JAKARTA, GRESNEWS.COM - Selama setahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusf Kalla memerintah, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah menurun. Dari hasil survei yang dilakukan lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik (Kedai Kopi), tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi-JK hanya mencapai 44,3 persen. Sementara yang tidak puas mencapai 54,7 persen dan sisanya 1 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Survei tersebut dilakukan dalam rangka menyambut setahun kinerja Jokowi-JK yang dilakukan terhadap 384 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh Indonesia. Responden adalah pengguna telepon yang dipilih secara acak (probability sampling) menggunakan metode sample acak sistematis.

Proses pengumpulan data dilaksanakan dari tanggal 14–17 September, melalui wawancara melalui telpon menggunakan kuesioner terstruktur (structured interview). Responden adalah pemilih yang berusia 17 tahun ke atas/sudah menikah ketika survei dilakukan. Komposisi responden di setiap daerah mempertimbangkan proporsi antara jumlah penduduk di setiap daerah. Margin of Error (MoE) survei ini sebesar +/- 5 %, pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil survei ini mengungkapkan, sumber utama ketidakpuasan publik terhadap kinerja Jokowi-JK adalah harga kebutuhan pokok yang tinggi (35,5 persen), pelemahan nilai tukar rupiah (23,7 persen), dan lambannya penanganan kabut asap (11,8 persen). Sisanya adalah menyangkut harga BBM yang mahal, susahnya mendapatkan lapangan kerja, kinerja menteri yang tidak bagus, serta biaya kesehatan yang tidak terjangkau.

Yang menarik, responden berpendapat, yang menjadi penghambat kinerja Jokowi setahun ini justru adalah pihak-pihak yang selama ini mendukung Jokowi sendiri. Saat ditanya mengenai faktor apa yang dianggap publik menjadi penghambat utama kinerja pemerintahan Jokowi, sejumlah 27,3 persen responden menjawab partai-partai pendukung Jokowi yaitu yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Sisanya menjawab para menteri (23,4%) dan Jokowi sendiri (14,8%). Sementara faktor eksternal yaitu partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih hanya berperan sebesar (7,3). Wakil Presiden Jusuf Kalla (2,9%) dan warisan pemerintahan SBY (1,3%).

Juru Bicara Kedai Kopi Hendri Satrio mengatakan, hal ini adalah merupakan sebuah keanehan dalam pemerintahan Jokowi-JK. "Dalam konteks ini, justru yang banyak mengkritik dan menentang kebijakan Jokowi adalah partai pendukung Jokowi sendiri, terutama PDIP," katanya kepada gresnews.com, Selasa (20/10).

Hendri mengatakan, isu paling akhir yang dilontarkan PDIP yang berpotensi memperburuk citra pemerintahan Jokowi-JK adalah soal revisi UU KPK. "Ini langsung head to head bertentangan dengan Jokowi," katanya.

Dalih yang sering digunakan PDIP, kata pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina ini adalah, karena Jokowi adalah presiden yang mereka usung sehingga mereka merasa perlu mengawal program Jokowi agar lancar sehingga partai pendukung tak terkena imbas jika kinerja Jokowi jelek. "Tapi alih-alih mendukung, ternyata itu malah mengganggu," ujarnya.

Sementara, Jokowi dinilai menjadi penghambat programnya sendiri lantaran dalam beberapa kesempatan dia tampak gamang menjalankan pemerintahan. Kasus "I don´t read what I sign" kata Hendri, menunjukkan hal itu. "Itu secara tidak langsung hambat program dia karena ucapan itu menurunkan kepercayaan masyarakat dan elemen pemerintahan di bawah dia," ujarnya.

Yang lebih lucu lagi, kata Hendri Satrio, partai di KMP yang diharapkan menjadi oposisi kritis justru malah lebih sering diam. Seolah partai pendukung dan partai oposisi semua di take over oleh PDIP. "Saya jadi bertanya apakah partai-partai di KMP ini memang sengaja jorokin Jokowi supaya gagal atau bagaimana sehingga tidak ada kritikan?" tanyanya.

Pertanyaan itu, kata Hendri, muncul lantaran ketika ada yang salah dalam penetapan kebijakan oleh pemerintah, oposisi justru malah diam. "Oposisi nggak bertindak apa-apa, salah didiemin aja, jika ikut hipotesis PDIP jika pemerintahan jelek partai pendukung ikut jelek, ada kemungkinan oposisi memang sengaja jeblosin," ujarnya.

BAHAN EVALUASI RESHUFFLE - Hendri mengatakan, banyak evaluasi yang dilakukan terkait setahun kerja Jokowi-JK. Hasil evaluasi ini sebenarnya bisa menjadi bahan masukan bagi Jokowi dalam melakukan reshuffle kabinet jilid III yang kabarnya bakal dilakukan dalam waktu dekat.

Ketidakpuasan masyarakat yang tinggi terkait masalah tingginya kebutuhan harga pokok misalnya, bisa direspons Jokowi dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja menteri yang terkait dengan isu tersebut. Misalnya dari sisi produksi pangan, Jokowi bisa mengevaluasi kinerja Menteri Pertanian Amran Sulaiman.

Terkait harga barang, misalnya, Jokowi bisa mengevaluasi kinerja menteri terkait distribusi barang seperti Kementerian Perhubungan, Perdagangan. Jokowi terkait pelambatan ekonomi juga bisa mengevaluasi kinerja menteri perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM. Sementara terkaiot kabut asap misalnya, Jokowi juga harus berani mengevaluasi kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Terkait masalah ekonomi, kata Hendri, kementerian-kementerian teknis juga perlu dievaluasi lantaran serapan anggaran yang rendah. Padahal serapan anggaran di kementerian ini, kata dia, merupakan salah satu indikator penggerak ekonomi. "Ambil contoh dari sisi pajak saja, jika dana sebesar Rp1200 triliun terserap, maka akan ada dana yang kembali dalam bentuk pajak ke pemerintah sekitar Rp120 triliun," ujarnya.

Sementara, serapan anggaran di kementerian/lembaga yang saat ini hanya mencapai 31 persen, kata dia, tidak akan banyak membantu perekonomian nasional. Kementerian Perhubungan misalnya, menerima dana APBN terbesar kedua setelah Kementerian PU yaitu encapai Rp20,9 triliun, tetapi penyerapan anggarannya baru 20 persen.

"Jangan-jangan itupun 20 persen karena belanja rutin untuk pegawai bukan belanja modal, ini perlu kita kritisi," kata Hendri.

Karena itu, kata dia, dalam menentukan reshuffle kabinet jilid II ini, Jokowi harus bisa bersikap independen dan memilih orang yang loyal kepadanya. "Dia harus pilih menteri terbaik yang sesuai dengan yang dia inginkan untuk bisa bekerja," ujarnya.

Dia memprediksi akan terjadi reshuffle besar-besaran jika Jokowi berani independen untuk benar-benar mencari orang yang bisa membantu dirinya. "Taruhannya besar, jika rejim gagal, yang dikejar bukan menterinya, pasti presidennya, karena itu Jokowi harus berani mencari menteri terbaik," ujarnya.

Dari sisi ini, kata dia, akan banyak kepentingan bermain termasuk dari partai pengusung utamanya yaitu PDIP yang dipastikan akan mengincar kursi yang lebih besar lagi. Juga PAN sebagai partai yang baru saja mendeklarasikan diri mendukung pemerintah. Di sisi lain, partai pendukung lainnya seperti PKB dan Hanura misalnya, tentu tak ingin jatahnya berkurang.

Jika Jokowi bisa independen, kemungkinan dia mengurangi jumlah menteri dari partai pendukung dan banyak merekrut tenaga profesional dengan tentu saja memberi sedikit tambahan bagi PDIP dan PAN. "Jokowi harus independen dan dia bisa melakukan itu," kata Hendri.

RESHUFFLE OPTIMALKAN PEMERINTAHAN - Sementara itu, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, reshuffle kabinet jilid II diperlukan untuk mengoptimalkan pemerintahan. Hanya saja, reshuffle kali ini jangan dilakuan atas dasar bagi-bagi kekuasaan semata.

Reshuffle diperlukan untuk membuat program-program pemerintahan Jokowi berjalan semakin kencang.
"Saya rasa perlu reshuffle jilid II karena sudah rahasia umum banyak nama titipan yang masuk kabinet waktu disusun setahun lalu. Konsekuensinya banyak yang salah tempat. Banyak sektor masih belum bergerak sesuai harapan, misalnya masalah ekonomi. Di luar itu, hasil surveinya memang menunjukkan penurunan," kata Qodari, Selasa (20/10).

Indo Barometer memang membuat survei dan membuktikan masyarakat belum cukup puas dengan kinerja sejumlah menteri. Indo Barometer melakukan survei pada 14-22 September 2015 di 34 provinsi dengan jumlah responden 1.200 orang menggunakan metode multistage ramdom sampling. Margin eror survei disebut 3 persen.

Hasilnya, masyarakat ternyata lebih puas terhadap para menteri yang lebih sering membuat gebrakan. Nyatanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susu Pudjiastuti yang dikenal tegas dan cekatan jadi menteri yang paling memuaskan.

Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang baru saja masuk kabinet dan lekas mengepakkan sayap ´rajawali ngepret´ pun ikut jadi menteri yang memuaskan rakyat.

"Tingkat kepuasan publik pada menteri tertinggi masih di Susi Pudjiastuti (71,9%). Disusul Anies Baswedan (54,2%), Khofifah Indar Parawansa (47,8%), Lukman Hakim Saifuddin (44,4%%), Nila F. Moeloek sebesar 37,8% dan Rizal Ramli (37,3%).

Sementara itu, beberapa menteri dinilai mengecewakan dan tingkat kepuasan masyarakat sangat rendah hingga di bawah 20 persen. Menteri-menteri itu adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution (15,0%), Menteri Perdagangan Thomas Lembong (15,9%), Menteri ESDM Sudirman Said (18,3%) Menteri Perindustrian Saleh Husin (19,5%), Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan (19,4%) dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi (19,9%).

RESHUFFLE TAK PERLU - Pendapat berbeda justru disampaikan Partai Keadilan Sejahtera yang menilai Jokowi tidak perlu melakukan reshuffle kabinet. Presiden PKS Sohibul Iman memberi catatan khusus di satu tahun pemerintahan Jokowi-JK.

Baginya rapor pemerintahan Jokowi tidak bagus. "Saya kira semua sudah tahu rapornya tidak bagus, saya kira begitu," kata Sohibul.

Dari sisi ekonomi, hasil kerja Jokowi-JK dipandang tak menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi tak sesuai harapan, pengangguran masih banyak. "Dari sisi mikro, jumlah pengangguran masih banyak, kemiskinan, dan daya beli masyarakat menurun," kritiknya.

Dari sisi penegakan hukum, PKS memandang kisruh KPK-Polri sebagai salah satu catatan kurang baik setahun Jokowi. "Ini membuat penegakan hukum semakin tidak keliatan arahnya," kata dia.

Memang, penegakan hukum dalam hal hukuman mati untuk terpidana kasus narkoba sudah dilakukan. Ini diakui Sohibul sebagai poin positif. "Itu salah satu sisi yang positif," kata dia.

Dalam ranah lainnya, PKS menyoroti persoalan penanganan bencana asap yang menyengsarakan banyak orang. "Itu PR yang payah menurut saya, pemerintah tidak terlalu sigap," ujarnya.

Hanya saja menurut Sohibul, hal yang perlu dilakukan Jokowi justru bukan melakuakn rehuffle kabinet. Yang perlu dilakukan Jokowi adalah meningkatkan kinerja pemerintahannya dalam segala bidang.

Memang isu reshuffle kabinet menguat lagi setelah setahun Jokowi, namun PKS tak memandang itu akan menjadi solusi jitu. "Kalau menurut saya bukan reshuffle jawabannya, tapi Jokowi harus menunjukkan kepemimpinannya dengan lebih kokoh, agar para menterinya bisa bekerja lebih baik lagi," tandasnya. (dtc)

BACA JUGA: