JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertahanan dan pengamanan di wilayah perbatasan Indonesia diakui masih lemah.  Hal itu karena terbatas dan minimnya dukungan alat utama sistem pertahanan  keamanan (alutsista) yang masih jauh di bawah  ketentuan Minimum Essential Force (MEF). Dampaknya Indonesia rentan ancaman kejahatan transnasional illegal fishing, people smuggling, illicit drugs, arms smuggling, human trafficking dan sebagainya.

Padahal isu pertahanan dan keamanan menjadi faktor sentral dan penting karena berkaitan erat dengan tantangan menghadapi kompleksitas ancaman. Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Andi Rachmianto mengakui Indonesia masih rentan dengan ancaman di wilayah perbatasan. Sehingga modernisasi dan pemenuhan kapasitas persenjataan nasional bagi  tri matra pertahanan yakni Angkatan Darat, Laut dan Udara menjadi sangat penting.

"Sebagai negara kepulauan dan maritim standar alutsista merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi," kata Andi kepada gresnews.com, melalui  whatshapp dari Hongkong, Kamis (1/10).

Menurutnya, mengamati posisi geopolitik wilayah Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, sudah sepatutnya ada peningkatan berbagai elemen pengawas dan jaring pengaman batas guna mencegah berbagai ancaman dari luar.

Ia mengatakan dalam memenuhi kebutuhan militer, ada beberapa langkah yang perlu dipersiapkan. Diantaranya perlu diperkuat diplomasi pertahanan (defense diplomacy) yang berorientasi pada efisiensi pemberdayaan kekuatan tri matra pertahanan Indonesia.

REALISASI MEF - Disamping itu, perlu segera direalisasikan syarat kekuatan pokok minimum sesuai ketentuan Minimum Essential Force (MEF). Sebab selama ini Indonesia belum memenuhi syarat tersebut.  Ketentuan ini mengacu pada postur dan kapasitas alutsista tiga komponen utama pertahanan militer (AD,AL,AU) dan gelar penyebaran serta penempatan armada.

Sebab capaian MEF tahap pertama dalam Rencana Strategis I (2009-2014) saat ini masih belum sesuai harapan. Dalam periode belakangan ini, pada tahun 2013 Indonesia baru mencapai  28,7 persen. Sementara pada 2014 atau akhir penyelenggaraan MEF tahap I, Indonesia masih mengejar target 40-42 persen. Artinya, belum melewati setengah ketentuan MEF yaitu 50 persen.

Andi menjelaskan, MEF merupakan target minimum yang harus dipenuhi dalam rangka memelihara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Minimnya, kesiapan armada militer dapat ditinjau juga dari kapasitas armada yang ditempatkan di wilayah perbatasan.

Andi menuturkan, kapasitas skuadron udara misalnya masih membutuhkan tambahan dari segi kuantitas. Ia menyebut, jumlah pesawat tempur Indonesia baru 50 hingga 60 unit. Sehingga masih perlu ditambah kapasitasnya. Apalagi, dari jumlah yang ada, itu pun terdiri dari berbagai jenis dan spesifikasi yaitu model lama dan baru.

Menurutnya, penambahan perlu dilakukan, agar skuadron tempur nasional mampu mengawasi bentangan geografis teritori Indonesia. Sebab, jika tidak diwujudkan maka berdampak pada longgarnya garis batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan ancaman eksternal lainnya.

MENIMBANG KEBUTUHAN MILITER - Menurut Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Nikolaus Loy dalam mengejar pemenuhan standar minimum tersebut, pemerintah perlu mengerti konsep memenuhi kebutuhan militer secara proporsional.

Ia mengatakan, terdapat dua pertanyaan penting seputar proses menuju pemenuhan itu. Pertama, harus menentukan standar akurasi minimum yang  harus dibangun atau dengan kata lain apa ukuran yang dipakai dalam postur MEF tersebut. Kemudian, bagaimana diterjemahkan dalam jumlah pasukan dan kekuatan alutsista ke tri matra militer.

"Apakah jumlah kebutuhan sama atau bagaimana? kemudian rumusan soal MEF, jumlah dan kekuatan pasti harus dihitung dengan memperkirakan jenis dan intensitas ancaman," kata Niko kepada gresnews.com, Kamis (1/10).

Menurutnya, klasifikasi kebutuhan tiap institusi sebaiknya ditentukan karena modernisasi militer dipandang selalu untuk merespon ancaman yang dipersepsikan baik berasal dari dalam maupun dari luar.

Mengenai ancaman, Niko memandang ada dua aspek yang harus diperhitungkan yakni terkait jenis dan intensitas. Dimana, jenis menyangkut ancaman militer atau nir-militer, intensitas soal persepsi apakah itu imminent (terasa nyata, kuat dan sudah dekat) atau potensial (sesuatu yang diperkirakan terjadi di masa datang).

Jika tipe ancaman non-militer jauh lebih besar, maka ia menilai pembelian alusista harus disesuaikan dengan kerentanannya. "Contoh saja dalam matra laut, ancaman imminent adalah illegal fishing, penyelundupan, perompakan dan pelanggaran maritim, tipe kapal dan persenjataan yang dibeli harus disesuaikan dengan kebutuhan ini," tuturnya.

Tidak hanya itu, faktor lain yang juga menjadi perhatian adalah soal manajemen deployment yaitu bagaimana alusista ketiga angkatan bisa digerakkan dengan cepat dan efektif ketika dibutuhkan.

Namun pemeliharaan dan logistik juga dinilai masih menjadi satu mata rantai lemah dalam sistem persenjataan nasional. Bagimanapun, negara perlu memfasilitasi anggaran biaya pemeliharaan dan operasional.  Sebab, soal keamanan dan kedaulatan dinilai sebagai kebutuhan dasar (public goods) dan harga diri.

"Tidak bisa dihitung untung rugi seperti jasa pengamanan swasta. Kalau satu pesawat cegat pesawat asing biayanya lebih tinggi ya harus tetap dilakukan," jelasnya.

BACA JUGA: