SUBSTANSI RUU Kesetaraan Gender yang kini tengah digodok di DPR dinilai sejumlah kalangan sudah dituangkan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang diratifikasi dalam UU Nomor 7/1984. Sesuai konstitusi UUD 1945, ada ketentuan yang mengaitkan tentang hak perempuan dalam Pasal 28 H Ayat (2) memberikan kemudahan kelompok-kelompok yang selama ini jauh dari akses.

"Ya sebenarnya kalau dibilang liberal tidak ada yang liberal dalam RUU itu," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, di Jakarta, Senin (28/5).

RUU itu liberal, bagaimana cara membacanya?

Pengalaman gender di tahun 2000 tidak jauh berbeda. Secara draf, RUU itu mencantumkan banyak hal, antara lain konstitusi, UU Nomor 7/1984, UU terkait politik yang memberikan porsi 30% bagi perempuan. "Bicara hak perempuan ini tidak ada yang liberal. Ini muaranya terkait dengan kesetaraan gender. Bagaimana implementasinya, representasi perempuan di dalam negara, politik, dan lain-lain," kata dia.

Masruchah menyatakan, UU tidak akan mengubah budaya. Perbedaan peranan perempuan dan laki-laki dan budayanya berubah dari waktu ke waktu. Jika dikaitkan dengan konsep Islam, Islam sangat adil bagi laki-laki dan perempuan. Urusan di rumah tangga, apa betul itu merupakan tanggung jawab sepenuhnya kaum perempuan?

"Justru Islam memberikan kewajiban yang sangat tinggi dalam hal rumah tangga kepada laki-laki. Menurut saya sekarang ini peranan laki-laki dan perempuan bisa berubah. Praktiknya sudah berjalan. Tidak akan ada mengubah budaya. Bahwa urusan kepemimpinan tidak mutlak didominasi kaum laki-laki," ujarnya.

Ini soal bagaimana mendialogkan di rumah mengenai hal-hal yang lebih urgen dalam hal rumah tangga. "Teman-teman yang menolak RUU ini sehari-harinya tidak melakukan hal-hal yang sesuai dengan perubahan budaya ini," imbuh Masruchah.

UU ini sudah masuk Prolegnas dan masuk dalam daftar UU di tahun ini, artinya masayarakat sudah sangat menghendaki adanya UU ini. "Kalau yang menolak justru patut dipertanyakan, apakah ada kepentingan politik tertentu. DPR itu representasi dari berbagai kelompok. Di DPR yang sekarang menolak, dulunya ikut mengusulkan. Jadi jangan sampai ada kepentingan politik tertentu dalam penyusunan UU Kesetaraan Gender," tegasnya.

Di sisi lain, anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Saifuddin Donodjoyo mengungkapkan, dalam Islam, pada dasarnya menempatkan harkat yang lebih baik bagi kaum perempuan. "Islam justru mengangkat hak perempuan itu. Jadi ditempatkan betul hak asasinya," kata Saifuddin.

Kemauan dari luar barat juga semestinya dimengerti. "Kita bisa melihat sejarah di mana para istri nabi sendiri juga berperan. Ada yang pernah jadi panglima," paparnya.

Jadi, jangan sampai kesetaraan gender justru melanggar kodrat kaum wanita. Padahal dalam segi sosiologis dan ideologis berbeda. "Jangan ditempatkan kesetaraan hak ada kewajiban dan hak yang bagaimana. Apakah kesetaraan makna itu sama rata atau bagaimana. Harusnya bisa dikompromikan," urainya.

Saifuddin mengimbau agar isu yang diangkat RUU tidak mengganggu kodrat. "Teman-teman ini di kesetaraan gender merasa dirinya tidak ditempatkan. Mestinya jangan demikian. Kemampuan kaum wanita Indonesia ini sangat hebat. Tinggal pendekatan dan kompromi saja agar betul diberlakukannya UU itu. Disesuaikan dengan budaya dan agama," pungkasnya.

BACA JUGA: