PEMERINTAH RI membantah ada udang di balik batu dalam pemberian 12 unit radar sistem pengamanan laut dari Amerika Serikat (AS). Sistem pengamanan laut yang ditempatkan di Selat Malaka itu merupakan pemberian secara cuma-cuma, tanpa adanya tujuan memata-matai kekuatan NKRI. 

"Radar itu untuk melihat pergerakan kapal di Selat Malaka, tanpa ada maksud apa-apa," ujar Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan, Brigjen Hartind Asrin, di Jakarta, Rabu (9/5).

Kekhawatiran akan adanya maksud tertentu di balik pemberian itu dilontarkan oleh anggota Komisi I DPR RI, Tjahjo Kumolo. Dia menduga pemberian itu bertujuan memata-matai kekuatan NKRI. "Saya menduga bantuan tersebut pasti ada tujuan politiknya dalam rangka mengontrol wilayah NKRI," kata Tjahjo. 

Tjahjo mengungkapkan, informasi yang dia terima dari pelbagai sumber, katanya pemasangan 12 radar bantuan tersebut sebagai bagian dari kerja sama membangun fasilitas alat indra AS di wilayah Selat Malaka, khususnya untuk mengontrol wilayah kawasan laut tersebut. "Gelagat itu perlu dicermati dengan seksama dan perlu adanya pembuktian yang hati-hati dan valid."

Sekjen PDI Perjuangan itu menilai peralatan radar itu sangat mudah disalahgunakan untuk kepentingan intelijen oleh negara donor. "Apapun kita harus berhati-hati demi menjaga kedaulatan politik Indonesia," tegasnya.

Hartind mengatakan, ke-12 radar yang diberikan AS kepada pemerintah Indonesia tidak akan mengganggu kedaulatan NKRI. Karena, bantuan yang diberikan AS hanya peralatan radarnya saja, bukan berikut operatornya.

"Kalau peralatan saja tidak apa, tapi jangan sampai dengan operatornya atau orang AS yang langsung mengawasi. Itu tidak boleh, karena bisa di-copy atau direkam. Yang penting kita tahu kemampuan peralatannya. Karena itu untuk meng-cover daerah pantai dan dataran saja, juga tidak terkoneksi ke satelit," ujarnya.

Laut China Selatan
Kekhawatiran akan adanya upaya memata-matai kekuatan pertahanan NKRI itu juga ditepis oleh pengamat militer, Rizal Darmaputra, yang diwawancarai secara terpisah. Pemberian radar itu bukan membidik kekuatan militer Indonesia melainkan untuk memata-matai kekuatan angkatan laut milik China.

"Dugaan itu terlihat dari posisi ke-12 radar itu yang mayoritas diletakkan di wilayah laut di sebelah utara Kalimantan serta di sekitar Sulawesi. Berdasarkan posisinya, radar itu sangat mungkin untuk  memantau pergerakan serta lalu lintas kapal di wilayah Laut China Selatan," kata Rizal kepada gresnews.com.

Seperti diketahui, sejumlah pulau tak berpenghuni di kawasan Laut China Selatan hingga kini masih terus dipersengketakan oleh beberapa negara seperti China serta sejumlah negara anggota ASEAN seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Selain karena posisi yang strategis, pulau-pulau itu saling diklaim oleh negara-negara tersebut karena diyakini kaya akan sumber daya alam.

Brigjen Hartind menambahkan, 12 radar hibah dari AS itu hanya mampu memantau kapal-kapal di permukaan laut saja, tanpa bisa mendeteksi pergerakan kapal selam di bawah permukaan laut. "Kalau kapal selam itu harus ada antikapal selam, misalnya dengan helikopter antikapal selam atau dengan kapal selam. Yang paling efektif adalah menggunakan kapal selam," jelas dia.

Ketika ditanyakan lebih jauh, berapa kisaran harga satu unit radar tersebut, Hartind mengatakan tidak mengetahui secara detail karena sifatnya adalah bantuan. "Saya tidak tahu harganya, karena itu kan bentuknya bantuan."

Netralitas abu-abu
Menurut Rizal, Indonesia cenderung sudah sangat terbuka sehingga AS tak berkepentingan lagi untuk memata-matai kekuatan militer Indonesia. Selain itu, kekuatan militer RI belum dipandang sebagai sebuah ancaman bagi hegemoni AS beserta sekutunya. "Secara geopolitik, AS cenderung merangkul Indonesia sebagai bagian dari sekutunya di kawasan Asia Pasifik. Hal itu mengingat luas wilayah Indonesia serta posisinya di kawasan Asia Tenggara serta di Asia Pasifik," imbuhnya.

"Kalau saya melihat faktor motivasi pemberian 12 radar oleh AS itu adalah untuk merangkul Indonesia. Namun, yang patut disayangkan, secara sadar atau tidak sadar indonesia sudah berada dalam posisi tidak netral," tegasnya.

Padahal, dalam beberapa kali kesempatan di forum internasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang memilih jalan berdamai. "Presiden SBY kan sering menyatakan bahwa Indonesia itu zero enemy. Tapi, dengan diterimanya radar itu, akan mempersulit posisi kita," kata Rizal.

BACA JUGA: