JAKARTA, GRESNEWS.COM - Permohonan KPU terkait kewajiban konsultasi dengan DPR dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).  Dalam putusannya, hasil konsultasi DPR tidak wajib mengikat secara hukum terhadap KPU. Putusan tersebut sekaligus membatalkan kewajiban KPU untuk melaksanakan hasil konsultasi dengan DPR. Sebab hal itu dinilai menghilangkan kemandirian KPU dalam menjalankan tugas konstitusinya.

"Mengabulkan sebagian permohonan pemohon," ujar Wakil Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK,  Jakpus, Senin (10/7).

Majelis hakim menyatakan KPU dalam konsultasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR hasilnya tidak mengikat secara hukum.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," ujarnya.

Dalam pertimbangannya MK beralasan, Pertama, bukan tidak mungkin bahwa dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya, karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR atau antara DPR dan Pemerintah atau antara DPR dan KPU atau antara KPU dan Pemerintah.

Dalam keadaan demikian, frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis sehingga kewenangan itu menjadi tidak dapat dilaksanakan sebab menjadi tidak jelas keputusan mana atau apa yang harus dilaksanakan oleh KPU. Padahal peraturan KPU dan pedoman teknis demikian mutlak ada agar Pemilu dan pemilihan kepala daerah dapat terselenggara.

Kebuntuan demikian, sebut Majelis, dapat mengancam agenda ketatanegaraan yang keberlanjutannya bergantung pada peraturan KPU dan pedoman teknis KPU. Kedua, adanya frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" secara teknis perundang-undangan juga menjadi berlebihan sebab tanpa frasa itu pun apabila konsultasi dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan maka dengan sendirinya KPU akan melaksanakannya. Ketiga, adanya frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" telah menghilangkan, atau setidak-tidaknya mengaburkan, makna "konsultasi" dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tersebut.

"Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak terdapat kesepakatan maka KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD 1945 tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat peraturan KPU dan pedoman teknis sebab lembaga inilah yang bertanggung jawab untuk enjamin bahwa Pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana secara demokratis," jelas majelis.

Menurut ketua majelis Arief Hidayat kemandirian KPU harus tercermin dalam rumusan norma UU yang diturunkan dari semangat UUD 1945.Terutama dalam hal kedudukannya maupun dalam hal pelaksanaan kewenangannya.

Majelis berpendapat KPU memiliki kewenangan untuk secara mandiri atau independen merumuskan peraturan dalam melaksanakan fungsinya yang berpusat pada tujuan mencapai terselenggaranya Pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah yang demokratis.

," ujar ketua majelis Arief Hidayat yang dibacakan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (10/7/2017).

Lembaga yang dalam proses pembentukan peraturan diharuskan berkonsultasi yang keputusannya bersifat mengikat, akan mendegradasi tingkat kemandiriannya dibanding lembaga serupa lainnya.

"Padahal, penyelenggaraan Pemilu merupakan ranah yang paling rentan untuk diintervensi," tegas  Arief saat membacakan putusan itu, Senin (10/7).

Namun majelis menyebut, rapat konsultasi KPU dengan DPR tetap bisa dilaksanakan sebagai kordinasi antar lembaga. Adapun mekanisme keberatan terhadap langkah KPU dalam menjalankan tugasnya, bisa dilakukan dengan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).(dtc/rm)

BACA JUGA: