JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menilai, pengesahan UU Pemilu yang memuat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold--PT) 20% adalah bentuk arogansi pemerintah. "Lebih arogan lagi karena Presiden Joko Widodo malah mengatakan pihak yang merasa tidak puas dengan Undang-undang Pemilu yang disahkan dipersilakan melakukan langkah hukum," kata Plt Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia Kaka Suminta, kepada gresnews.com, Selasa (25/7).

Dalam hal ini, kata dia, DPR juga bertindak arogan. Pasalnya, pembahasan RUU Pemilu antara DPR dan Pemerintah merupakan pembahasan yang bertele-tele dan tak mengindahkan kepentingan yang lebih besar selain kepentingan politik pembuat undang-undang. "Sehingga baik isi maupun agendanya menjadi tidak memenuhi kepentingan pemilu dan demokrasi di Indonesia," tegas Kaka.

Dia menilai, pengesahan UU Pemilu juga menjadi sia-sia. Alasannya, dari sisi waktu pengesahan UU tersebut telah kadaluarsa. Akibatya, beberapa agenda penting, seperti rekrutmen penyelenggara pemilu dan verifikasi parpol peserta pemilu tidak dilaksanakan melalui UU Pemilu yang baru. "Proses itu dilaksanakan dengan menggunakan UU lama, yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi politik saat ini," ujar Kaka.

Kemudian, dari sisi konten UU, banyak pasal yang krusial dan penting tetapi tidak dibahas dengan seksama, seperti soal peran serta masyarakat dalam pemilu, soal politik uang, soal sosial media yang sebenarnya sudah dirasakan menjadi permasalahan serius dalam pemilu. "Hal-hal penting tak dibahas dengan baik, dan tak memberikan alternatif perbaikan dalam pemilu dan demokrasi di Indonesia," tegas Kaka.

Dia mengatakan, apa yang disebut isu krusial oleh para pembuat undang-undang seperti soal daerah pemilihan, penambahan kursi DPR dan Presiden Threshold tak lain merupakan tarik-menarik kepentingan politik parpol dalam pelaksanaan pemilu, yang tak terkait langsung dengan kepentingan umum. "Namun pembahasan hal-hal itu memakan waktu dan energi yang sangat besar, dan memboroskan sumberdaya," terang Kaka.

Kaka menilai, disahkannya Presiden Threshold merupakan pasal yang paling bermasalah. "Karena jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MK nomor 14 tahun 2013, sehingga bukan hanya inkonstitusional tetapi juga sebenarnya tak layak dibahas oleh DPR dan Pemerintah sejak awal," ujarnya.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka KIPP Indonesia menilai, pembahasan RUU Pemilu merupakan pemborosan waktu dan sumberdaya, dengan hasil yang sangat mengecewakan. "Kita, perlu mengevaluasi batasan kewenangan pembuat undang-undang," kata Kaka.

KIPP, kata Kaka, menilai UU Pemilu yang terbentuk merupakan UU yang kadaluarsa, karena tak bisa digunakan untuk pelaksanakan tahapan-tahapan pemilu yang sudah dan sedang berlangsung. "Pemerintah dan DPR perlu diminta pertangguangjawabannya terkait potensi buruk pelaksanaan dan kesinambungan demokrasi melalui apa yang mereka lakukan sebagai pembuat undang-undang," ujar Kaka.

Pembentukan UU pemilu dan pernyataan pemerintah merupakan arogansi kekuasaan dan potensial mengganggu masa depan demokrasi di Indonesia. Karena itu, kata Kaka, KIPP Indonesia, meminta kepada semua pihak yang peduli dengan demokrasi dan masa depan Indonesia untuk memikirkan agenda dan langkah untuk menyelematkan demokrasi Indonesia.

"UU Pemilu, kami nilai kadaluarsa dan berisi pasal-pasal yang tak sejalan dengan konstitusi, serta kesan arogansi pembuat undang-undang, yang potensial mengganggu pemilu dan kesinambungan dan poertumbuhan demokrasi di Indonesia," pungkasnya.  (mag)

BACA JUGA: