JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Crisnandi memberikan penilaian terhadap kementerian dan lembaga berujung blunder. Upaya tersebut dituding hanya manuver politik, untuk mengamankan kursi menjelang reshuffle kabinet. Bahkan penilaiannya dianggap tidak otentik karena tak menjabarkan metodelogi dan melanggar kewenangan presiden.

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan yang juga mantan Menteri Kehutanan itu bahkan menilai langkah Yuddy itu salah kaprah. Pasalnya, penilaian kinerja itu hanya membuat kegaduhan baru di pemerintahan.

"Jika menterinya sama-sama dari parpol dan pendukung pemerintahan maka sebaiknya jadi konsumsi internal saja," katanya di Gedung DPR RI, Selasa (5/1).

Menurutnya penilaian boleh dilakukan asal sesuai instruksi presiden. Namun, berdasarkan pengalamannya lima tahun menjabat menteri Kehutanan, penilaian biasa dilakukan secara internal dalam sidang kabinet. Sebab, tujuan penilaian memperbaiki kinerja kementerian, bukan menjatuhkan.

"Kalau diekspos akan ada reaksi seperti sekarang ini. Ini menjadi pertanyaan besar. Kok yang survei mendapat nilai tinggi, sedangkan yang disurvei nilainya paling bawah," katanya.

Hal ini tentu menjadi perdebatan terbuka yang kembali membuat pemerintahan gaduh dan tidak sehat.

Sementara itu Pengamat Politik Komunikasi Hendri Satrio mengatakan  pada dasarnya yang dilakukan Yuddy bukanlah kesalahan. Sebab evaluasi kinerja memang diperlukan guna memperbaiki dan memperkuat kabinet Kerja, selain itu publik juga menjadi tahu pemerintah telah melakukan koreksi internal. Namun, yang salah ketika evaluasi itu dibuka luas kepada publik.

"Ini membuat kegaduhan politik dan dia mengeluarkan tidak dalam kapasitas intruksi presiden," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (6/1).

Hendri menilai hasil evaluasi MenPANRB tak jauh berbeda dengan hasil evaluasi kementerian yang dilakukan beberapa lembaga survei. Meski ada keganjilan,  dimana hasil penilaian terhadap lembaga yang berlatarbelakang PDIP dan Nasdem cukup tinggi.

"Selama metodologinya tepat sih tidak masalah. Tapi dari penelitian yang saya buat, Yuddy ini masuk pada penilaian yang tak terlalu baik," katanya.

Namun, ia menggarisbawahi, penilaian tiap-tiap lembaga dapat berbeda sesuai metodologi yang dipakai. Ia pun menyayangkan terjadinya kegaduhan akibat kasus ini. Ini menambah predikat Jokowi sebagai presiden yang paling repot mengurus kabinetnya.

"Presiden tak suka gaduh, tapi menteri-menterinya seperti mau show up masing-masing," katanya.

PERTANYAKAN OBYEKTIFITAS - Sedang pengamat politik komunikasi Emrus Sihombing menyatakan seharusnya saat mengumumkan evaluasi kinerja, MenPANRB juga menjelaskan metode evaluasi yang digunakan. "Sudah ketat belum kriterianya? Tepatkah? Sebab banyak orang gerah lantaran MenPANRB tak menjelaskan ini," katanya kepada gresnews.com, Rabu (6/1).

Lantaran tak ada pernyataan tersebut ditambah tak adanya keberanian diuji oleh lembaga lain,  maka wajar jika publik merasa langkah ini hanya sebagai manuver pengamanan kursi politik semata. Selain mempertanyakan metode yang tak dibuka kepada publik, ia juga menyoroti hasil rapot dari partai Hanura yang bagus.

"Yuddy itu latar belakangnya dari partai, tak mungkin lepas sepenuhnya dari kepentingan partai," ujarnya.

Hal ini dinilai tak etis lantaran penilaian seharusnya disampaikan langsung ke presiden, bukan kepada publik. Baru kemudian jika berkenan, maka presiden lah yang akan mengumumkannya sendiri ke publik.

"Supaya elegan, ini tak baik dan tak etis mengingat penilaian dilakukan kepada objek yang sama derajatnya, menteri nilai menteri," katanya.

KONTRADIKSI KINERJA - Menjadi salah satu kementerian yang menduduki posisi teratas dalam penilaian, MenPANRB malah dikritik habis-habisan lantaran mengingkari janji pengangkatan 430 ribu honorer K2 termasuk Bidan PTT menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2016. Alasannya, tidak ada anggaran untuk rekruitmen pendaftaran CPNS dari honorer K2.

Anggota Komisi IX Irma Suryani Chaniago menyatakan Yuddy bekerja dan bicara tidak sesuai dengan data. Sebab, seharusnya jika dari awal tak memiliki anggaran pengangkatan maka tak perlu memberikan janji pengangkatan tanpa adanya data akurat.

"Perilaku tidak bijak seperti ini merugikan pemerintah, karena, honorer K2 dan Bidan PTT yang notabene adalah rakyat  akan menganggap mereka melakukan ingkar janji," katanya.

Seperi diketahui sebelumnya, Komisi IX yang membidangi ketenagakerjaan telah menyepakati sebagian pengangkatan Bidan PTT bersama Menkes dan MenPANRB dan secara bertahap. Mendapati hal kontradiksi ini, Komisi IX menyatakan akan mengagendakan pemanggilan terhadap Menkes guna meminta keterangan atas kebijakan MenPAN tersebut.

"Paska reses diagendakan. Jangan sampai gara-gara kecerobohan Menteri Yuddy, Menkes dianggap memberi harapan palsu pada Bidan PTT," katanya.

BACA JUGA: