JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hembusan isu reshuffle Kabinet Kerja oleh Presiden Joko Widodo membuat dunia politik kian memanas. Bahkan partai-partai koalisi pengusung pemerintahan mulai saling bergesekan. PKB misalnya sampai merasa ada pihak yang tengah mengincar kursi Menteri Desa yang selama ini dipegang kader mereka.

Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan Daniel mensinyalir ada persaingan di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sehingga mereka saling bermanuver mencoba saling menjatuhkan. PKB melihat ada serangan untuk upaya penyingkiran kadernya, Marwan Jafar, dari posisi Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).

"Sesama pendukung Presiden Jokowi jangan saling menjatuhkan. Sekarang ini muncul berita fitnah secara sistematis yang tidak sesuai fakta hanya untuk merebut kementerian desa. Kekuatan gelap ini mencoba merebutnya dengan cara-cara fitnah yang kasar dan tidak terhormat," jelas Daniel.

PKB disebut Daniel tidak melihatnya sebagai ancaman dari pihak tertentu untuk merebut pos yang kini menjadi jatah partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu. Namun merupakan upaya sistematis melalui fitnah dari partai pemegang kekuasaan, yang sebenarnya sudah sama-sama berjuang sejak awal.

"Ini konspirasi PDIP, karena aneh kan sesama koalisi kok nyerang. Harapan kita kalaupun ada reshuffle itu semakin memperkuat konsolidasi politik dan kerja kabinet. Jangan malah menambah kekisruhan dan memperlemah konsolidasi politik yang semakin baik saat ini," beber Daniel.

Namun Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah membantah dan mengatakan tak ada persoalan partainya dengan Dewan Pimpinan Pusat PKB. Bahkan Basarah dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto akan menemui Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

"Kami sama sekali tak ada persoalan dengan PKB. Karena itu, saya bersama Pak Sekjen (Hasto Kristiyanto, red) minggu depan Cak Imin pulang dari luar negeri, kita bertemu. Agar tak ada kesalahpahaman," kata Basarah di sela pelatihan manajer kampanye kader PDIP di kantor DPP, Lentang Agung, Jakarta, Kamis (7/4).

Dia mengingatkan reshuffle merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo. Menurutnya, bila ada pernyataan kader PDIP maka hal tersebut adalah ungkapan pribadi, bukan partai. Pernyataan resmi menurutnya disampaikan pengurus DPP terutama sekjen. Ia tak ingin hubungan PDIP dan PKB dinilai ada persoalan karena isu reshuffle.

KABINET POLITIK - Menanggapi kinerja kabinet Jokowi Jilid II, Sri Budi Eko Wardani, Direktur Pusat Kajian Politik pada Universitas Indonesia (Puskapol UI), menyampaikan pemerintah nampak kesulitan menyusun tim yang solid karena kabinet diisi untuk mengakomodasi beragam kepentingan partai. "Hal ini terlihat dari apa yang sudah digariskan oleh presiden tidak bisa dipahami dengan baik oleh menterinya," katanya kepada gresnews.com.

Menurutnya, yang diinginkan rakyat selama ini bukanlah menteri baru namun yang penting apakah pengantian itu memang menghasilkan kerja yang lebih baik. Perombakan kabinet seharusnya semakin meningkatkan koordinasi di bawah komando presiden.

"Memang yang sering muncul di media adalah lemahnya koordinasi. Ukuran untuk suatu prestasi memang tidak bisa dilihat secara clear, karena misalnya targetan setiap kementerian tidak terlihat prestasinya," ujarnya.

Isu reshuffle didorong oleh pergeseran kekuatan di tingkat elite. Ketika kemudian perubahan posisi dukungan partai oposisi yang kemudian merapat ke pemerintah Jokowi, maka sebagai bayarannya adalah posisi di eksekutif. Hal ini yang kemudian membuat isu reshuffle menjadi hangat kembali.

"Reshuffle ini arahnya lebih kuat dikarenakan pergeseran kekuatan politik, daripada permasalahan kinerja partai," tegasnya.

Persoalan kementerian adalah di level operasional koordinasinya yang tidak berjalan dengan baik. Misalnya persoalan peningkatan taraf hidup masyarakat desa melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, dan Kementerian Keuangan terkait dana desa.

Ketiga lembaga tersebut belum optimal melakukan koordinasi hingga menghambat program pemerintah. Misalnya soal dana desa akan sulit digunakan untuk pemberdayaan masyarakat bila proses penyalurannya masih ada perbedaan konsepsi antara lembaga terkait.

"Suatu permasalahan tidak di tangan satu kementerikan saja tapi ada kementerian yang berkoordinasi untuk menjalankan sebuah program, jadi ini masalahnya," katanya.

Lanjutnya, ia memberikan contoh lagi, masalah kesehatan yakni bagaimana mengurangi angka kematian ibu melahirkan. Hal ini tidak cukup hanya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saja yang diberikan target. Misalnya Kemenkes dengan tupoksi pengadaan tenaga dokter, tenaga kesehatan, dan edukasi kesehatan masyarakat semata namun ada pula masalah infrastuktur. Perlu menilik kecukupan infrastruktur Puskesmas atau jalanan menuju tempat kesehatan agar akses tak terhambat.

Ia menegaskan dalam konteks sistem kabinet presidensil maka seorang presiden memang memiliki hak preogatif dalam memilih siapa yang menjadi pembantunya. Tapi karena presiden memerlukan dukungan politik untuk menjalankan program kerjanya maka muncul kode etik tidak tertulis seorang presiden dalam memilih menterinya. Kinerja bukan segalanya namun asal partai pendukung berpengaruh pada kelanggengan si menteri menjabat. "Ini konsekuensi logis dari koalisi politik ketika tidak ada partai yang mayoritas," ujarnya.

JOKOWI TIDAK TEGAS - Pengamat politik Arbi Sanit memandang kinerja kementerian dari sisi perencanaan semakin banyak dan detail tapi dari dalam tataran pelaksanaan semakin terhambat oleh karena cekcok di antara menteri, termasuk wakil presiden dengan menteri, juga presiden dengan menteri. Banyaknya perbedaan pandangan di kalangan pejabat menyebabkan pelaksanaan program-program presiden tidak mungkin menjadi lancar, sekalipun program itu dilihat sangat baik.

Arbi juga melihat Jokowi tidak tegas dalam memimpin serta lama dalam mengambil kesimpulan. "Jika dulu ada tuduhan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY.) lamban maka sekarang (Jokowi) lelet," katanya kepada gresnews.com

Ia menilai hampir semua kementerian memiliki kinerja yang kurang optimal. "Apakah sekarang menteri-menteri itu hormat atau tidak kepada presiden, adakah hal-hal tertentu yang menyebabkan menteri tidak hormat kepada presiden?" tanyanya.

Hal ini semakin diperparah karena kewibawaan Jokowi dinilai tidak cukup kuat untuk mengatur para menterinya, selain itu kecakapan presiden dipandang juga tidak cukup menguasai masalah yang ada.

"Kecepatan berpikir, kecepatan memutuskan tidak cukup memadai, kekaguman pun tidak ada, apalagi penghormatan," katanya.

Arbi mengatakan pergantian menteri kali ini hanya sebagai tambal sulam seperti reshuffle sebelumnya. Menurutnya kabinet pertama yang dibentuk oleh Jokowi tidak segaduh kabinet jilid dua. Penyebabnya karena para menteri frustasi dengan program yang begitu cantik dan indah tapi dalam pelaksanaannya tidak cukup efektif.

Sejatinya Arbi memandang reshuffle bukan hal yang mendesak untuk dilakukan. Hal yang lebih penting yang harus dilakukan Jokowi adalah bisa mengkonsolidasikan menteri-menterinya agar lebih kompak sehingga bisa optimal dalam kinerjanya. "Harusnya Jokowi cari cara untuk mengoptimalkan kinerja menterinya. Untuk apa reshuffle, masalahnya kan ada di dia (Jokowi)," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: