Jakarta - Sistem proporsional terbuka yang dianut rezim UU Pemilu yang baru disahkan Kamis (12/4) dinilai memiliki banyak kelemahan serta berpotensi menumbuhsuburkan praktik korupsi.

"Sistem ini dapat membuat kader-kader yang berkualitas dan loyal akan terpental karena kalah oleh kader yang memiliki dukungan finansial lebih kuat. Pengalaman dan kekuatan modal sangat mempengaruhi pemilih baik dalam mobilisasi massa, pengadaan atribut kampanye, iklan di media dan untuk manuver-manuver lainnya," tegas Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Girindra Sandino, di Jakarta, Jumat (13/4).

Dikatakan Girindra, hal ini menyebabkan sistem terbuka rentan korupsi karena para caleg akan menghalalkan segala cara untuk mendapat dukungan dana kampanye dan melakukan manuver-manuver politik demi menyukseskan pencalonannya.

"Tidak berbeda jauh dengan Pemilu 2009 lalu dimana caleg-caleg berjuang sendiri-sendiri untuk meraih sebanyak-banyaknya suara di dapilnya. Dengan kata lain akan terjadi degradasi ideologis partai politik," ujarnya.

Oleh karena itu dia berharap segenap elemen sipil yang bergerak sebagai pemantau pemilu tidak hanya memfokuskan pada penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan lainnya, akan tetapi juga pada para caleg parpol khususnya caleg dadakan untuk menutupi kelemahan ini.

"Sistem ini juga tidak akan membangun sistem presidensialisme yang membutuhkan disiplin fraksi dan penguatan atau pembangunan sistem kepartaian," kata Girindra.

BACA JUGA: