JAKARTA, GRESNEWS.COM – Menjelang berakhirnya periode anggota legislatif, DPR menginisiasi adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender. Salah satu wacana menarik dalam RUU tersebut adalah dimasukkannya materi kesetaraan dan keadilan gender dalam bahan ajar dan kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Terkait hal itu, Anggota Komisi VIII fraksi Golkar, TB Ace Hasan Syadzily mengatakan wacana keadilan dan kesetaraan seharusnya sudah masuk kurikulum pendidikan. Ia menilai yang perlu diubah dari masyarakat adalah soal konstruksi berpikir masyarakat dan harus dimulai dari pendidikan. Lanjutnya, kesetaraan gender ini masuk dalam konstruksi budaya. Menurutnya, selagi masyarakat masih memiliki pemahaman bahwa laki-laki adalah yang paling dominan, maka disitulah ketimpangan gender akan terjadi.

"Seperti menganggap perempuan adalah makhluk lemah dan dinomorduakan, itu kan masih terjadi di masyarakat kita. Persepsi itu biasanya dimiliki karena dia mendapatkan pembelajaran seperti itu," katanya pada Gresnews.com di Nusantara II DPR, Jakarta, Rabu (27/8).

Ia melanjutkan kurikulum pendidikan Indonesia memang harus dimasukkan soal kesetaraan gender. Ia mencontohkan misalnya anak laki-laki dan perempuan punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Menurutnya, masyarakat perkotaan relatif open minded, tapi kalau masyarakat pedesaan perempuan masih dianggap untuk tetap di dapur saja. "Pemahaman seperti ini harus didekonstruksi," jelasnya.

Selanjutnya, ia mengatakan kesetaraan gender bukan hanya soal budaya tapi juga di level kebijakan. Tambahnya, perempuan harus mendapatkan hak yang sama dalam hal pekerjaan sesuai kapasitasnya. Menurutnya, RUU KKG terkait soal pendidikan, ekonomi politik social, perempuan punya hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan. Walaupun ia menilai RUU ini baik, namun ia mengakui beberapa teman yang lain belum tentu punya persepsi yang sama dengannya.

Senada dengan Ace, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Danti Anwar mencontohkan dalam bahan ajar ada label ibu Budi pergi ke pasar, ibu Budi yang ke pasar masak, bapak ke kantor. Lanjutnya, ke depannya peran itu bisa terbuka, bagaimana ibu dan bapak punya kewajiban yang hampir sama. "Ibu juga bisa pergi ke kantor dan suaminya juga bisa dirumah. Kita melihatnya bahan ajar bisa menggambarkan seperti itu," katanya pada Gresnews.com di gedung DPR, Jakarta, Rabu (27/8).

Ia menambahkan ke depan bakal ada kerja sama dengan penulis bahan ajar untuk memasukkan wacana soal keadilan dan kesetaraan gender. Ia menilai pembentukan karakter dan nilai-nilai dibentuk sejak masih SD. Sedangkan menurutnya kalau di tingkat SMA, anak sudah besar.

"Yang paling utama adalah pelabelan kalau ibu harus di dapur, itu yang harus dihapuskan dalam buku ajar. Ibu bapak punya hak yang sama sebagai warga negara, saling menghargai di dalam keluarga," lanjutnya.

Ia menjelaskan kalau bicara arus utama soal gender memang dasarnya hanya instruksi presiden. Menurutnya, hal itu seakan-akan menjadi tanggungjawab pemerintah saja. Tambahnya, padahal untuk mengubah pola pikir perlu dukungan masyarakat, legislatif, eksekutif, juga penegak hukum, dan dunia usaha. "Ini kan menjadi payung sebagai dasar pemerintah untuk memasukkan masalah keadilan dan kesetaraan di dalam tugas masing-masing," katanya.

BACA JUGA: