GRESNEWS.COM - Perempuan tidak lagi memiliki tempat yang aman di negeri ini. Celakanya, pemerintah dan DPR tak berupaya maksimal untuk mendorong perangkat hukum yang memberikan jaminan rasa aman bagi perempuan itu.

"Di tempat privat seperti rumah, perempuan terus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, anak-anak diperkosa dan Pekerja Rumah Tangga  dianinaya. Di tempat publik, perempuan juga terus menjadi korban pelecehan seksual. Di angkutan umum, perempuan diperkosa dan dilecehkan. Bahkan sekolah yang semestinya menjadi tempat aman bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan justru sebaliknya. Bahkan sang guru justru menjadi pelaku pemerkosaan," kata Koordinator Program Asosiasi LBH APIK Indonesia Budi Wahyuni dalam pernyataan tertulis memperingati Hari Perempuan Internasional yang diterima Gresnews.com di Jakarta, Jumat (8/3).

Mengutip data Komnas Perempuan, kata Budi, tercatat 4.293 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2012. Selain itu, saat ini terdapat setidaknya 282 kebijakan di semua tingkat pemerintahan di Indonesia yang mendiskriminasikan perempuan.

Data dari LBH APIK Jakarta menunjukkan pada 2009 KDRT menduduki peringkat tertinggi sebagai kasus yang diadvokasi, yakni sebanyak 657 dari 1.058 kasus. Pada 2010, kasus KDRT yang ditangani sebanyak 570 dari total kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang ditangani sebanyak 925 kasus.

Data lain dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang 2010 yakni 105.103 kasus, sebanyak 96% atau 101.128 adalah kasus KDRT yang dialami oleh perempuan/istri.

"Peringatan Hari Perempuan Internasional di Indonesia menjadi bagian dari perjuangan perempuan yang belum selesai untuk menuntut hak-haknya. Hak untuk terbebas dari kekerasan dan diskriminasi," ujarnya.

Budi menuntut pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap sejumlah undang-undang yang mendiskriminasikan perempuan seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan membuat UU Anti-Pelecehan Seksual.
 
"Terhadap kebijakan daerah yang mendiskriminasikan perempuan, Asosiasi LBH APIK Indonesia mendesak presiden untuk memerintahkan Menteri Dalam Negeri agar melakukan pembatalan atas kebijakan-kebijakan daerah tersebut," ujarnya.

Pemerintah Indonesia sejak 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW) dengan UU No 7 Tahun 1984. Ratifikasi tersebut merupakan sebuah komitmen melakukan pengahpusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konvensi tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa negara harus membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap perempuan dan mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan belakangan ini semakin mencuat. Kasus terakhir adalah mutilasi terhadap korban Darna Sri Astuti (32), yang diketahui tewas akibat pendarahan hebat pada alat vitalnya. Setidaknya dua kali alat vital Darna dirusak tersangka Benget Situmorang alias Impus (35), suaminya, hingga korban kekurangan darah dan tewas. Potongan tubuh Darna ditemukan di Tol Jakarta-Cikampek, Selasa lalu.

Januari lalu, R, pelajar kelas 5 SD, anak dari keluarga pemulung di Pulo Gebang, Jakarta Timur, yang mengalami kekerasan seksual meninggal dunia.

Terkait KDRT, praktisi hukum LBH APIK Jakarta, Asnifriyanti Damanik, mengatakan terdapat berbagai hambatan struktural yang dihadapi dalam penanganan kasus KDRT dan kekerasan terhadap perempuan (KTP). Implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT masih jauh dari yang diharapkan.

Khusus mengenai implementasi UU Penghapusan KDRT, praktisi hukum LBH APIK Banten Abdul Hamim Jauzi mengatakan berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring yang dilakukan berbagai lembaga studi maupun lembaga penyedia layanan advokasi, terlihat adanya kesenjangan antara undang-undang dan praktik di lapangan.

"Seperti tidak diterapkannya perintah perlindungan dari pengadilan serta pembatasan gerak kepada pelaku oleh kepolisian. Selain itu, interpretasi yang beragam terhadap definisi kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, serta penerapan yang tidak sama atas ketentuan pidana, khususnya bagi istri, yang seringkali langsung dikategorikan sebagai KDRT ringan, padahal sesungguhnya berat," ucap Abdul.

Karakteristik lainnya, Abdul menambahkan, kebanyakan korban menempuh jalur perdata (gugat cerai) ketimbang memproses kasusnya secara pidana.

Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) memperlihatkan pada 2010, kasus perceraian hampir mendominasi seluruh perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, yakni 88.65 % (284.379) dari total perkara sebanyak 320.788 kasus. Adapun perceraian lebih banyak diajukan oleh istri (gugat cerai) yakni 59.32% (190.280) dibandingkan dengan suami (cerai talak) 29.33% (94.099).

Faktor penyebab terjadinya perceraian yang paling banyak dikemukakan adalah meninggalkan kewajiban yakni 148.483 kasus. Masuk dalam kategori ini adalah kawin paksa (2.185), ekonomi (67.891), tidak ada tanggung jawab (78.407).

Alasan kedua terbanyak adalah terus menerus berselisih yakni 112.374 kasus, yang terdiri dari tidak ada keharmonisan (91.841), gangguan pihak ketiga (20.199) dan politis (334).

Alasan moral menduduki tempat ketiga yakni 19.059 kasus, terdiri dari cemburu (10.029), krisis akhlak (7.641) dan poligami tidak sehat (1.389).

Alasan-alasan lainnya meliputi menyakiti jasmani (2,191), menyakiti mental/rohani (560), cacat biologis (678), kawin di bawah umur (550), dihukum (418) dan lain-lain (871). (DED/GN-01)






BACA JUGA: