JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menilai, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, menguntungkan partai-partai besar. Sekjen KIPP Indonesia Kaka Suminta mengatakan, ketentuan ambang batas perolehan suara minimal partai politik (parpol) peserta Pemilu yang bisa memiliki kursi di parlemen (parliamentary trshold) sebesar 4% dari total suara sah secara nasional, "membunuh" peluang partai-partai kecil.

"Berdasarkan aturan dalam Pasal 414 itu, parpol yang tidak memperoleh minimal 4% suara dalam Pemilu 2019 tidak berhak memiliki kursi di Parlemen. Hal ini tentu akan semakin mengurangi peluang Parpol kecil untuk duduk di parlemen," kata kepada gresnews.com, Sabtu (23/9).

Di sisi lain, kata dia, juga terjadi perubahan dalam penghitungan perolehan kursi bagi parpol yang memenuhi ambang batas 4% tadi, yakni penggunaan penghitungan Sante Lague (SL), sesuai aturan Pasal 415. Dengan demikian penghitungan perolehan kursi tidak lagi menggunakan penghitungan dengan bilangan pembagi (BPP) sebagaimana dalam Pemilu 2014 lalu.

"Apa konsekwensi dari kedua ketentuan tersebut? Secara umum, hal ini akan mengurangi peluang parpol kecil untuk lolos ambang batas parlemen (PT). Bahkan kemungkinan parpol yang lolos ke parlemen bisa turun menjadi 8 sampai 9 partai, dibanding Parpol yang memenuhi PT dalam pemilu 2014 sebanyak 10 parpol," terangnya.

Demikian juga dengan Penghitungan SL, dalam simulasi ternyata lebih menguntungkan parpol besar. PDIP dan Golkar dalam sebuah simulasi dengan sistem SL naik secara signifikan perolehan kursinya. "Dengan demikian UU No 7 tahun 2017 lebih menguntungkan parpol besar," tegasnya.

Seain argumen di atas, ada beberapa analisa lain yang memperkuat pendapat itu. Pertama, kata Kaka, kader parpol yang tidak lolos karena parpolnya tak memenuhi PT pada tahun 2014 potensial akan berusaha loncat ke partai besar, yang diperkirakan akan tetap memiliki suara di atas ambang batas.

Kedua, parpol besar memiliki peluang untuk menyeleksi kader yang loncat partai tadi sehingga mendapatkan kader-kader yang dalam Pemilu 2014 memperoleh suara banyak di dapilnya, tetapi tak bisa duduk di kursi parlemen karena parpolnya tak memenuhi mabang batas tadi.

"Ketiga, dengan penghitungan perolehan kursi oleh parpol, metode Sainte Lague tadi, dari simulasi yang kami lakukan, dapat disimpulkan akan memberikan insentif kepada parpol besar, dengan tambahan kursi di parlemen, dibandingkan dengan penggunaan metode BPP seperti dalam Pemilu 2014, maka hal ini juga akan membuat kandidat anggota DPR maupun DPRD cenderung memilih partai besar," papar Kaka.

Keempat, dua ketentuan tentang ambang batas (PT) dan metode SL untuk penghitungan perolehan kursi di parlemen, yang menguntungkan parpol besar dan potensial memperkecil jumlah parpol di Parlemen. "Dalam simulasi kami diperkirakan hanya 7 sampai 9 parpol yang memperoleh suara di Parlemen," ujar kaka.

Dari analisa tersebut, menurutnya, bisa disimpulkan, pembuat undang-undang telah dengan sengaja memilih untuk memperkecil potensi jumlah parpol di parlemen dalam Pemilu 2019 nanti. "Dengan kata lain akan menggiring parpol-parpol menjadi lebih mengerucut pada parpol yang moderat, dan potensial menghilangkan parpol dengan ideologi alternatif, baik yang berafilisasi pada sosialisme maupu kekhasan ideologi tertentu lainnya," pungkas Kaka. (mag)

BACA JUGA: