JAKARTA, GRESNEWS.COM. Curahan hati calon presiden yang diusung  Partai Gerindra dalam sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK) blunder. Prabowo menyebut hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2014 yang lebih buruk dari Korea Utara.

Agar tak menjadi bulan-bulanan di sosial media, para pembela Prabowo buka suara. Ketua DPP Gerindra Habiburokhman menegaskan kalau penilaian seperti itu adalah salah kaprah dan menyudutkan capres nomor urut satu itu.

"Justru ini yang dicontohkan, tempat ini maksudnya Indonesia lebih buruk dari Korea Utara yang berpaham komunis. Itu enggak dimaknai lengkap, salah kaprah itu mereka," ujar Habiburokhman, Kamis (7/8).

Dia menjelaskan pernyataan Prabowo tersebut untuk menggambarkan kecurangan yang masif dan terstruktur seperti di Papua. Hasil di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) seperti di Papua yang menyatakan Jokowi-JK mutlak 100 persen sementara Prabowo-Hatta meraih nol suara menjadi contoh buruknya Pilpres di Indonesia.

"Suara Pak Jokowi 100 persen dan kami nol. Padahal, kami punya saksi. Ini kan lucu. Negara komunis seperti Korut kan enggak gitu-gitu banget. Ini yang katanya Pilpres demokratis tapi kok bisa raih 100 persen," urainya.

Sebelumnya, dalam sidang Prabowo protes terhadap hasil perolehan nol suara di ratusan TPS. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu menilai pelaksanaan Pilpres di Indonesia lebih buruk dari Korea Utara.

"Bahkan di Korea Utara pun tidak terjadi, mereka bikin 97,8 persen. Di kita, ada yang 100 persen, ini luar biasa. Ini hanya terjadi di negara totaliter, fasis dan komunis," kata Prabowo di ruang sidang MK, Rabu (6/8).

Tentu saja pernyataannya itu banyak menuai kritikan. Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Theofransus Litaay menegaskan pemilu di Indonesia tidak bisa dibandingkan sama sekali dengan kegiatan Pemilu di Korea Utara, yang diumumkan hasilnya Maret 2014 lalu.

Theo Litaay mengungkapkan 5 alasan perbandingan pemilu Indonesia dan Korea Utara. Pemilu Indonesia bagaimanapun lebih baik, berikut perbandingannya:

1) Pemilu Presiden di Indonesia adalah pemilu yang sesungguhnya, di mana pemilih secara bebas menentukan pilihan terhadap calon presiden yang lebih disukainya tanpa ada ancaman apapun. Kegiatan yang mirip pemilu di Korea Utara, bukanlah pemilu dalam arti sesungguhnya karena rakyat negara tersebut tidak bisa memilih calon yang disukainya, mereka hanya diijinkan untuk memilih antara "setuju" atau "tidak setuju" terhadap 1 (satu) nama yaitu Kim Jong-Un saja dan tidak ada nama calon lainnya.

2) Hasil pemilu di Indonesia mencerminkan realitas politik yang sesungguhnya, dimana ada 53 persen pemilih yang telah memilih calon presiden Joko Widodo dan calon wakil presiden Jusuf Kalla. Di Korea Utara, 100 persen pemilih menyatakan setuju kepada Kim Jong-Un dan tidak ada satu orang pun yang berani untuk berkata "tidak" terhadap putra Kim Jong-Il ini.

3) Pemilu di Indonesia adalah sebuah mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin secara demokratis. Di Korea Utara kegiatan pemilihan di atas bukanlah mekanisme demokrasi, melainkan alat kendali rejim pemerintahan untuk mengendalikan politiknya dan memeriksa kesetiaan pemilih terhadap rejim dari negara totaliter yang dikendalikan oleh partai tunggal yang berkuasa. Bahkan majalah The Economist mengemukakan bahwa pemilihan di Korea Utara lebih mirip sensus penduduk.

4) Partisipasi pemilu di Indonesia menunjukkan kebebasan pemilih untuk menggunakan ataupun tidak menggunakan hak pilihnya. Partisipasi pemilihan di Korea Utara diikuti oleh 100 persen rakyat karena adanya ancaman hukuman jika mereka tidak berpartisipasi.

5) Hasil pemilu di Indonesia diakui oleh dunia internasional dan semua lembaga internasional sehingga memiliki legitimasi politik yang kuat. Hasil pemilihan di Korea Utara tidak diakui oleh dunia internasional sebagai suatu proses demokrasi, melainkan rekayasa politik untuk memperkuat rejim kekuasaan Kim Jong-Un. (dtc)

BACA JUGA: