JAKARTA, GRESNEWS.COM - Digelarnya Pemilu 2019 secara serentak antara pemilu legislatif dengan pemilihan presiden ternyata tak membuat perdebatan terkait ambang batas suara partai untuk mengusung calon presiden atau presidential threshold (PT) mereda. Justru perdebatan soal ini di parlemen terkait pembahasan UU Pemilu semakin memanas. Pembahasan soal besaran angka PT antar fraksi di DPR masih buntu.

Fraksi-fraksi besar seperti Golkar dan PDIP disokong Nasdem dan PKS ngotot mengusulkan angka PT 20 persen. Sementara, fraksi menengah seperti PKB, PAN, Demokrat mengusulkan angka PT 0-5%. Saking alotnya perdebatan soal angka PT ini, sampai-sampai ada usulan untuk melakukan voting. Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengusulkan agar pengambilan keputusan tidak perlu melalui voting di pansus atau pun paripurna.

"Kalau menurut saya ini sebaiknya jangan divoting, perlu ada konsolidasi dulu karena ini menyangkut masalah tokoh atau presiden, penting, orang nomor 1 Indonesia, sehingga barangkali, semakin banyak pertimbangan menuju kesempurnaan tidak ada salahnya," ujar Taufik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (19/5).

Apabila di parlemen tidak mencapai kesepakatan, dia pun meminta agar kompromi dibawa hingga tingkat tinggi partai. Taufik menyarankan adanya konsolidasi antar-ketua umum partai politik. "Indonesia kan titik komprominya titik kompromi politik, seyogyanya saya mengusulkan jangan sampai divoting, tapi komunikasi antar ketum-ketum parpol. Jangan seperti pilihan lurah atau kades, bukan merendahkan, ini pimpinan nasional kita," tutur Taufik.

Tujuan konsolidasi itu dinilai Taufik sebagai langkah dalam mencari titik tengah agar ada kesepakatan mengenai PT. "Tinggal cari titik resultannya bagaimana proses politik itu, kita tidak bisa mengatakan yang 0% paling baik atau yang 20% itu paling baik, nggak bisa. Ini perlu kompromi, kompromi itu tujuannya adalah, bisanya kalau kompromi itu ada di titik tengah," sebut Taufik.

Sementara itu, PKB mencoba menawarkan jalan tengah terkait usulan angka PT. PKB menawarkan angka PT selaras dengan ambang batas parlemen nanti. "PKB itu kan menawarkan jalan tengah, sama dengan parlemen. Kalau parlemen sepakat 5 persen, ya PT 5 persen. Daripada masing-masing ngotot di 20 persen," ujar anggota Fraksi PKB yang juga Ketua Pansus Pemilu, Lukman Edy, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/5).

Menurut Lukman, partai yang ngotot angka PT 20 persen ingin persaingan di pilpres landai. Sedangkan yang menginginkan nol persen ingin mengajukan capres sendiri. "Niatnya kan sama nih, 20 (persen) biar nggak ada saingan, sehingga nggak muncul capres lain. Yang nol persen maunya, Ya sudahlah, buka peluang semuanya jadi capres," sebutnya.

Soal PT 20%, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, dengan PT 20 persen, presiden terpilih nantinya tidak kesulitan mencari dukungan politik di parlemen. "Supaya capres punya basis politik yang kuat. Tapi kalau 0 persen dan terpilih tapi di DPR tidak lolos threshold, itu kan akan ada kerumitan luar biasa. Pak Jokowi yang menang begitu tinggi saja masih mencari dukungan di DPR, Pak SBY juga. Kalau nggak punya dukungan di DPR, di MPR juga. Itu yang akan memberatkan," ujar Hidayat.

Hidayat mengatakan parpol yang memiliki kursi di parlemen di atas 20 persen tetap menjalin koalisi dengan parpol lain. Parpol baru juga diharapkan bisa berkoalisi dengan parpol yang sudah lama dan menjadi peserta Pemilu 2019. "Kita tidak bisa gambling terhadap capres yang belum teruji, sehingga bagaimana dengan presiden di Indonesia? Toh, parpol baru bisa bergabung parpol yang lama," kata Hidayat.

Hidayat menegaskan, angka presidential threshold 20 persen, tidak akan mereduksi peran parpol baru. Ia berharap presiden terpilih memiliki basis politik yang kuat. "Angka 20 persen bukan angka amputasi peran parpol baru atau yang dulu tidak mencapai electoral threshold, tetapi capres dan cawapres memiliki basis dukungan yang kuat agar presiden bisa memiliki peran politik yang kuat," tuturnya.

MENYESATKAN - Masalah PT memang terus menjadi perdebatan baik di kalangan anggota dewan hingga para pengamat politik dan pemerhati Pemilu. Terkait masalah ini, Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Girindra Sandino mengatakan persoalan PT memang merupakan sesuatu yang "menyesatkan" dalam perpolitikan di Indonesia. Pertama, terkait pengertian PT itu sendiri.

Girindra mengatakan, dari sisi istilah, umumnya yang dimaksudkan dengan "presidential threshold" itu adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden. "Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat. Di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10 persen dari saingan terkuat dan sebagainya," kata Girindra, kepada gresnews.com, Minggu (21/5).

Sementara untuk Indonesia menurut Pasal 6A Ayat (3) dan (4) UUD 1945. Pada Ayat (3) ditegaskan: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".

Sementara pada Ayat (4) ditegaskan: "Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden".

Dalam konteks ini, kata Girindra, presidential threshold yang diberlakukan di Indonesia itu istilah yang menyesatkan seperti "electoral threshold". Kemudian, "penyesatan" berikut, adalah terkait aturan Pasal 6A Ayat (2). Dalam pasal tersebut ditegaskan: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum".

"Pasal UUD itu sama sekali tidak menyebut persyaratan persenan capres dan cawapres," ujar Girindra.

Kemudian yang ketiga, adalah sistem pemerintahan yang dianut Indonesia yang merupakan sistem presidensial, namun kental dengan nuansa parlementer dimana parpo mengambil peran dominan termasuk dalam mengusulkan capres. "Presidensialisme sejatinya seharusnya memberikan peluang bagi calon independen, apalagi pemilu kedepan serentak. Sayangnya, MK malah membatalkan capres independen," terang Girindra.

Ini, kata Girindra sangat membingungkan, karena di satu sisi, secara historis lahirnya sistem presidensialisme berangkat dari pandnagan antiparpol. "Sedangkan parlementarisme pro parpol. Pengabungan keduanya memang merupakan tantangan," ujarnya.

Berikutnya, kata Girindra Dalam Pasal 5, 20 ,dan 22, UUD 1945 mengisyaratkan demokrasi pilihan adalah demokrasi konsesual/konkordans dan karenanya presidensialisme kita adalah parlementarisasi presidensialisme, dengan kata lain bukan presidensialisme murni. "Artinya, presiden dipaksa harmonis dengan legislatif dan perlu dukungan mayoritas legislatif dan dalam hal ini DPR," katanya.

Karena itu, kata dia, seharusnya dengan keputusan Pemilu 2019 secara serentak, perdebatan soal PT tidak penting lagi. "Karena Pemilu 2019 nanti diselenggarakan dengan serentak, secara akal sehat sudah tidak relevan lagi, bahkan dapat dibilang bersifat haram," tegas Girindra.

Dan menurut pengalaman, kata dia, pilpres serentak bersama pemilu legislatif, penyusutan atau penihilan PT dapat menyederhanakan sistem kepartaian berdasarkan ENPP (Effective Number of Parliamentary Parties) tanpa harus mentradisikan adanya PT. "Sebagai contoh, di negara Amerika Latin seperti Bolivia dimaksudkan guna memudahkan pembentukan koalisi," ujarnya.

Oleh karena itu, KIPP Indonesia, kata Girindra, dengan sadar mendesak dengan sangat, anggota DPR untuk menyudahi perdebatan tentang PT, mengingat waktu yang mepet untuk KPU mempersiapkan, merumuskan, membuat regulasi-regulasi tahapan-tahapan penyelenggraan pemilu serentak 2019. "Jika berlarut-larut karena ego atau kepentingan politik jangka pendek parpol-parpol, keadaan politik akan genting," pungkasnya.

SALAHKAN MK - Menyangkut masih didebatkannya angka PT, Lukman Edy mengatakan, awal mula perdebatan alot soal PT ini berasal dari ketidaktegasan MK terkait keputusan mereka. Keputusan MK yang dipersoalkan ialah putusan No 14/PUU-XI/2013 yang menjelaskan keserentakan Pemilu Legislatif dan Eksekutif pada tahun 2019 berimplikasi pada ditiadakannya PT.

"Masalahnya, MK nggak mau tegas. Kalau MK tegas, kita nggak terombang-ambing. Ketegasan yang diminta di MK apa, kasih jawaban dong ke kami bahwa keputusan MK berimplikasi langsung pada tanpa threshold untuk presiden, mau nggak MK, nggak mau. Atau tegaskan saja ke kami, keputusan MK tak berimplikasi langsung ke PT, nggak mau juga," keluh Lukman.

Menurutnya, MK lepas tangan soal PT ini. Dia beranggapan keputusan MK rawan digugat dan MK memang ingin keputusan itu digugat. "Karena ini akan jadi objek gugatan, maka MK nggak akan menjawab. MK akan menjawabnya ketika nanti digugat," terangnya.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan Pemilu 2019 tidak lagi membutuhkan adanya ambang batas DPR dan presiden. Menurutnya, keberadaan ambang batas DPR dan presiden tersebut sudah tidak relevan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 yang menyatakan Pemilu Serentak digelar mulai 2019.

Selanjutnya, dia mengemukakan, dalam Pasal 22E UUD 1945, Pemilu hanya diselenggarakan sekali tiap lima tahun dan di dalamnya telah termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Yusril juga menyebut, dalam UUD 1945, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pemilu itu dimulai.

"Rumusan Pasal 22E UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta memilih presiden dan wakil presiden. Khusus tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, UUD 45 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: