JAKARTA,GRESNEWS.COM - Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) kembali meminta perpanjangan waktu untuk merampungkan pembahasan RUU tersebut. Perpanjangan waktu itu karena alasan masih ada sejumlah isu krusial yang belum selesai diputuskan.

Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy mengaku telah meminta waktu kepada pimpinan DPR guna memperpanjang masa pembahasan RUU. Pihaknya akan menggunakan masa reses untuk rapat tim perumus. Ia menargetkan rapat Paripurna pengesahan RUU Penyelenggaraan Pemilu akan dilakukan pada 18 Mei 2017 mendatang.
 Waktu ini molor sekitar dua minggu dari waktu yang dijanjikan kelar akhir April ini.

"Tadi pimpinan mengizinkan menggunakan masa reses untuk digunakan rapat tim perumus. Nanti pas tanggal 18 paripurna bisa langsung pengambilan keputusan," ujar Lukman di Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/4).

Lukman mengungkapkan masih ada sejumlah isu krusial yang harus diputuskan Panja RUU Pemilu. Untuk mempercepat pengambilan putusan itu pengambilan keputusan akan menggunakan metode voting.

"Kita rencanakan 29 April pengambilan keputusan terhadap isu krusial," ujarnya.

Beberapa isu krusial yang masih menjadi ganjalan dan dilakukan voting terkait persoalan sistem pemilu, ambang batas parlemen, dan ambang batas presidensial.

Menurutnya  soal sistem pemilu ada usulan pemerintah apakah akan terbuka atau tertutup. Sementara soal parliamentary threshold telah mengerucut pada pilihan antara 3,5 atau 5 persen. Sedang untuk presidential threshold juga telah mengerucut pada pilihan antara tetap 20 atau nol persen.

Sementara untuk ambang batas kursi caleg per dapil, sejauh ini menurut Lukman hampir seluruh fraksi menyepakati di antara angka 6-10. "Jumlah kursi caleg per dapil itu dominan ingin antara 6-10," pungkas politikus PKB ini.

Sebelumnya Lukman juga  mengungkapkan isu-isu tentang ambang batas partai parlemen atau Parliamentary Threshold dan ambang batas presiden atau Presidential Threshold memang menjadi isu yang paling menarik perhatian publik.

Awalnya dalam draf RUU yang diajukan pemerintah, parliamentary threshold diusulkan 3,5 % atau sama seperti pemilu tahun 2014. Sedang untuk presidential threshold diusulkan pemerintah tetap 20% dari jumlah kursi di DPR dan atau 25% dari jumlah perolehan suara pemilu.


Namun kemudian pembahasan tentang Parliamentary Threshold mengalami dinamika. Sejumlah fraksi menginginkan ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 5-10 persen dari Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen.

Alasan fraksi pengusung usulan kenaikan ambang batas parlemen ini agar konsolidasi demokrasi lebih efektif dengan adanya penyederhanaan partai. Sementara, sejumlah fraksi justru meminta ambang batas dihapus. Alasannya dengan  ambang batas akan ada suara rakyat terbuang jika tidak diakomodir melalui kursi wakilnya di DPR.

Sedang dalam pembahasan presidential threshold juga tak kalah alot. Sejumlah fraksi yang setuju usulan pemerintah, untuk mematok ambang batas pencalonan presiden di angka 20-25 persen. dengan alasannya, agar hubungan antara pemerintah DPR tetap harmonis.

Namun  juga tak sedikit fraksi yang kemudian ingin agar ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di hapus menjadi 0 persen. Alasannya  penghapusan ambang batas akan memberikan kesempatan publik memunculkan calon presiden. Dengan cara ini Pemilu akan lebih menarik,  lantaran muncul banyak kontestasi calon presidennya.

Selain hal itu, juga ada isu yang juga menarik pembahasan seperti isu soal wacana penggunaan e-voting dalam Pemilu Serentak 2019. Terkait ini pihaknya telah mendapat gambaran dari BPPT, ITB dan PT INTI. Bahkan mereka sudah uji coba di pemilihan di 500 kepala desa seluruh Indonesia.

Ide e Voting ini sempat menjadi perhatian, karena sejumlah keunggulan yang tawarkan. Diantaranya meminimalisir kecurangan Pemilu, mempersingkat konstrain waktu setiap tahapan pemilihan, penghitungan dan rekapitulasi serta memperkecil biaya operasional.

Persoalannya hanya masalah kesiapan pihak penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu. "Apakah siap menyelenggarakan pemilu 2019 dengan menggunakan e voting," ujar Lukman.

Selain itu juga ada wacana menaikkan jumlah anggota DPR maupun DPRD. Hal ini sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya daerah otonom baru. Alasan diangkatnya isu ini untuk memproporsionalkan jumlah anggota

Hal lainnya yang juga alot diperdebatkan adalah soal sistem pemilu. Menurutnya ada banyak perbedaan pandangan dari fraksi. apakah akan memilih sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup. Namun, soal ini kemudian mengerucut pada sistem proporsional terbuka.

"Tampaknya fraksi fraksi menolak sistem pemilu proporsional tertutup yang diusulkan pemerintah. Pertimbangannya karena ada penolakan dari masyarakat," katanya.

Pembahasan RUU ini pada awal mengiventarisir terdapat sekitar 18 isu krusial; isu itu diantara soal  ambang batas parlemen (Parlementary treshold),   Pilpres atau Ambang batas pencapresan (presidential treshold),  Metode konversi suara ke kursi, alokasi kursi dan dapil, Sistem pemilu anggota dpr/dprd (terbuka/tertutup), soal Asas pemilu, Persyaratan parpol menjadi peserta pemilu,  Rekapitulasi suara,  Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), Sentra penegakan hukum terpadu, Sengketa proses pemilu dan sengketa TUN pemilu, Kampanye dan politik uang,  Perselisihan kepengurusan parpol, Sengketa hasil pemilu, Hari pelaksanaan pemilu
,  Keterwakilan perempuan, Penambahan kursi anggota DPR.

Namun Belakangan isu itu mengerucut menjadi lima  isu krusial.  Antara lain soal ambang batas parlemen (Parlementary treshold), ambang batas pencapresan (presidential treshold), sistem pileg (terbuka/tertutup), konversi suara ke kursi, dan penambahan kursi DPR. Kendati telah mengerucut isu itu dengan sejumlah opsi, namun lima isu tersebut belum mencapai kata sepakat.
 

DOMINASI KEPENTINGAN PARTAI - Molornya pengesahan UU Pemilu ini sempat menjadi perhatian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Menurut Deputi Kajian KIPP Indonesia Andrian Habibi pemerintah telah menyadari materi yang belum disepakati ada materi yang  berkaitan dengan strategi kepentingan prinsip partai politik.

"Untuk itu KIPP mendesak pemerintah agar tegas memanggil semua partai koalisi agar memerintahkan anggotanya di Komisi II DPR RI menyegerakan pembahasan RUU Pemilu," ujar Andrian melalui pernyataan persnya kepada gresnews.com.

KIPPP Melihat molornya pembahasan UU tersebut karena parpol
sibuk membahas persoalan pilpres dan calon legislatif disesuaikan dengan ad/art parpol. Hal itu sama saja  parpol mengutak-atik RUU Pemilu bukan atas nama perbaikan demokrasi,  namun atas nama kepentingan parpol.

Padahal seharusnya parpol menyesuaikan aturan internal sesuai dengan UU, bukan sebaliknya UU menyesuaikan AD/ART parpol. Sebab UU dibuat bukan hanya untuk parpol, tetapi juga untuk mengatur penyelenggaraan, penyelenggara  dan peserta pemilu. (dtc)

BACA JUGA: