JAKARTA, GRESNEWS.COM - Memasuki November masyarakat diingatkan pada kisah pertempuran di Surabaya yang ditetapkan menjadi Hari Pahlawan. Muncul pula pula pro kontra perlu tidaknya mantan presiden Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Sejatinya sudah sejak 2012 lalu bersama dengan mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Soeharto, ini diajukan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Namun yang jelas gelar pahlawan itu tidak ditetapkan pada tahun ini.

Ada lima orang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional tahun ini oleh Presiden Joko Widodo adalah Bernard Wilhem Lapian (tokoh Provinsi Sumatera Utara), Mas Isman (tokoh Provinsi Jawa Timur), Komjen (Purn) Dr H Moehammad Jasin (tokoh Jawa Timur), I Gusti Ngurah Made Agung (tokoh Provinsi Bali) serta Ki Bagus Hadikusumo (tokoh Provinsi Yogyakarta).

Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang diketuai Menteri Pertahanan Ryamizard Raycudu menjelaskan telah mengendapkan pemberian gelar pahlawan pada mantan presiden Soeharto dan Gus Dur hingga menunggu waktu yang tepat. Namun Ryamizard memberikan indikasi pemerintah akan memberikan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tahun depan.

Menurut Ryamizard selain telah meletakkan dasar yang kuat untuk pembangunan negara, Soeharto dianggap berjasa terhadap kemajuan Indonesia. Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur demi membela bangsa dan negara.

Gelar ini juga diberikan bagi mereka yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan serta kemajuan bangsa dan negara.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan semua mantan presiden patut mendapat gelar pahlawan. "Saya sebagai angkatan depan demonstrasi setuju Pak Harto jadi pahlawan. Jokowi harus tegaskan untuk tak bergantung pada masa lalu. Saya yakin ia mau," katanya, Selasa (10/11).

Menurutnya terdapat dua persoalan dalam pemberian gelar pada mantan presiden kedua Republik Indonesia ini. Pertama, soal prosedur yang etikanya berada di Kementerian Sosial, sehingga pemerintah pusat tak dapat turut campur tangan lantaran terdapat prosedur khusus yang harus dijalani.

Ia menyatakan, walaupun Soeharto merupakan sosok yang kontroversial namun pemberian gelar pahlawan tetap bisa diberikan. Gelar kepahlawanan, menurutnya harus diberikan dengan penilaian yang objektif.

"Ini harus dihargai, pertama karena mereka sudah meninggal dunia sehingga akhlak tak perlu dipersoalkan lagi. Toh kebaikannya riil, itulah pantas disebut pahlawan," katanya.

Fahri melanjutkan, apabila Indonesia ingin menjadi bangsa besar tentu haruslah menghormati jasa pahlawan. Terlebih, jika ingin berubah ke-era baru, Indonesia harus menghilangkan efek-efek ideologi zaman perang.

Walau begitu, ia tetap mempersilahkan penolakan yang ada, sebab sudah ada mekanisme pengajuan gelar pahlawan yang dapat dijadikan pedoman. Pada intinya, jangan hanya karena masalah pribadi aspirasi dan hak publik jadi terhambat.

SYARAT PEMBERIAN GELAR PAHLAWAN - Pemberian gelar pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan). Dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, terdapat beberapa syarat untuk mendapatkan gelar kepahlawanan.

Pertama yakni syarat umum yang terdiri antara lain: Pertama, berstatus WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI. Kedua, memiliki integritas moral dan keteladanan. Ketiga, berjasa terhadap bangsa dan Negara. Keempat, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan Negara. Dan kelima, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Selanjutnya merupakan syarat khusus diantaranya: Pertama, pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Ketiga, melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya.

Keempat, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. Kelima, pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keenam, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Sedang mencakup persyaratan administrasi yakni usulan calon pahlawan nasional diajukan tertulis secara hierarki dan berjenjang. Kedua, surat usulan calon pahlawan nasional dilengkapi lampiran-lampiran antara lain: daftar uraian riwayat hidup dan perjuangan calon pahlawan yang bersangkutan yang ditulis secara ilmiah, disusun sistematis, berdasarkan data yang akurat, melalui proses seminar, sarasehan dan diskusi.

Ketiga, terdapat daftar dan bukti tanda kehormatan yang pernah diterima/ diperoleh. Keempat ada catatan pandangan/pendapat orang dan tokoh masyarakat tentang pahlawan nasional yang bersangkutan. Kelima terdapat foto-foto/gambar dokumentasi yang menjadi perjuangan calon pahlawan nasional yang bersangkutan. Dan keenam, telah diabadikan namanya melalui sarana monumental sehingga dikenal masyarakat.

SOEHARTO TAK PENUHI SYARAT - Berdasar persyaratan dalam UU tersebutlah, Soeharto dianggap tak memenuhi klasifikasi untuk mendapat gelar pahlawan. Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menyatakan dapat dipastikan pengusul wacana gelar pahlawan untuk mantan presiden Soeharto merupakan pendukung Presiden Soeharto yang menutup mata atas pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukannya.

"Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang tercatat," ujarnya kepada gresnews.com, Selasa (10/11).

Ia menyebut setidaknya ada enam kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Soeharto, yakni kasus tragedi 1965, kasus Pembunuhan Misterius (Petrus), kasus DOM di Aceh dan Papua, kasus pelanggaran HAM berat di Timtim (sekarang Timor Leste) selama Timtim berada dalam kekuasaan Indonesia, kasus penghilangan paksa aktivis.

Kasus-kasus tersebut hingga saat ini masih terkatung-katung, bahkan para korban beserta keluarga masih menunggu langkah penyelesaian yang tak kunjung terang dari pemerintah. Jelas, nama sang mantan presiden tak masuk dalam kategori syarat umum poin kedua dan keempat.

"Sangat tidak adil ketika orang yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat tersebut diberikan gelar pahlawan," ujarnya.

Ditambahkan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar wacana pemberian gelar kepahlawanan kepada Soeharto ini merupakan rencana yang selalu dimunculkan tiap tahunnya. Namun, senada dengan Poengky, ia pun menolak mentah-mentah ide yang sudah digulirkan beberapa tahun belakangan.

"Pokoknya gampang lah, Soeharto tak bisa jadi pahlawan selama belum ada tindakan konkret dari negara bagi para korban pelanggaran HAM yang terjadi dizaman orde baru," katanya pada gresnews.com, Selasa (10/11).

TERGANJAL TAP MPR - Pemerintah juga diminta tidak melupakan Ketetapan (Tap) MPR yang mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan pengusutan kasus Soeharto. Presiden Jokowi dan para menterinya harus ingat bahwa mereka masih terikat tanggung jawab untuk melaksanakan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 menyebutkan: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.

Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Tap MPR menjadi salah satu sumber hukum positif di Indonesia.

Ahli hukum tata negara Bayu Dwi Anggono mengatakan pernyataan yang menyatakan Dewan Gelar tengah mempertimbangkan gelar pahlawan nasional untuk mantan presiden Soeharto merupakan pernyataan yang mengingkari eksistensi UU 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Menurut Bayu, pernyataan itu juga dapat dianggap bentuk ketidakhormatan terhadap putusan pengadilan utamanya putusan MA terkait Yayasan Supersemar. Dalam putusan itu, Mahkamah Agung menyatakan Soeharto selaku Ketua Yayasan Supersemar sebagai tergugat (I) melakukan perbuatan melawan hukum melalui Yayasan Supersemar.

Ia menegaskan daripada sibuk menciptakan polemik mengenai pahlawan nasional untuk Soeharto, sebaiknya pemerintahan Presiden Jokowi dan para menterinya saat ini fokus pada eksekusi atau pelaksanaan putusan MA agar kerugian keuangan negara yang cukup besar dapat segera diganti. "Termasuk mempersiapkan upaya paksa apabila putusan MA tersebut tidak segera ditindaklanjuti," papar pengajar Universitas Jember itu, Selasa (10/11).

Bayu menjelaskan terlepas sebagai mantan presiden, Soeharto haruslah tetap dihormati. Namun penghormatan tersebut tidak harus diwujudkan dengan pemberian gelar pahlawan nasional, mengingat gelar pahlawan nasional bukanlah gelar yang dapat diobral bebas melainkan harus dilaksanakan secara cermat sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Pasal 25 UU Nomor 20 Tahun 2009. (dtc)

BACA JUGA: