GRESNEWS - Organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) saat ini tengah bersiap untuk melakukan suksesi posisi direktur jenderal. Direktur jenderal saat ini yaitu Pascal Lamy dari Perancis akan selesai masa jabatannya pada 31 Agustus 2013 setelah menempati posisi sebagai direktur jenderal selama dua periode yaitu periode tahun 2005-2009 dan 2009-2013. Yang menarik dari suksesi kali ini adalah dinominasikannya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu sebagai calon direktur jenderal oleh pemerintah Indonesia. Bersama delapan calon lainnya, Mari Elka Pangestu akan memperebutkan posisi prestisius di organisasi perdagangan dunia tersebut.

Posisi direktur jenderal sendiri sebenarnya merupakan posisi supervisi bagi kegiatan administratif yang ada di WTO. Posisi direktur jenderal mempunyai kewenangan yang sangat kecil mengenai kebijakan WTO secara umum. Kewenangan utama posisi direktur jenderal adalah manajerial organisasi dan memberikan masukan-masukan. Akan tetapi mengingat WTO merupakan organisasi perdagangan yang saat ini menjadi sentral dari arus kebijakan dan negosiasi perdagangan dunia, hadirnya sosok wakil Indonesia sebagai calon pimpinan administratif di lembaga ini mempengaruhi catatan kiprah Indonesia di WTO.

""
Mari Elka Pangestu (Foto: kabar24.com)

Mari Elka Pangestu dalam minggu ini sedang aktif mengadakan kunjungan di beberapa negara di Eropa (Rusia, Perancis, Belgia), Asia (Uni Emirat Arab, Cina) dan Amerika Serikat. Tentunya kunjungan-kunjungan ini adalah langkah strategis sebagai calon direktur jenderal WTO. Secara garis besar dalam pernyataan resminya sebagai calon direktur jenderal, Mari Pangestu menekankan pentingnya perdagangan sebagai kunci bagi pertumbuhan ekonomi dan krusialnya peran WTO untuk menjaga kepercayaan terhadap sistem perdagangan multilateral yang terbuka, adil, teratur dan seimbang. Mendukung pernyataan resmi ini, dalam kunjungannya di Rusia, Mari Pangestu menyanjung suksesnya Rusia menjadi anggota baru WTO dan berhasil menyelenggarakan KTT APEC 2012. Tentunya kunjungan-kunjungan selanjutnya ke negara-negara lain akan dengan jelas menampilkan sosok Mari Pangestu dan kapasitasnya sebagai calon direktur jenderal WTO.

Pencalonan Mari Pangestu merupakan momen yang strategis mengingat Indonesia lambat laun semakin aktif dalam proses-proses pengambilan kebijakan dan forum-forum negosiasi multilateral di WTO. Keaktifan ini tidak bisa dihindari mengingat WTO kini menjadi wadah penyelesaian utama berbagai sengketa perdagangan antara negara-negara anggotanya. Dispute Settlement Understanding (DSU) WTO sebagai proses penyelesaian sengketa perdagangan negara-negara anggota WTO merupakan pilar paling penting dalam sistem perdagangan multilateral dan memerankan peran yang unik dalam menciptakan stabilitas perekonomian global.

Rokok Kretek
Pada tahun 2012, Indonesia masuk dalam proses DSU (Dispute Settlement Understanding) di WTO melalui badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body (DSB)). Kasus besar yang melibatkan Indonesia sebagai pihak dalam proses penyelesaian sengketa di WTO adalah kasus nomor WT/DS406/R. Dalam kasus sengketa dagang ini Panel WTO memutuskan kemenangan bagi pihak Indonesia dalam kasus rokok kretek berkaitan dengan sengketa dengan pihak Amerika Serikat. Amerika Serikat yang mengeluarkan kebijakan dalam negeri dalam Federal Food, Drug, Cosmetic Act  melarang produksi dan penjualan rokok yang mengandung aroma tertentu seperti kretek strawberi, anggur, jeruk, kopi, vanila, dan cokelat.

Pemerintah Indonesia mengajukan keberatan karena kebijakan ini tidak memasukkan rokok menthol, produksi Amerika Serikat, ke dalamnya. Setelah melalui proses panjang DSB, mulai dari konsultasi, panel WTO dan pada akhir keputusan banding oleh WTO Apellate Body (AB) tanggal 15 April 2012 yang memenangkan pihak Indonesia maka dengan jelas badan banding WTO (AB) mendukung keputusan panel WTO bahwa pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten dengan ketentuan WTO terutama tentang prinsip National Treatment sesuai dengan Pasal 2.1 tentang Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement (Prinsip National Treatment adalah keharusan untuk memperlakukan secara sama dan seimbang  produk dalam negeri dan produk luar negeri yang sejenis).  

Lebih jauh lagi, AB menemukan bahwa AS melanggar ketentuan Pasal 2.12 TBT Agreement dimana AS tidak memberikan waktu yang cukup (reasonable interval) antara sosialisasi kebijakan dan waktu penetapan kebijakan.

Dalam kasus tersebut, Indonesia mengajukan kasus rokok kretek ke WTO bukan hanya untuk meningkatkan ekspor produk rokok ke AS melainkan juga untuk mengamankan akses pasar rokok kretek Indonesia di AS serta mencegah aturan yang diterapkan Pemerintah AS ditiru oleh negara lain, termasuk negara-negara tujuan ekspor utama rokok kretek Indonesia.

Melalui keputusan dalan proses DSU di WTO tersebut nampak bahwa proses sengketa perdagangan yang melibatkan industri-industri besar dalam negeri yang memberikan sumbangan devisa dan berkontribusi bagi penciptaan lapangan kerja, memasuki masa-masa krusial ketika kegiatan industri tersebut dipertaruhkan nasibnya dalam sebuah proses penyelesaian sengketa di WTO. WTO hanya mengakui keterwakilan negara, sehingga pihak negara dalam hal ini pemerintah Indonesia harus mampu memainkan peran krusial dalam mewakili kepentingan ekonomi dalam negeri melalui komunikasi dan hubungan yang tepat antara industri, pemerintah dan praktik perdagangan multilateral.     

Pada awal tahun 2013 ini Indonesia juga mulai harus merasakan konsekuensi keikutsertaan aktif dalam WTO khususnya proses penyelesaian sengketa dagang. Menurut Wakil Menteri Pedagangan Bayu Krisnamurthi, beberapa negara melakukan protes terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia yang menyangkut beberapa pembatasan impor yaitu pembatasan impor terhadap 13 jenis holtikultura dan daging sapi yang mulai diterapkan pada Januari 2013. Amerika Serikat adalah pihak pertama yang melayangkan keberatan kepada WTO. Dan berkaitan dengan kasus ini pun proses DSU dilakukan, dimulai dengan proses konsultasi yang dilakukan dalam dua bulan ini. Sesuai dengan proses DSU maka konsultasi ini akan berpotensi berlanjut kepada proses pembentukan panel dan dimungkinkan sampai ke tingkat Appellate Body atau badan banding seperti pada kasus rokok kretek tahun 2012.

Tentunya intensitas sengketa perdagangan akan semakin tinggi di masa yang akan datang apalagi bila pemerintah mulai menciptakan kebijakan-kebijakan yang bersinggungan dengan prinsip-prinsip dasar WTO yang dituangkan dalam berbagai kesepakatan WTO. Mengingat peningkatan intensitas ini maka peran aktif Indonesia melalui wakil-wakilnya di tingkatan WTO menjadi sangat penting terutama mengenai lancarnya proses komunikasi dan pertukaran informasi dari WTO kepada pemerintah.  

Pihak Ketiga
Apabila Mari Pangestu mampu terpilih sebagai direktur jenderal WTO, tentunya arus pertukaran informasi dan komunikasi ini menjadi lebih baik. Hal ini akan berpengaruh terhadap peran aktif Indonesia dalam mekanisme-mekanisme penting yang ada di WTO. Sebagai salah satu contoh peran aktif dalam mekanisme penting WTO adalah sangat dimungkinkannya partisipasi aktif Indonesia sebagai pihak ketiga (Third Party) dalam proses-proses penyelesaian sengketa dagang yang ada di WTO. Pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa adalah sebagai peninjau dalam sengketa perdagangan bukan sebagai pihak yang bersengketa.

Indonesia sangat kurang melakukan peran ini padahal dalam banyak kasus sengketa perdagangan dunia, banyak negara-negara anggota WTO yang menjadi pihak ketiga yang mengikuti dan tercatat dalam setiap proses penyelesaian sengketa di DSB WTO. Keberadaan pihak ketiga ini berkembang menjadi sangat penting dalam proses penyelesaian sengketa, apalagi keberadaan anggota ini kadang berkaitan erat dengan berbagai keputusan sengketa termasuk langkah akhir yang disebut retaliation (aksi balasan). Dalam retaliation apabila keputusan akhir badan penyelesaian sengketa WTO (DSB) melalui keputusan banding (AB) tidak dijalankan oleh pihak-pihak dalam sengketa maka pihak yang dimenangkan berhak untuk melakukan retaliation yaitu dengan melakukan sanksi balasan terhadap produk negara pihak lawan. Objek retaliation ini tidak harus produk serupa akan tetapi produk apapun dari pihak lawan yang dianggap senilai dengan produk yang ada di kasus.

Dalam keadaan yang seperti ini bisa jadi negara anggota WTO lain akan terdampak dari proses ini sehingga keikutsertaan aktif sebagai pihak ketiga kadang memberikan dampak signifikan dalam proses negosiasi dalam proses penyelesaian sengketa di WTO. Mekanisme-mekanisme inilah yang krusial untuk diketahui dan diikuti secara aktif oleh pemerintah Indonesia. Apalagi apabila diperkuat dengan keberadaan direktur jenderal dari Indonesia maka informasi dan komunikasi mengenai mekanisme-mekanisme penting WTO ini menjadi mudah diakses dan peran aktif dan efektif Indonesia dalam WTO bisa lebih ditingkatkan. Peran aktif ini bukan saja hanya dalam proses konferensi yang bersifat koordinatif dan informatif akan tetapi juga dalam proses mekanisme hukum dan penyelesaian sengketa yang ada di WTO.     

Awan Puryadi
Analis Gresnews.com

BACA JUGA: