JAKARTA, GRESNEWS.COM- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai telah merendahkan martabat bangsa Indonesia, dengan membiarkan Paket Bali disepakati atas peran aktif Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO), di Bali. "Rezim SBY telah mewariskan kerusakan ekonomi nasional dengan mendorong secara massif sistem ekonomi liberal," kata Direktur Eksekutif Indonesia For Global Justice Riza Damanik, kepada Gresnews.com, Senin (9/12).

Riza mengatakan, kesepakatan tersebut telah meletakkan tujuan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan keberlanjutan lingkungan pada prioritas terendah. "Karena potensinya memperbesar praktek korupsi dan menjadi sandera politik pemerintahan baru pasca 2014," ujarnya menambahkan. Menurutnya, perjanjian perdagangan bebas, baik dalam kerangka WTO maupun Bilateral/Regional Free Trade Agreement sesungguhnya merupakan praktek mega korupsi dalam bentuk kebijakan yang sangat merugikan.

Semua perjanjian-perjanjian tersebut dibuat oleh sebuah pemerintahan yang dengan sadar melangkahi amanat Pancasila dan UUD 1945. Selama ini barang-barang impor menjadi salah satu pintu utama korupsi di Indonesia. Salah satunya kasus impor daging sapi yang melibatkan petinggi Partai keadilan Sejahtera. "Ke depan, amatlah terang benderang, Paket Bali akan memperlebar pintu bagi praktek korupsi dan perampokan sumber daya alam bernilai triliunan rupiah. Akan semakin sulit sistem hukum di Indonesia mengawasi dan membendung praktek pada rezim perdagangan dan investasi yang bebas ini," ujar Riza menegaskan.

Seperti diketahui, pada Sabtu 7 Desember kemarin, WTO mengumumkan disepakatinya Paket Bali oleh 160 negara anggota, setelah terjadinya skandal politik tukar-guling (trade-off) untuk menyelesaikan dua isu: Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation) dan Proposal Public Stockholding for Food Security dalam Perjanjian Pertanian.  Hasilnya, Perjanjian Trade Facilitation berhasil diadopsi dengan mengakomodasi semua keinginan negara industri untuk mendapatkan kemudahan akses impor dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonominya yang kini tengah terjerembab dalam krisis ekonomi berkepanjangan.

Menurut Riza Damanik, hal ini dapat terlihat dalam kesepatan Trade Facilitation yang menyepakati penghapusan hambatan dalam aturan kepabeanan sehingga mempercepat arus barang impor dan rendah biaya serta reformasi perpajakan. Hal ini ia nilai semata-mata agar komoditas impor sampai di tangan konsumen dengan lebih murah. "Tidak perlu mempermasalahkan apakah hal tersebut diproduksi di dalam negeri atau di impor. Tindakan ini bisa membuat industri dalam negeri sekarat, dan memperluas bangkrutnya sektor ekonomi rakyat di Indonesia," ujarnya.
 
Sementara keberhasilan meloloskan usulan public stockholding menjadi tanda keberhasilan negara insdustri merebut kedaulatan pangan negara berkembang. Mereka kini lebih leluasa meningkatkan produksi pertanian domestiknya dan meningkatkan pemberian subsidi kepada petani mereka. Sayang, lemahnya soliditas dan kepemimpinan negara Anggota G33 telah mendorong lahirnya kesepakatan Proposal Agriculture dengan solusi "Peace Clause". Yakni, selama empat tahun ke depan negara industri berjanji menahan diri tidak menggugat negara berkembang yang menambah pemberian subsidi kepada petaninya. "Ini kabar buruk bagi petani Indonesia. Sebab pemerintahnya dilarang melakukan perlindungan bagi petani kecil dari ancaman liberalisasi, apapun yang terjadi termasuk jika mengalami gagal panen karena dampak perubahan iklim," kata Riza lagi.
 
Negara industri, dengan perusahaan-perusahaan multinasional (Multi National Corporations--MNCs) di belakangnya memenangkan perundingan WTO, khususnya melalui Trade Facilitation. Paket Bali hanya merupakan janji kosong bagi kepentingan negara berkembang dan terbelakang. Sebab banyak ketidakjelasan aturan khususnya terkait komitmen negara industri, sebaliknya terlalu banyak komitmen yang mengikat bagi negara berkembang dan terbelakang.
 
Indonesia negara paling dirugikan dengan Paket Bali. Tidak saja karena telah mengeluarkan ongkos untuk mempersiapkan konferensi tersebut. Tapi, secara nyata hasilnya tak membantu kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang terbelenggu perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Saat ini, nilai impor pangan Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 12 miliar. Nilai itu setara dengan 12,3 persen cadangan devisa RI per Oktober 2013. Selain itu, dari sisi hukum, Indonesia juga kerap digugat negara-negara anggota WTO. Terhitung 7 kasus gugatan, dengan perkara aktif sebanyak 3 kasus. "Gugatan-gugatan yang membuat Indonesia tak beranjak dari kelas negara pengekspor bahan mentah pertambangan dan pasar raksasa bagi barang-barang negara Industri," ujar Riza.
 
Sementara itu, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim, perjanjian WTO merupakan ancaman serius bagi rakyat Indonesia khususnya para nelayan. "Dengan skema perdagangan bebas, eksploitasi sumber daya ikan dan pemiskinan terhadap nelayan dan petambak akan terus meningkat," kata Halim kepada Gresnews.com. Sebagai contoh, dalam lampiran 1 Kesepakatan tentang Pertanian WTO menyebut adanya 24 produk perikanan yang akan masuk dalam pengaturan mekanisme perdagangan bebas, di antaranya penghapusan bea masuk dan kemudahan ekspor-impor.

Padahal sebelum adanya pemberlakukan perdagangan bebas telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang mengakibatkan semakin sengsaranya nelayan. Pusat Data dan Informasi KIARA (2013) mendapati, meski neraca perdagangan komoditas perikanan Indonesia dari tahun 2008-2012 meningkat, namun kecenderungan meningkatnya nilai impor terus terjadi hingga sebesar 54 persen. Impor ikan yang meningkat tajam akhirnya merembes ke pasaran dan mengancam kesehatan masyarakat konsumen ikan dan menjadi sarana pemiskinan pelaku perikanan tradisional Indonesia.

Di samping itu, asing justru mendominasi realisasi nilai investasi sektor perikanan dari tahun 2009-2012 dengan kenaikan rata-rata sebesar 133 persen. "Dengan adanya pemberlakuan skema perdagangan bebas maka nelayan, petani maupun buruh di Indonesia akan semakin terpinggirkan," kata Halim. Karena itu, KIARA memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi keanggotaannya di WTO karena dinilai hanya merugikan rakyat. Selain itu, pemerintah juga dituntut menjamin terpenuhinya hak-hak dasar nelayan dan petambak demi kesejahteraan kehidupan keluarga mereka. Ketiga, mengikutsertakan nelayan dan petambak dalam perumusan dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka, baik di level lokal, nasional, regional dan internasional.

(GN-03)

BACA JUGA: