuan antara pelanggaran etik dengan hukum.

"Perlu didefinisikan lebih lanjut supaya tidak ada tabrakan kewenangan, ini yang perlu dipertegas. Perlu ada pengendalian dan penyelesaian dalam pelanggaran pemilu. Selama ini kan ada tiga ranah etik, pidana dan konstitusi. Masing-masing punya wilayah yang berbeda, ini perlu diintegrasikan di satu lembaga khusus yang bisa menyelesaikan sutu persoalan. Ini kan lex spesialis, jadi diselesaikan oleh lembaga yang special. Jadi semua persoalan yang ada disana bisa diselesaikan dalam 1 pintu," jelasnya.

Ia mencontohkan persoalan yang terjadi di peradilan kita, misalnya putusan Mahkamah Konstitusi yang harus menunggu putusan di wilayah peradilan lain seperti PTUN seperti di Gorontalo. Akibatnya, Gorontalo sempat vakum selama 1 tahun tanpa ada kepemimpinan daerah karena menunggu putusan dari Mahkamah Agung.

Peristiwa seperti ini, menurutnya, sangat merugikan masyarakat. "Masyarakat butuh pemimpin yang jelas untuk selesaikan persoalan mereka dan itu terhambat oleh aspek hukumnya yang beda kamar," tuturnya.

Andi melanjutkan, jika akan dibentuk pengadilan pemilu, bisa saja dibuat dalam tiga kamar yaitu pidana, administrasi, dan etik yang tergabung dalam satu wadah. Sehingga menurutnya, persoalan sengketa pemilu bisa dengan cepat diselesaikan melalui satu koordinasi yang jelas tanpa menunda-nunda proses putusan.

Persoalan pilpres lalu, kata Andi, adalah akumulasi dari persoalan yang ada di pemilu daerah. Sehingga persoalan yang muncul hanya pengulangan saja terkait daftar pemilih tetap (DPT),  yang menurutnya merupakan persoalan yang lumrah. "Ke depan pembuat undang-undang bisa memperhatikan aspek ini dengan baik," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan yang diperlukan dalam persoalan ini adalah penataan penegakan hukum di Indonesia secara lebih baik, komprehensif dan tidak parsial. Ia menambahkan ketimbang membentuk lembaga baru akan lebih baik jika fokus pada penataan yang sudah ada.

Terkait persoalan perbedaan putusan DKPP dan MK, ia menilai domainnya sudah jelas bahwa soal penyelesaian hasil ke MK, etis ke DKPP. Ia menambahkan ranah etis ini yang harus lebih diperjelas. Lanjutnya, pembukaan kotak merujuk pada tafsir UU boleh atau tidak kapan kotak suara bisa dibuka atau tetap tersegel. Menurutnya, permasalahan utamanya ada pada UU yang tidak jelas.

"Saya kira hal yang diperlukan adalah perbaikan kerangka hukum pemilu agar tidak multitafsir. Perbedaan putusan DKPP dan MK tidak berkaitan dengan peradilan pemilu tapi kerangka hukum pemilu kita yang tidak konkrit dan tidak jelas dalam mengatur persoalan," katanya pada Gresnews.com, Jumat (29/8).

Menurutnya, pembentukan lembaga peradilan harus dikaji secara komprehensif. Karena ia menilai kalau ada peradilan pemilu, peran Bawaslu menjadi tidak diperlukan. Apakah pembentukan peradilan pemilu sudah didasarkan pada kajian komprehensif yang dapat menjawab persoalan.

Ia melanjutkan kalaupun ada peradilan pemilu bukankah akan terjadi soal beda tafsir antara DKPP dan MK. "Kita lebih baik melakukan evaluasi pemilu terhadap kerangka hukum pemilu dan penegakan hukum pemilu," jelasnya.

BACA JUGA: