JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perang pernyataan antara Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di media sosial dinilai telah mengganggu kinerja jajaran Kabinet Kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bahkan, konflik dua pejabat negara itu disebut sebagai salah satu ´penyakit´ bagi pemerintahan Jokowi.

Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Paraera mengatakan, perang pernyataan antara kedua menteri itu sudah mengarah pada kegaduhan politik. Pasalnya, konflik yang diekspose ke masyarakat luas itu telah menyita perhatian publik dan menunjukan bahwa telah terjadi ketidaksamaan visi dan misi di internal para pembantu presiden.

Menurutnya, Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan konflik keduanya berlarut-larut. Ia pun menegaskan, Jokowi harus menyelesaikan permasalahan kedua anak buahnya itu di internal kabinetnya hingga tuntas.

"Presiden harus lihat persoalan sesungguhnya dimana, ini cost-nya terlalu besar. Jadi harus dicari penyebab utamanya apa, langsung dipotong. Karena ini bisa menular ke yang lain," kata Andreas di sela-sela diskusi dengan tema ´Para Menteri Bertikai, Apa Langkah Presiden Jokowi?´ Di bilangan Jakarta Pusat, Sabtu (5/3).

Andreas menilai, konflik dua pembantu presiden yang sengaja diekspose oleh dua pejabat yang bertikai itu telah membuat Presiden Jokowi tidak nyaman. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan Jokowi secara langsung, maupun pernyataan yang disampaikan oleh Juru Bicara Presiden Johan Budi beberapa waktu lalu yang meminta agar perdebatan dua menteri itu segera dapat diselesaikan.

Kendati demikian, ia pun kembali berharap agar Presiden Jokowi tidak hanya selesai pada mengungkapkan kekecewaannya dihadapan media semata. "Tapi memang harus diselesaikan dengan cara tegas," ujarnya.

Ia menambahkan, kegaduhan politik yang terjadi di lingkaran Istana itu akan berdampak fatal bagi jalannya roda pemerintahan Jokowi-JK. Ia juga meyakini, jika konflik itu tidak segera ditutup maka akan mempengaruhi stabilitas ekonomi politik nasional.

"Kalau DPR gaduh itu biasa, tapi kalau kabinet presidensial itu nggak biasa kalau terjadi kegaduhan. Dampak yang terjadi nanti investor akan lihat, kok pengambil keputusan bisa ribut begini. Kalau mereka nggak bisa berikan kepastian, bagaimana orang bisa percaya. Yang mana yang harus jadi acuan bagi para investor nanti," paparnya.

TIDAK OBRAL KONFLIK - Dalam kesempatan yang sama, mantan Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik Djohermansyah Johan mengatakan, konflik internal kabinet pemerintahan tidak boleh diobral sampai keluar ranah publik. Menurutnya, masyarakat luas harus melihat soliditas kinerja para pembantu presiden, bukan justru mengobral perbedaan pandangan atau pendapat melalui media masa maupun media sosial.

"Konflik karena beda pendapat itu wajar sebenarnya, tapi harus dapat diselesaikan di internal atau pada rapat kabinet," kata Djohermansyah Johan.

Ia menambahkan, dalam sistem presidensial, Presiden sebagai pimpinan tertinggi sebuah negara, sehingga seorang Presiden selayaknya mampu mengambil inisiatif untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dilingkaran para pembantunya.

Jika perbedaan pandangan atau pendapat yang berujung pada saling serang secara terbuka dihadapan publik, lanjutnya, itu dapat mempengaruhi kepercayaan publik kepada kinerja pemerintahan. "Jadi publik harus tetap melihat bahwa pemerintah itu solid, satu suara," ujarnya.

Ia pun memaparkan, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjabat sebagai presiden, konflik antar jajaran kabinet juga pernah terjadi. Ketika itu, menurut Johan, ada dua menteri yang sempat bertikai keras hingga nyaris terjadi baku hantam sebelum dimulainya rapat kabinet di Istana Negara.

Kejadian ketika itu, lanjutnya, berhasil dilerai oleh salah satu menteri koordinator yang membawahi dua pejabat menteri yang bertikai itu. "Sesama menteri sering terjadi perbedaan pendapat, bahkan sampai kontak fisik, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika itu," paparnya.

Kendati demikian, ia menegaskan, konflik tersebut hanya diketahui oleh kalangan internal kabinet dan Istana Negara. Dan konflik kedua pembantu Presiden itu tidak pernah diungkapkan kepada publik melalui media massa. "Konflik karena beda pendapat itu wajar sebenarnya, tapi dulu berbeda dengan sekarang, konflik tidak terbuka dan tidak sampai ke publik," ujarnya.

Tapi sayangnya Johan enggan mengungkap identitas kedua menteri yang sempat bertikai itu. Ia hanya berharap, Presiden Joko Widodo selaku Chief of Executive dapat menertibkan kegaduhan politik yang ditimbulkan oleh internal jajarannya yang dinilai memalukan serta menjatuhkan wibawa pemerintahan itu.

"Menteri itu bukan pejabat tinggi biasa loh. Dia bosnya dirjen, ekstra pejabat tinggi. Bayangkan jika ada menteri kelakuannya kaya orang di pinggir jalan, ini sangat memalukan,"ucapnya mengkritik keras para menteri yang kerap bertikai.

PERAN PRESIDEN - menanggapi gaduhnya kabinet kerja Pemerintahan Jokowi-JK ini, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM Erwan Agus Purwanto menyatakan, Presiden Jokowi harus memainkan perannya sebagai seorang pemimpin tertinggi di negara ini. Ia menilai, Jokowi harus mampu bertindak cepat guna menghentikan polemik berkepanjangan diinternal kabinetnya.

Karena, polemik kegaduhan di internal kabinetnya itu bukan hanya akan membawa preseden buruk dimata masyarakat indonesia, melainkan juga di mata internasional. "Presiden adalah orang yang paling punya otoritas, karena Presiden adalah pemimpin yang membawahi para menteri," kata Erwan Agus Purwanto menjelaskan.

Selain itu, ia juga mengkritik sejumlah menteri yang kerap kali bertikai di ranah publik lantaran memiliki perbedaan pandangan dalam menjalankan kerja-kerjanya. Mengingat pejabat menteri merupakan pembantu presiden yang memiliki landasan atau acuan dalam menjalankan kerja-kerjanya sesuai dengan fungsinya masing-masing.

"Jadi ada yang disebut fatsun, kepantasan. Menteri tidak setuju boleh saja, tapi bagaimana disampaikan dengan cara yang pantas. Tidak setuju juga harus disampaikan dengan cara yang elegan," katanya.

Kendati demikian, lanjutnya, Jokowi sebagai seorang manajer dalam sebuah negara harus dapat memastikan agar seluruh jajaran pembantunya menjalankan kinerja yang sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

"Saya kira ini saatnya presiden menunjukan leadershipnya dengan membuat action agar situasi lebih kondusif. Harus ada ultimatum, kalau nggak ikut aturan main, berarti menteri tersebut tidak ikut dalam kesatuan kabinet. Saya kira ketegasan presiden seperti itu menunjukan bahwa dia on control," tutupnya.

BACA JUGA: